Patofisiologi Kanker Kolon
Patofisiologi kanker kolon dimulai dengan munculnya lesi premaligna (adenoma) yang kemudian mengalami perkembangan menjadi karsinoma akibat perubahan genetik dan faktor lingkungan. Hilangnya stabilitas genomik pada mayoritas lesi neoplasma baru menyebabkan akumulasi mutasi dan perubahan epigenetik pada tumor suppressor gene dan onkogen, sehingga menimbulkan transformasi ganas sel-sel kolon.[3]
Contoh perubahan gen yang sering ditemukan pada kasus kanker kolon adalah mutasi adenomatous polyposis coli (APC) gene, Kirsten rat sarcoma 2 viral oncogene homolog (KRAS), tumor protein p53, dan deleted in colon cancer (DCC) tumor suppression genes. Proses-proses patofisiologi ini dapat melibatkan autofagi dan metilasi.[1,3]
Autofagi
Autofagi merupakan mekanisme surveillance fisiologis, di mana sel akan mengeliminasi organel dan proteinnya yang rusak secara mandiri. Hal ini dapat mengurangi reactive oxygen species (ROS), menjaga stabilitas genomik, meningkatkan kematian sel secara autofagi, membatasi inflamasi, dan mengeliminasi patogen intraseluler. Namun, autofagi juga dapat mendukung pembentukan tumor dengan memberikan material yang berfungsi dalam perkembangan sel tumor, meningkatkan resistensi terhadap obat, dan memperkuat kemampuan bertahan hidup sel tumor dalam kondisi dorman.[5]
Mekanisme yang berlawanan ini disebut sebagai mekanisme kontradiksi autofagi. Autofagi dapat membatasi proses nekrosis tumor dan mengembangkan sel kanker yang dorman menjadi sel mikrometastasis. Mekanisme ini terjadi dengan pelepasan sel metastasis yang dapat hidup lebih lama dari seharusnya, sehingga terjadi metastasis yang jauh dan dapat bertahan dalam kondisi dorman. Pada kondisi imunosupresi, sel kanker kemudian dapat menjadi aktif kembali.[5]
Metilasi
Metilasi DNA memengaruhi area yang kaya CpG islands pada gen dan menyebabkan perubahan proses transkripsi serta perubahan kromatin. Hipermetilasi CpG islands di gene promoters dapat menyebabkan inaktivasi gen supresor tumor, sedangkan hipometilasi elemen genetik secara berulang dapat menyebabkan instabilitas genomik dan aktivasi onkogen.[3]