Diagnosis Strabismus
Diagnosis strabismus dapat diklasifikasikan menjadi deviasi manifes atau –tropia dan laten atau –phoria. Strabismus manifes memberikan gambaran klinis yang jelas pada saat kedua mata dibuka dan akan bergerak secara involunter setelah mata yang sehat ditutup atau cover test. Sementara itu, pada strabismus laten, gambaran klinis tidak selalu terlihat, tetapi dapat terinduksi dengan melakukan alternate cover test.[13]
Eksotropia dan esotropia dapat terjadi secara intermiten. Istilah intermiten ini didapatkan pada keadaan dimana sebenarnya pasien dapat mempertahankan posisi bola mata tanpa deviasi, tetapi pada keadaan tertentu, seperti stress atau sakit, deviasi bola mata dapat terlihat.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik strabismus, perlu diperhatikan tanda bahaya, yaitu:
Red reflex yang abnormal
- Keterbatasan gerakan abduksi
- Diplopia
- Nyeri kepala
- Nystagmus
- Kecenderungan kepala menoleh pada sisi tertentu
- Gangguan neurologis, seperti cerebral palsy[1]
Anamnesis
Anamnesis pada strabismus perlu mencakup usia awitan, lokasi keluhan, frekuensi dan arah deviasi, adanya diplopia, riwayat kehamilan ibu, riwayat kelahiran serta tumbuh kembang anak, penggunaan kacamata, riwayat keluarga, serta riwayat trauma dan keadaan patologis intrakranial.[1,13,24]
Usia awitan penting untuk ditanyakan karena nantinya akan berhubungan dengan penatalaksanaan dan prognosis. Seringkali strabismus baru disadari pada usia 3 tahun. Apabila strabismus yang terjadi adalah intermiten, maka perlu diketahui apakah frekuensi dan gejala bergantung pada arah penglihatan.[1,44]
Diplopia merupakan salah satu keluhan yang sering ditemukan pada strabismus, terutama pada orang dewasa. Diplopia dapat horizontal maupun vertikal dan memberikan petunjuk mengenai arah strabismus.[1,45]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada strabismus diawali dengan inspeksi untuk melihat adanya deviasi pada salah satu atau kedua mata (posisi bola mata), inspeksi refleks cahaya pada kornea (corneal light reflex atau Hirschberg test), red reflex dan papiledema, bentuk muka dismorfik, dan postur kepala yang abnormal.[1,46,47]
Gambar 3. Posisi Bola Mata. Sumber: Shutterstock, 2023.
Pemeriksaan visus juga penting dilakukan mengingat kemungkinan komplikasi ambliopia atau penurunan ketajaman penglihatan pada mata yang mengalami defek.[6,24]
Pemeriksaan fisik juga dilakukan sambil melihat jenis strabismus, apakah concomitant atau incomitant. Hal ini dilakukan dengan melihat pergerakan bola mata ke berbagai arah pandangan.
Strabismus concomitant memiliki sudut yang sama pada semua arah dan gerakan bola mata tidak terbatas, sedangkan incomitant adalah sebaliknya. Strabismus incomitant merupakan salah satu tanda yang tidak boleh dilewatkan karena sering disebabkan oleh kelemahan atau paralisis otot–otot ekstraokular.[6,13,24]
Pergerakan bola mata juga memberikan petunjuk mengenai adanya paralisis maupun restriksi (trapping atau pemendekan otot) yang kemungkinan disebabkan karena trauma okuli, inflamasi orbital, atau tumor orbita.
Kelumpuhan saraf kranial memerlukan pemeriksaan pencitraan kepala secepatnya untuk mengeksklusi adanya keadaan patologis intrakranial, seperti massa intrakranial dan aneurisma.
Pada anak, strabismus yang disertai dengan ambliopia dapat disebabkan karena retinoblastoma atau katarak kongenital.[13]
Prism Cover Test
Prism cover test merupakan baku emas untuk menilai strabismus, tetapi agak sulit dilakukan pada anak karena memerlukan kerjasama. Pemeriksaan ini juga dilakukan postoperasi untuk melihat tolerable range pada koreksi yang berlebihan atau kurang (over- atau undercorrection) untuk menghindari diplopia postoperasi.[15,51]
Besarnya deviasi pada strabismus dinilai dengan prisma dioptri. Besar deviasi adalah nilai derajat prisma dioptri (Δ) yang diperlukan untuk menetralisir deviasi. Hasilnya dibagi menjadi 3 kelas:
- Deviasi sudut kecil, yaitu ≤10 derajat prisma dioptri
- Deviasi sedang, yaitu 11–30 derajat prisma dioptri
- Deviasi sudut besar, yaitu >30 derajat prisma dioptri (untuk esotropia), >35 derajat prisma dioptri (untuk eksotropia)[3,52]
Hirschberg Test
Hirschberg test dilakukan untuk screening strabismus karena cepat, mudah, dan tidak memakan biaya. Pemeriksaan ini dapat melihat adanya deviasi serta arah deviasi dengan cepat. Dokter hanya memerlukan penlight dan menempatkan diri 1 meter di depan pasien. Pasien diminta melihat lurus ke depan atau ke kening pemeriksa dengan tinggi mata pemeriksa dan pasien disesuaikan.
Hasil yang normal akan menunjukkan adanya pantulan cahaya (titik cahaya) tepat di tengah kornea. Apabila pantulan cahaya tidak di tengah kornea, berarti posisi bola mata tidak pada posisi normalnya. Setiap 1 mm defleksi dari tengah pupil, ekuivalen dengan deviasi 15–20 derajat prisma dioptri (Δ).[13]
Pemeriksaan Refleks Fundus
Pemeriksaan refleks fundus dilakukan menggunakan oftalmoskop, dimana pemeriksa berdiri 0,5 meter di depan anak dengan memegang oftalmoskop pada angka 0 sambil melihat cahaya (refleks fundus) yang dipantulkan. Hasil yang normal adalah warna jingga–kemerahan dengan ukuran dan bentuk yang sama pada kedua mata.[13]
Cover Test
Cover test dilakukan pada jarak dekat dan jauh dengan atau tanpa kacamata saat pasien melakukan fiksasi pada target tertentu, misalnya tulisan atau boneka. Salah satu mata akan ditutup dengan penutup selama beberapa detik dan mata yang dibuka akan diobservasi. Pemeriksaan ini melihat adanya deviasi manifest (–tropia) pada mata, serta arahnya.[1,3]
Normalnya, dengan menutup mata secara bergantian, bola mata akan tetap terfiksasi dan tidak bergerak (orthotropia). Pada mata yang eksotropia, bila mata yang normal ditutup, akan menyebabkan mata bergerak ke arah dalam untuk melakukan fiksasi. Sebaliknya, pada mata yang esotropia, akan bergerak ke arah luar untuk melakukan fiksasi. Tes ini dilakukan pada kedua mata.[1]
Alternating Cover Test (ACT)
Alternating cover test (ACT) dilakukan untuk melihat adanya deviasi laten (–phoria) maupun manifest (–tropia) dengan mengganggu terjadinya fiksasi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menutup mata secara bergantian tanpa menunggu beberapa detik sambil melihat pergerakan involunter bola mata. Pada pemeriksaan ini, mata yang deviasi akan kehilangan kemampuan untuk melakukan fusi dan fiksasi.[1]
Patch Test
Anak dengan strabismus dapat datang dengan posisi kepala yang abnormal, seperti torticollis karena kecenderungan untuk memiringkan kepala ke satu sisi. Pada keadaan ini, patch test dilakukan untuk mengetahui apakah torticollis yang terjadi disebabkan oleh strabismus, bukan penyebab lain. Torticollis pada strabismus akan membaik dengan melakukan patching pada salah satu mata.[48]
Accommodation-Convergence Relationship (AC/A)
Accommodation–convergence relationship (AC/A) adalah hubungan antara kemampuan mata untuk melakukan konvergen sebagai refleks akomodasi dan kekuatan akomodasi yang muncul dengan dilakukannya gerakan konvergen. Besarnya sudut konvergen diukur dengan menggunakan prisma dioptri.[37]
Angka AC/A rasio menunjukkan penurunan deviasi okular pada saat dekat dibandingkan dengan pada saat melihat jauh. Normalnya rasio AC/A adalah 3–5:1 yang berarti untuk melakukan akomodasi pada jarak 1 meter, seseorang dengan jarak antar pupil 60 mm akan melakukan konvergen sebanyak 6 derajat prisma dioptri.[37,49,50]
Tentunya pada mata yang deviasi, kemampuan konvergen akan berbeda dengan mata yang memiliki kedudukan yang sama. Pada eksotropia, jarak antar pupil lebih jauh, sehingga nilai rasio AC/A lebih rendah. Pada esotropia, jarak antar pupil lebih dekat, sehingga nilai rasio AC/A lebih tinggi.[50]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada strabismus antara lain pseudostrabismus, diplopia monokular, dan convergence insufficiency (CI).
Pseudostrabismus
Pseudostrabismus adalah keadaan struktur wajah tertentu yang menyebabkan bola mata seolah deviasi. Pseudostrabismus sering ditemukan pada anak–anak, terutama di Asia. Pseudostrabismus dapat dibedakan dengan strabismus melalui pemeriksaan Hirschberg dimana corneal light reflex akan jatuh di tengah mata.[13,27]
Diplopia Monokular
Diplopia monokular sering disebabkan oleh gangguan refraksi (seperti astigmatisme), penyakit yang melibatkan kornea atau lensa, atau gangguan pada retina. Pada diplopia monokular, gangguan terjadi pada bidang refraksi sehingga cahaya yang datang jatuh pada fovea dan area ekstrafovea di mata yang sama. Hal ini akan dipersepsi menjadi penglihatan ganda (diplopia).[53]
Convergence Insufficiency (CI)
Convergence Insufficiency (CI) adalah keadaan dimana terlihatnya eksoforia yang lebih jelas pada saat melihat dekat daripada melihat jauh. Keluhan pada CI menyebabkan mata menjadi lebih tegang, sakit kepala, penglihatan kabur, diplopia dan kesulitan konsentrasi. Keluhan ini biasanya dirasakan pada saat pasien membaca atau melakukan kegiatan yang melibatkan penglihatan jarak dekat.[54]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada strabismus terutama dilakukan untuk membantu diagnosis pada pasien yang kurang kooperatif, seperti anak–anak. Pemeriksaan penunjang pada strabismus juga dapat dilakukan untuk mengetahui etiologi, seperti massa intrakranial atau stroke.
Pencitraan
Pencitraan dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan jaringan periorbita termasuk otot ekstraokular. Selain itu, pencitraan juga dilakukan untuk melihat adanya faktor risiko atau penyakit yang mendasari munculnya strabismus.
Pencitraan dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Kecurigaan adanya etiologi yang menyebabkan cranial neuropathy, yaitu iskemia, inflamasi, infeksi, kompresi oleh massa, cranial neuropathy kongenital, dan penyakit neuromuscular junction
- Strabismus incomitant, “A” atau “V”–pattern strabismus, atau manifestasi klinis strabismus lainnya yang tidak biasa
- Usia >50 tahun dengan gejala kelumpuhan saraf kranial akut atau memiliki faktor risiko kardiovaskular
- Kecurigaan kelumpuhan saraf kranial III[55,56]
Pencitraan tidak harus selalu dilakukan pada keadaan berikut:
- Riwayat strabismus yang sudah lama diketahui dan stabil
- Riwayat operasi mata yang diketahui dengan pasti sebagai penyebab strabismus
- Telah dilakukan pemeriksaan pencitraan sebelumnya
- Riwayat penyakit yang telah diketahui menyebabkan terjadinya strabismus pada pasien, seperti thyroid eye disease (TED) dan myasthenia gravis
Sagging eye syndrome[55]
Ultrasonografi Orbita:
Pemeriksaan ultrasonografi orbita membantu memvisualisasi kapsula Tenon (neonatus), pembuluh darah, otot–otot ekstraokular, dan cavum vitreus. Pencitraan dengan ultrasonografi orbita sebenarnya memang bukan merupakan standar baku untuk melihat keadaan patologis intrakranial, tetapi alat ini mudah diperoleh dan lebih murah.[57,58]
Ultrasonografi lebih inferior daripada pemeriksaan CT scan maupun MRI. Apabila tersedia, kemungkinan besar penggunaan ultrasonografi akan digantikan dengan CT scan atau MRI, tetapi hal ini kembali lagi bergantung pada keputusan klinisi.[57,58]
MRI dan CT Scan:
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dan computed tomography (CT) scan merupakan pemeriksaan yang disarankan dilakukan pada strabismus sesuai indikasi. MRI merupakan pemeriksaan yang lebih dipilih karena memberikan gambaran yang lebih baik untuk mengidentifikasi jaringan lunak.[15,56]
Adanya atrofi maupun trauma dapat dilihat dengan jelas pada potongan sagital (untuk rektus vertikal) dan aksial (untuk rektus horizontal). Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menentukan etiologi dan diagnosis. Apabila pasien tidak kooperatif, dapat dipertimbangkan penggunaan sedasi.[56]
Optical Coherence Tomography (OCT):
Optical coherence tomography (OCT) binokular dapat digunakan pada strabismus untuk membantu menilai derajat deviasi baik secara vertikal maupun horizontal. Selain itu, pemeriksaan ini juga membantu menentukan jarak antara lokasi insersi otot dengan limbus. Pemeriksaan ini penting dilakukan sebelum operasi untuk merencanakan strategi operasi.[59]
Pencitraan dengan OCT juga membantu melihat adanya lesi patologis pada segmen mata posterior, seperti retinoblastoma, serta melihat gambaran retina, kavum vitreus, dan keadaan pembuluh darah.[70]
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan manual untuk menentukan arah dan derajat strabismus terkadang dapat memberikan hasil yang bias, terutama pada pasien anak yang kurang kooperatif. Maka dari itu, saat ini banyak alat diagnosis baru yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis.
Automated Vision Screening:
Automated vision screening adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk meningkatkan akurasi pemeriksaan ketajaman penglihatan terutama pada anak usia 1–5 tahun, dimana pada usia tersebut anak kurang kooperatif untuk melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan dengan menggunakan Snellen chart.[51,61,62]
Pemeriksaan ini diperlukan pada strabismus terutama pada deviasi ≥8Δ dari posisi primer karena berisiko ambliopia. Selain untuk melakukan penilaian ketajaman visual, pemeriksaan ini juga dapat membantu mendeteksi adanya strabismus berdasarkan pengukuran arah pandangan penglihatan.[61]
Automated Deviation Measurement:
Automated deviation measurement merupakan pemeriksaan dengan menggunakan sistem, dimana pasien menggunakan kacamata wireless “di atas” kacamata yang selama ini digunakan, kemudian sistem akan menutup mata pasien satu per satu secara bergantian seiring dengan berjalannya test.
Pemeriksaan melakukan cover test secara otomatis untuk menilai adanya –tropia, dan apabila ada, maka akan dilakukan pemeriksaan pada mata yang deviasi dan akan ditentukan derajat deviasinya. Tahap kedua akan dilakukan automated ACT untuk mengukur total dan arah deviasi. Besar deviasi dinilai dengan melakukan pemeriksaan menyerupai PACT namun tanpa menggunakan prisma.[44]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli