Diagnosis Kaki Gajah
Diagnosis kaki gajah, disebut juga sebagai filariasis limfatik atau elephantiasis, ditegakkan dengan adanya riwayat tinggal di daerah endemi, manifestasi klinis yang muncul, dan identifikasi mikrofilaria pada pemeriksaan laboratorium.[3,6]
Filariasis limfatik dapat bersifat asimtomatik, akut, maupun kronis. Sebagian besar infeksi bersifat asimtomatik, namun sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuh pasien seperti kerusakan sistem limfatik, ginjal, dan perubahan sistem imun.
Kasus asimtomatik tidak terdeteksi namun akan didapati mikrofilaremia positif jika dilakukan pemeriksaan laboratorium sehingga pasien asimtomatik tetap dapat mentransmisikan parasit melalui nyamuk. Semakin tinggi tingkat mikrofilariemia, maka semakin tinggi risiko progresi kerusakan lien ke arah inflamasi granuloma akut maupun kronik.
Manifestasi akut dan kronis muncul beberapa tahun setelah terinfeksi dan umum terjadi pada usia 20-30 tahun sehingga dicurigai infeksi awal sudah terjadi saat masa kanak-kanak (asimtomatik). Pada anak-anak, manifestasi klinis filariasis limfatik yang paling sering adalah limfadenopati.[1-4]
Anamnesis
Saat anamnesis perlu ditanyakan informasi mengenai faktor risiko seperti tinggal lama di daerah endemi, serta anamnesis keluhan pasien. Sebagian besar kasus filariasis limfatik bersifat asimtomatik, tapi beberapa kasus dapat berkembang menjadi penyakit akut atau kronis.
Gejala klinis akut berupa nyeri kepala, demam, menggigil, malaise, pembengkakan limfe di daerah pangkal paha dan ketiak, atau abses. Sedangkan gejala klinis kronik berupa bengkak di kaki (paling sering), lengan, payudara, dan genital. Gejala urin seperti susu, atau disebut chyluria, dapat terjadi pada infeksi W.bancrofti. Chyluria terjadi akibat rupturnya limfatik yang dilatasi ke dalam pelvis renalis.[1,3,4,6]
Fase Asimtomatik
Fase awal terinfeksi mikrofilaria biasanya asimtomatik karena cacing belum menjadi dewasa/mati dan menginisiasi reaksi inflamasi di saluran limfatik. Pada fase ini, gejala bisa muncul apabila jumlah mikrofilaria sangat banyak dan menyebabkan inflamasi granuloma akut atau kronis akibat destruksi limfa. Hematuria juga dapat terjadi karena mikrofilaria menyebabkan kerusakan ginjal.[1,3,4,6]
Fase Akut
Anamnesis pada pasien dengan filariasis akut pada umumnya dapat ditemukan demam filarial disertai pembengkakan kelenjar getah bening. Demam filarial biasanya berulang selama 3-5 hari.
Pembengkakan kelenjar getah bening dapat ditemukan di daerah lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas, dan nyeri. Abses filarial dapat terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening, abses dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
Limfedema dini dapat ditemui dengan gejala pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantung buah zakar yang terlihat kemerahan dan terasa panas. Pada wanita dapat terjadi mastitis, sedangkan pada laki-laki gejala yang timbul dapat berupa orkitis, epididimoorkitis, dan funikulitis. Gejala ini biasanya timbul dalam 6 bulan hingga 1 tahun pertama terinfeksi.
Walau umumnya terjadi pada fase kronis, serangan awal adenitis dermatolimangio akut (ADLA) dapat terjadi pada fase akut. Gejala yang timbul berupa demam, sakit kepala, nyeri di kelenjar getah bening yang terinfeksi, dan muntah. Pada kasus yang berbahaya dapat terjadi toksemia, gangguan urinarius, hingga gangguan kesadaran.[1,3,4,6]
Fase Kronis
Gejala dan tanda klinis filariasis kronis meliputi limfedema atau pembesaran yang menetap pada tungkai, lengan, payudara, dan hidrokel. Filariasis W. bancrofti biasanya menyebabkan limfedema pada ekstremitas, genital, dan buah dada.
Sementara itu, filariasis oleh B. malayi hanya menyebabkan limfedema pada tungkai bawah atau atas tanpa disertai pembengkakan genital atau payudara. Gejala ini disebabkan oleh cacing dewasa yang menggumpal mengakibatkan limfadenitis dan limfangitis retrograde disusul dengan obstruktif menahun.
Limfedema yang diikuti dengan fibrosis jaringan adiposa sekitar akan menyebabkan dermatosklerosis yang menyebabkan kulit berlipat-lipat, timbul nodul dan kutil, papilomatosis, hiperpigmentasi, dan hipertrikosis. Selain itu, stasisnya cairan limfatik dapat menyebabkan ruptur limfe sehingga terjadi chyluria, chylocele, dan chylothorax.
Adenitis Dermatolimfangio Akut (ADLA):
Manifestasi lain dari filariasis kronis adalah adenitis dermatolimfangio akut (ADLA). Adenitis dermatolimfangio akut adalah serangan akut berulang pada inflamasi kronis akibat limfedema. Limfedema menyebabkan terganggunya aliran sistem limfatik dan membuat sistem imun tubuh menjadi lemah. Hal ini menyebabkan penderita gampang terkena infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur.
Gejala yang muncul biasanya demam mendadak dan limfadenopati yang terasa nyeri. Gejala akan hilang dalam ± 1 minggu namun dapat terjadi rekurensi.[1,3,4,6]
Pemeriksaan Fisik
Pada kasus akut akan ditemukan limfadenitis, limfangitis, dan adenolimfangitis terutama di area inguinal dan aksila, yang merupakan respon imun host terhadap antigen yang dilepaskan oleh cacing dewasa yang mati. Lebih lanjut dapat muncul abses yang mengandung kumpulan cacing dewasa yang telah mati. Jika abses ruptur, maka akan mengeluarkan cacing dewasa yang telah mati tersebut.[1,3,6]
Filariasis Limfatik Kronik
30% kasus filariasis limfatik dapat berkembang menjadi kronik. Pada kasus kronik akan ditemukan limfedema di kaki (paling sering), lengan, payudara, dan genital.
Pada pria, hidrokel adalah manifestasi filariasis limfatik yang paling sering ditemukan, terutama jika terinfeksi oleh W. bancrofti. Hidrokel yang terjadi dapat bersifat unilateral atau bilateral, dengan diameter pembesaran skrotum hingga 40 cm.
Selain hidrokel, dapat ditemukan funikulitis, epididimitis, atau orkitis akibat cacing dewasa mati yang terkumpul di area skrotum. Pada wanita, lebih sering ditemukan limfedema hingga elephantiasis (bentuk parah dari limfedema), terutama di ekstremitas bawah.[1,3-6]
Limfedema
Limfedema dapat dinilai berdasarkan 7 stadium:
- Stadium 1 yaitu limfedema pitting yang reversible di ekstremitas, dimana limfedema muncul di malam hari dan menghilang saat bangun tidur di pagi hari.
- Stadium 2 yaitu limfedema pitting/non-pitting yang irreversible di ekstremitas
- Stadium 3 yaitu limfedema non-pitting yang irreversible disertai adanya penebalan lipatan kulit superfisial (dangkal).
- Stadium 4 yaitu nodul tebal non-pitting yang irreversible pada kulit
- Stadium 5 yaitu limfedema irreversibel dengan lipatan yang dalam (dasar lipatan dapat terlihat jika dipisahkan dengan jari)
- Stadium 6 yaitu limfedema irreversibel dengan kaki tampak sangat besar dan berbenjol-benjol (mossy foot)
- Stadium 7 yaitu limfedema irreversibel yang menyebabkan kesulitan melakukan pekerjaan sehari-hari.[1,3]
Elephantiasis merupakan bentuk parah limfedema yang dimulai sejak stadium 4. Elefantiasis dikarakterisasi sebagai hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan akantosis.[3,5,6]
Adenitis Dermatolimfangio Akut (ADLA)
Adenitis dermatolimfangio akut (ADLA) adalah inflamasi akut lokal pada kulit, limfonodi, dan pembuluh limfatik yang seringkali menyertai limfedema kronik. Pada ADLA terjadi limfangitis berulang yang memicu limfedema.[1,3]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding filariasis limfatik antara lain podoconiosis atau elephantiasis non-filaria, limfoma, limfedema kongenital (sindrom Milroy), spermatokel, dan tumor testis.[1,3]
Podoconiosis atau Elephantiasis Non-Filaria
Podoconiosis adalah elephantiasis non-filaria yang disebabkan reaksi inflamasi abnormal terhadap partikel mineral dalam tanah liat merah vulkanik. Podoconiosis memiliki manifestasi klinis mirip elephantiasis pada filariasis limfatik.
Manifestasi klinis pada podoconiosis muncul bilateral, asimetris, dan bersifat ascending, yaitu dimulai dari telapak kaki kemudian berprogresi naik hingga lutut namun tidak sampai inguinal. Sebaliknya, manifestasi pada filariasis limfatik dimulai dari inguinal kemudian berprogresi ke ekstremitas bawah.[3,11]
Limfoma
Limfoma memiliki gejala dan tanda pembesaran kelenjar getah bening servikal, aksila, dan inguinal. Pada limfoma dapat terjadi keterlibatan ekstranodus seperti di gastrointestinal, genitourinari, kulit, sumsum tulang, sinus, tiroid, hingga sistem saraf pusat.[1,12]
Limfedema Kongenital (Sindrom Milroy)
Sindrom Milroy adalah limfedema yang diturunkan secara autosomal dominan. Limfedema muncul saat lahir atau <1 tahun. Karakteristik limfedema pada sindrom Milroy yaitu pitting, tidak nyeri, bilateral, asimetris, dan sering terjadi di dorsum pedis.
Seiring usia, limfedema dapat membaik spontan atau dapat berprogresi hingga di bawah lutut. Diagnosis sindrom Milroy ditegakkan dengan anamnesis riwayat keluarga, lymphoscintigraphy, dan pemeriksaan genetik molekular.[13]
Spermatokel
Spermatokel adalah akumulasi sperma yang bersifat kistik dan jinak di epididimis. Manifestasi spermatokel dapat menyerupai hidrokel yang merupakan manifestasi filariasis limfatik paling sering pada pria. Perbedaan yang mendasar adalah akumulasi cairan sperma pada spermatokel terdapat pada epididimis, yakni superior dari testis, sedangkan akumulasi cairan pada hidrokel terdapat pada anterior dan lateral testis.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) skrotum dapat dengan jelas membedakan diagnosis dimana pada hidrokel filaria terdapat pergerakan cacing filaria (filarial dance sign).[4,14]
Tumor Testis
Tumor testis perlu dibedakan dari hidrokel filaria. Perbedaan yang mendasar adalah lesi pada tumor testis ada di internal testis, sedangkan cairan hidrokel terdapat di luar testis.
Pada tumor testis umumnya akan teraba massa yang padat, keras, tidak nyeri, dan negatif pada pemeriksaan transiluminasi, namun 10% pasien dengan teratoma testis dapat menunjukkan tanda massa kistik di dalam testis dengan transiluminasi positif. Pemeriksaan USG skrotum dapat dengan jelas membedakan diagnosis dimana pada hidrokel filaria terdapat pergerakan cacing filaria (filarial dance sign).[4,15,16]
Pemeriksaan Penunjang
Pada prinsipnya, diagnosis filariasis limfatik ditegakkan dengan deteksi mikrofilaria dalam darah perifer. Selain dalam darah, mikrofilaria juga dapat terdeteksi dalam urin (pada pasien chyluria), eksudat varises limfe, dan cairan hidrokel.
Deteksi mikrofilaria pada fase awal penyakit lebih sensitif dibandingkan pada fase akhir penyakit dimana telah terjadi limfangitis akibat matinya cacing dewasa atau telah terjadi elephantiasis akibat obstruksi limfatik. Pemeriksaan antigen/antibodi filaria dapat digunakan sebagai penunjang alternatif.[1,3,4]
Pemeriksaan Apus Darah Tepi (Mikroskop)
Pemeriksaan mikroskop pada apus darah tebal dan tipis dapat mendeteksi adanya cacing filaria serta mengidentifikasi spesiesnya secara morfologi. Sampel darah diambil dari pungsi vena atau finger/heel stick untuk kemudian dilakukan pewarnaan Giemsa atau hematoksilin dan eosin (H&E stain).
Pengambilan sampel idealnya dilakukan setelah jam 8 malam (idealnya pukul 22.00-02.00) dimana merupakan waktu peredaran malam mikrofilaria dan kadar parasitemia tertinggi.[1,3,7]
Pemeriksaan Antigen Filaria
Pemeriksaan antigen filaria berguna untuk mendeteksi antigen filaria yang bersirkulasi di darah perifer dengan atau tanpa mikrofilaria. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk memonitor respon terapi. Pemeriksaan ini sensitif untuk filariasis limfatik yang disebabkan W. bancrofti.[3,7]
Pemeriksaan Antibodi Filaria (Serologi)
Pemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap filaria, yaitu peningkatan kadar antifilaria IgG4 dalam darah. Pemeriksaan ini hanya dilakukan sebagai pemeriksaan alternatif karena kurang spesifik dan tidak dapat membedakan infeksi baru dan lama (latent).[3,7]
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR hanya dilakukan pada setting penelitian, tidak digunakan untuk diagnostik rutin.[1,3]
Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG limfonodi dan pembuluh limfe di inguinal, kruris, dan aksila dapat digunakan untuk mendeteksi adanya cacing dewasa pada anak-anak pre-pubertas yang terinfeksi.[4]
Pemeriksaan USG skrotum dapat digunakan untuk mendeteksi pergerakan cacing dewasa (filarial dance sign) pada dalam pembuluh limfa pria post-pubertas yang terinfeksi.[1,4]
Pemeriksaan Urin Makroskopis
Pada pasien dengan chyluria dapat dilakukan pemeriksaan urin secara makroskopis untuk mendeteksi adanya cairan limfe dalam urin, sekaligus mendeteksi ada/tidaknya mikrofilaria dalam urin.[3]
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan darah lengkap akan menunjukkan eosinofilia. Pemeriksaan konsentrasi imunoglobulin serum akan menunjukkan peningkatan IgE dan IgG4 serum. Pada pemeriksaan urin mikroskopis dapat ditemukan adanya proteinuria dan hematuria.[3,4,6]
Penulisan pertama oleh: dr. Josephine Darmawan
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta