Edukasi dan Promosi Kesehatan HIV
Edukasi dan promosi kesehatan mengenai infeksi HIV berperan besar dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap pasien terinfeksi HIV. Selain itu, karena HIV masih belum memiliki pengobatan definitif hingga kini, edukasi dan promosi kesehatan akan penting untuk meningkatkan kesadaran terkait pencegahan dan deteksi dini.[3,6]
Edukasi Pasien
Setelah terkonfirmasi HIV positif, pasien diberikan konseling pasca diagnosis mengenai pencegahan, pengobatan dan pelayanan infeksi HIV, yang mempengaruhi transmisi HIV dan status kesehatan pasien. Pasien perlu diedukasi untuk mencegah transmisi HIV dengan menggunakan kondom secara benar dan konsisten, menggunakan alat suntik steril sekali pakai, serta tidak menjadi donor darah maupun produk darah atau organ dan jaringan tubuh lainnya.
Pasien juga perlu diedukasi bahwa obat antiretroviral (ARV), seperti zidovudin, harus diminum seumur hidup dengan tingkat kepatuhan yang tinggi dan harus diikuti dengan pengurangan perilaku berisiko dalam upaya pencegahan transmisi HIV. Petugas kesehatan perlu membantu pasien agar patuh minum obat, yaitu dengan konseling dan motivasi terus menerus.[3,6,10]
Petugas kesehatan juga perlu menawarkan pemeriksaan HIV kepada pasangan seksual pasien. Anak yang lahir dari ibu HIV positif juga ditawarkan pemeriksaan HIV secara aktif, demikian pula orang tua dari bayi atau anak yang terdiagnosis infeksi HIV.[3,6,7,10]
Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan melibatkan berbagai sektor dan dukungan dari pemerintah. Promosi kesehatan mengenai infeksi HIV/AIDS dilakukan melalui iklan layanan masyarakat, kampanye penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko, promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda, serta peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan tenaga non-kesehatan terlatih dalam promosi pencegahan penyalahgunaan zat dan penularan HIV.[7,10]
Masyarakat dapat turut berperan serta dalam upaya promosi kesehatan dengan mempromosikan perilaku hidup sehat, meningkatkan ketahanan keluarga, serta mencegah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap orang terinfeksi HIV maupun komunitas populasi kunci. Lingkungan warga dapat membentuk dan mengembangkan Warga Peduli AIDS dan mendorong warga masyarakat yang berisiko untuk memeriksakan diri ke pelayanan konseling dan tes HIV sukarela (voluntary counseling and testing/VCT).[3]
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Pencegahan dan penanggulangan infeksi HIV meliputi pencegahan transmisi seksual, pencegahan transmisi nonseksual, pencegahan transmisi vertikal (ibu ke anak), serta pencegahan pra dan pasca pajanan.[2,3,15]
Pencegahan Transmisi Seksual
Pencegahan transmisi seksual dilakukan dengan ABCDE:
Abstinence: tidak melakukan hubungan seksual bagi orang yang belum menikah
Be faithful: setia dengan pasangan, hanya berhubungan seksual dengan pasangan tetap yang diketahui tidak terinfeksi HIV
Condom use: menggunakan kondom secara konsisten untuk hubungan seks dengan pasangan yang telah terinfeksi HIV atau infeksi menular seksual
Don’t use Drug: menghindari penyalahgunaan obat dan zat adiktif
Education and Equipment: meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi, termasuk menggunakan peralatan dan jarum suntik steril[2,3,6,15]
Pencegahan Transmisi Nonseksual
Pencegahan transmisi nonseksual antara lain:
- Uji saring darah pendonor
- Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan nonmedis yang melukai tubuh: menggunakan peralatan steril, mematuhi standar prosedur operasional, memperhatikan kewaspadaan umum (universal precaution)
- Pengurangan dampak buruk pada pengguna narkoba suntik: program layanan alat suntik steril, konseling perubahan perilaku, dukungan psikososial, dan mendorong pengguna khususnya pecandu opiat untuk menjalani program terapi rumatan[3,10,15]
Pencegahan Transmisi Vertikal
Pencegahan transmisi vertikal dilakukan melalui:
- Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif: VCT antenatal atau menjelang persalinan, terutama pada ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi meluas atau memiliki keluhan infeksi menular seksual atau tuberkulosis (TB)
- Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV positif
- Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke janin
- Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan infeksi HIV beserta anak dan keluarganya[3,6,7,10,15]
Pencegahan Transmisi HIV Pra-Pajanan
Profilaksis pra-pajanan HIV atau pre-exposure prophylaxis (PrEP) adalah pemberian ARV profilaksis untuk mengurangi risiko terinfeksi HIV pada pasien HIV negatif dengan perilaku berisiko tinggi. PrEP dapat memberikan proteksi maksimal setelah 7 hari konsumsi rutin pada receptive anal sex, dan setelah 21 hari konsumsi rutin pada receptive vaginal sex atau pengguna narkoba suntik.
Sebelum memulai terapi PrEP, perlu dilakukan tes HIV untuk memastikan kondisi tidak terinfeksi HIV (HIV negatif). Regimen PrEP yang digunakan yaitu tenofovir 300 mg dan emtricitabine 200 mg.[3,6,7,15]
Pencegahan Transmisi HIV Pasca-Pajanan
Pencegahan pasca pajanan atau post-exposure prophylaxis (PEP) adalah pemberian terapi ARV dalam waktu singkat untuk mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV setelah terpapar ketika bekerja atau setelah kekerasan seksual. PEP sebaiknya diberikan sesegera mungkin pada semua kejadian pajanan yang berisiko, idealnya dalam waktu 72 jam setelah pajanan. Namun, jika orang yang terpapar baru bisa mengakses layanan sesudah 72 jam, pemberian PEP tetap dapat dipertimbangkan. PEP diberikan selama 28 hari.[3,6,7]
Pilihan obat PEP harus didasarkan pada regimen terapi ARV lini pertama yang digunakan, juga mempertimbangkan kemungkinan resistensi ARV pada sumber pajanan. Pilihan regimen nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) untuk PEP adalah tenofovir dengan emtricitabine atau lamivudin untuk remaja dan dewasa.
Pada anak usia kurang dari 10 tahun, direkomendasikan regimen PEP dengan zidovudin dan lamivudin. Regimen alternatif lain yang dapat dipilih yaitu abacavir dengan lamivudin atau tenofovir dengan lamivudin. Regimen lopinavir/ritonavir juga dapat digunakan sebagai pilihan PEP alternatif lain untuk anak, remaja dan dewasa.[3,6,7]
Vaksinasi
Hingga saat ini belum ada vaksin untuk penyakit infeksi HIV/AIDS.[3]
Penulisan pertama oleh: dr. Abi Noya