Diagnosis Kanker Kolon
Diagnosis definitif kanker kolon dapat ditegakkan melalui biopsi dengan kolonoskopi. Dengan kolonoskopi, dokter bisa mendapatkan visualisasi kolon dan posisi kanker, serta melakukan polipektomi bila diperlukan. Pemeriksaan lain yang juga dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah samar feses, computed tomography (CT) scan, magnetic resonance imaging (MRI), atau positron emission tomography (PET).[1,10]
Anamnesis
Pasien kanker kolon dapat mengeluhkan perdarahan peranum, diare, perubahan pola defekasi, nyeri abdomen, massa pada abdomen, serta penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan. Kanker kolon terutama dicurigai bila perdarahan peranum, peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare telah terjadi minimal 6 minggu. Selain itu, dokter juga perlu menanyakan ada tidaknya anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat kanker kolorektal.[1,2,10]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dokter mungkin menemukan tanda-tanda anemia, terutama bila perdarahan akibat kanker kolon telah terjadi lama. Selain itu, pada pemeriksaan abdomen, dokter mungkin menemukan nyeri abdomen, palpasi massa, asites, atau hepatomegali, tergantung pada perjalanan penyakit pasien.
Dokter juga dapat melakukan digital rectal examination pada penderita dengan gejala anorektal, untuk menentukan apakah gejala disebabkan oleh diagnosis banding, contohnya hemoroid.[1,2,10]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding kanker kolon adalah penyakit lain yang juga menimbulkan perubahan pola defekasi atau perdarahan peranum. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan antara lain kanker rektum, hemoroid, irritable bowel syndrome (IBS), dan inflammatory bowel disease (IBD).[1,2,10]
Kanker Rektum
Kanker rektum dapat memberikan gejala yang serupa, yaitu perdarahan peranum dan perubahan pola defekasi. Diagnosis dapat dilakukan dengan sigmoidoskopi.
Irritable Bowel Syndrome
Irritable bowel syndrome (IBS) merupakan kumpulan gejala nyeri abdomen, mual, dan perubahan pola defekasi. Beberapa penderita mengalami konstipasi dan yang lainnya mengalami diare secara bergantian. Namun, pada pasien IBS biasanya tidak ditemukan perdarahan peranum dan massa kolon.[11]
Inflammatory Bowel Disease
Inflammatory bowel disease (IBD) meliputi penyakit Crohn dan kolitis ulseratif, yang ditandai dengan inflamasi kronik saluran pencernaan. Inflamasi kronik ini menyebabkan diare berulang, nyeri abdomen, feses berdarah, dan penurunan berat badan. Diagnosis IBD ditegakkan dengan endoskopi.[12]
Hemoroid
Hemoroid adalah pelebaran pembuluh darah anus dan rektum. Gejala yang dialami adalah feses yang berdarah segar dan nyeri jika terjadi trombosis. Diagnosis dapat dilakukan dengan digital rectal examination dan sigmoidoskopi.[13]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku emas untuk diagnosis kanker kolon adalah biopsi dengan kolonoskopi. Selain itu, pemeriksaan lain seperti pemeriksaan darah samar feses dan pemeriksaan imaging juga dapat dilakukan.
Kolonoskopi dan Biopsi
Kolonoskopi merupakan prosedur diagnostik yang paling efisien dalam mendiagnosis kanker kolon. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor dan lokasinya, serta mengambil jaringan untuk pemeriksaan histopatologis. Sensitivitas dan spesifisitasnya berkisar di antara 92–97%.
Kolonoskopi juga sering dilakukan secara berkala pada orang berisiko kanker kolon untuk skrining. Kolonoskopi dilaporkan mampu menurunkan morbiditas kanker kolon hingga 67% dan mortalitas hingga 65%. Kekurangan kolonoskopi adalah pemeriksaan ini bersifat invasif dan memiliki risiko perforasi atau perdarahan saluran cerna.[10,14]
Saat ini juga terdapat alternatif lain kolonoskopi, yaitu endoskopi kapsul. Pada prosedur endoskopi kapsul, pasien menelan kapsul yang merupakan alat wireless yang dapat memvisualisasikan hampir seluruh saluran cerna. Namun, metode ini masih jarang tersedia di Indonesia, sehingga kolonoskopi konvensional masih menjadi pilihan.[3]
Pencitraan Radiologis
Pemeriksaan pencitraan seperti ultrasonografi (USG) dengan kontras, computed tomography (CT), dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk pemeriksaan lesi yang bersifat fokal dan menilai invasi organ di sekitar. Pemeriksaan ini juga dapat menilai adanya metastasis ke kelenjar getah bening, hepar, ureter, dan buli.
Pemeriksaan positron emission tomography (PET) lebih menjanjikan. PET scan dapat menilai metabolisme zat seperti glukosa dengan pemberian isotop dan memeriksa aktivitas sel kanker pada level molekuler yang lebih teliti. Pemeriksaan ini juga dapat menilai respons kemoterapi pada penderita kanker kolon stadium lanjut.[10,14]
Pemeriksaan CT colonography (kolonoskopi virtual) juga dapat dilakukan. Pemeriksaan ini memiliki keunggulan dibandingkan kolonoskopi konvensional, yaitu tidak perlunya penggunaan sedasi. Namun, sensitivitasnya masih menjadi perdebatan, di mana ada hasil studi yang melaporkan sensitivitas yang serupa dengan kolonoskopi tetapi ada hasil studi yang melaporkan sensitivitas lebih buruk.[3]
Pemeriksaan Darah Samar Feses
Pemeriksaan darah samar feses atau fecal occult blood test (FOBT) merupakan pemeriksaan yang mudah, murah, dan noninvasif. Pemeriksaan ini menilai adanya hemoglobin pada feses yang menandai perdarahan saluran cerna. Namun, karena pemeriksaan ini tidak spesifik untuk kanker kolon, pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk skrining awal daripada diagnosis pasti.[14]
Pemeriksaan Penanda Tumor
Penanda tumor adalah zat yang dilepaskan sel tumor atau dilepaskan sel sehat sebagai respons terhadap adanya tumor. Pada kanker kolon, dapat terjadi peningkatan level carcinoembryonic antigen (CEA). Peningkatan CEA >5 µg/L dinilai tinggi. Pemeriksaan ini umumnya bukan digunakan untuk penegakkan diagnosis tetapi untuk penanda prognosis pascaoperasi.[14]
Staging Kanker Kolon
Klasifikasi staging kanker kolon bertujuan untuk menentukan ekstensi kanker dan juga menentukan prognosis pasien. Sistem staging yang paling umum digunakan adalah sistem TNM (tumor primer, nodus limfatikus, metastasis) dari American Joint Committee on Cancer.[10]
Tabel 1. Tumor Primer (T)
TX | Tumor primer tidak dapat dinilai |
T0 | Tidak terdapat bukti tumor primer |
Tis | Karsinoma in situ: intraepitelial atau invasi lamina propria |
T1 | Tumor menginvasi submukosa |
T2 | Tumor menginvasi propria muskularis |
T3 | Tumor menembus propria muskularis menuju jaringan perikolorektal |
T4a | Tumor menembus hingga permukaan peritoneum viseral |
T4b | Tumor menginvasi organ/struktur lain secara langsung atau menempel pada organ/struktur lain |
Tabel 2. Nodus Limfatikus (N)
NX | Nodus limfatikus regional tidak dapat dinilai |
N0 | Tidak terdapat metastasis nodus limfatikus regional |
N1 | Metastasis pada 1–3 nodus limfatikus regional |
N1a | Metastasis pada 1 nodus limfatikus regional |
N1b | Metastasis pada 2–3 nodus limfatikus regional |
N1c | Tumor terdeposit pada subserosa, mesenterium, atau jaringan perirektal atau perikolik nonperitonealized tanpa metastasis nodus regional |
N2 | Metastasis pada ≥4 nodus limfatikus regional |
N2a | Metastasis pada 4–6 nodus limfatikus regional |
N2b | Metastasis pada ≥7 nodus limfatikus regional |
Tabel 3. Metastasis (M)
M0 | Tidak ada metastasis jauh |
M1 | Terdapat metastasis jauh |
M1a | Metastasis di 1 organ atau tempat |
M1b | Metastasis di >1 organ atau tempat atau peritoneum |
Tabel 4. Stadium Kanker Kolorektal
Stadium | T | N | M |
0 | Tis | N0 | M0 |
I | T1–2 | N0 | M0 |
IIA | T3 | N0 | M0 |
IIB | T4a | N0 | M0 |
IIC | T4b | N0 | M0 |
IIIA | T1–2 | N1/N1c | M0 |
T1 | N2a | M0 | |
IIIB | T3–4a | N1/N1c | M0 |
T2–3 | N2a | M0 | |
T1–2 | N2b | M0 | |
IIIC | T4a | N2a | M0 |
T3–4a | N2b | M0 | |
T4b | N1-2 | M0 | |
IVa | T apa saja | N apa saja | M1a |
IVb | T apa saja | N apa saja | M1b |