Patofisiologi Poliomielitis
Patofisiologi poliomielitis atau polio akibat masuknya virus polio ke dalam tubuh terbagi dalam 2 fase, yaitu fase limfatik dan neurologis. Pada beberapa kasus dapat mengalami sindrom postpolio setelah 15‒40 tahun, terutama bila terkena polio akut pada usia sangat muda.[1,2]
Fase Limfatik
Fase limfatik dimulai dengan masuknya virus polio ke dalam tubuh manusia secara oral dan bermultiplikasi pada mukosa orofaring dan gastrointestinal. Dari fokus primer tersebut, virus kemudian menyebar ke tonsil, plakat Peyer, dan masuk ke dalam nodus-nodus limfatikus servikal dan mesenterika.
Pada fase limfatik ini, virus polio bereplikasi secara berlimpah lalu masuk ke dalam aliran darah, menimbulkan viremia yang bersifat sementara, menuju organ-organ internal dan nodus-nodus limfatikus regional. Kebanyakan infeksi virus polio pada manusia berhenti pada fase viremia ini.
Berdasarkan gejala yang muncul pada fase ini, polio dibedakan menjadi polio nonparalitik, polio abortif, dan meningitis aseptik non paralitik.[1,2]
Polio Nonparalitik
Hampir 72% infeksi virus polio pada anak-anak merupakan kasus asimtomatik. Masa inkubasi untuk polio nonparalitik ini berkisar 3‒6 hari. Satu minggu setelah onset gejala, jumlah virus polio pada orofaring makin berkurang. Namun, virus polio ini akan terus diekskresikan melalui feses hingga beberapa minggu kemudian, sekitar 3‒6 minggu.[1,2]
Polio Abortif
Sekitar 24% kasus infeksi virus polio pada anak-anak bermanifestasi tidak spesifik, seperti demam ringan dan sakit tenggorokan. Kondisi ini disebut polio abortif. Pada polio abortif terdapat kemungkinan terjadinya invasi virus ke dalam sistem saraf pusat tanpa manifestasi klinis atau laboratorium. Ciri khas kasus ini adalah terjadi kesembuhan total dalam waktu kurang dari satu minggu.[1,2]
Meningitis Aseptik Nonparalitik
Sekitar 1‒5% infeksi virus polio pada anak-anak menimbulkan meningitis aseptik nonparalitik setelah beberapa hari gejala prodromal. Gejala yang dialami penderita berupa kekakuan leher, punggung, dan/atau tungkai, dengan durasi sekitar 2‒10 hari, kemudian sembuh total.[1,2]
Fase Neurologis
Bila infeksi ini berlanjut, maka virus akan terus bereplikasi di luar sistem saraf yang kemudian akan menginvasi ke dalam sistem saraf pusat. Kondisi ini dikenal sebagai fase neurologis. Pada fase ini, virus polio akan melanjutkan replikasi pada neuron motorik kornu anterior dan batang otak, sehingga terjadi kerusakan pada lokasi tersebut.
Kerusakan sel-sel saraf motorik tersebut akan berdampak pada manifestasi tipikal pada bagian tubuh yang dipersarafinya. Keadaan ini berakibat terjadinya lumpuh layu akut, dikenal juga sebagai acute flaccid paralysis (AFP) sehingga polio yang terjadi dikenal sebagai polio paralitik.
Polio paralitik terjadi <1% dari semua kasus infeksi virus polio pada anak-anak. Gejala paralitik terjadi 1‒18 hari setelah prodromal, kemudian berlangsung progresif selama 2‒3 hari. Umumnya, progresivitas paralisis akan berhenti setelah suhu tubuh kembali normal.
Tanda dan gejala prodromal tambahan dapat berupa refleks superfisial menurun hingga menghilang, refleks tendon dalam meningkat disertai nyeri otot berat dan kejang pada tungkai atau punggung. Saat fase AFP, refleks tendon dalam akan berkurang dan biasanya asimetris. Setelah gejala menetap selama beberapa hari atau minggu, kekuatan kemudian mulai kembali dan pasien tidak mengalami kehilangan sensorik atau perubahan kognisi.[1,2]
Klasifikasi Polio Paralitik
Klasifikasi polio paralitik terdiri dari tiga tipe tergantung tingkat keterlibatan organ yang terkena, yaitu:
- Polio spinal: terjadi pada 79% kasus polio paralitik pada periode 1969‒1979, ciri khas adalah terjadi paralisis asimetrik pada tungkai
- Polio bulbar: terjadi pada 2% kasus paralitik, ciri khas berupa kelemahan otot-otot yang diinervasi oleh saraf kranial
- Polio bulbospinal: kombinasi dari kedua tipe polio di atas, manifestasi yang timbul adalah kelumpuhan otot diafragma sehingga pasien sulit bernapas, lumpuh layu pada lengan dan tungkai, gangguan mengunyah, serta gangguan fungsi jantung[1-4]
Polio paralitik dapat menyebabkan sekuele deformitas anggota tubuh, seperti genu valgum yang dapat berkembang menjadi kondisi osteoporosis, fraktur, osteoarthritis atau skoliosis.[1-4]
Sindrom Postpolio
Sekitar 25‒40% penderita polio paralitik akan mengalami sindrom postpolio setelah 15‒40 tahun. Sindrom ini diperkirakan karena kegagalan unit-unit motorik berukuran lebih besar yang terjadi selama proses pemulihan penyakit.[1-4]
Sindrom postpolio dapat berupa eksaserbasi penyakit, seperti nyeri otot, kelemahan pada ekstremitas yang terkena paralisis, bahkan mengalami lumpuh layu kembali. Faktor risiko terkena sindrom postpolio adalah:
- Sakit yang berkepanjangan sejak terkena infeksi virus polio akut
- Residu penyakit yang permanen setelah sembuh dari infeksi akut tersebut
- Jenis kelamin perempuan
- Usia sangat muda[1-4]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini