Edukasi dan Promosi Kesehatan TB MDR
Edukasi dan promosi kesehatan pada pasien tuberkulosis multidrug-resistant atau TB MDR yang utama adalah tentang pentingnya kepatuhan dalam pengobatan. Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit TB MDR mengikuti program TOSS TB dari Kementerian Kesehatan.
Edukasi Pasien
Edukasi yang baik terhadap setiap pasien TB MDR memainkan peranan penting terhadap kepatuhan pengobatan. Pasien perlu mengetahui etiologi resistensi yang terjadi, termasuk bila ada riwayat pengobatan tidak tuntas dengan obat antituberkulosis (OAT) sebelumnya.
Pasien juga perlu mengetahui tahapan penegakan diagnosis hingga penatalaksanaan yang dapat memakan waktu, agar pasien dapat mempersiapkan diri untuk berkomitmen mengikuti penatalaksanaan sampai selesai. Setelah diagnosis TB MDR ditegakkan, sangat penting menjelaskan kepada pasien untuk menyelesaikan pengobatan sampai tuntas yaitu selama 18-24 bulan.
Untuk menghindari transmisi kuman TB MDR terhadap orang lain, pasien TB MDR sebaiknya disarankan memperbaiki keadaan ventilasi di lingkungan tempat tinggalnya, serta menggunakan masker bedah agar menurunkan risiko penularan ke orang lain.[17,18]
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Mengenai pencegahan dan pengendalian penyakit tuberkulosis secara umum, termasuk TB MDR, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah membuat suatu gerakan dengan nama TOSS TBC. TOSS TBC merupakan akronim dari “Temukan dan Obati sampai Sembuh Tuberkulosis”.
Gerakan TOSS TBC bertujuan melibatkan seluruh pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, dalam menemukan kasus tuberkulosis. Gerakan ini mencakup tiga langkah utama, yaitu temukan gejala di masyarakat, obati tuberkulosis dengan tepat dan cepat, dan pantau pengobatan sampai sembuh.
Upaya pencegahan untuk kasus TB MDR lainnya adalah serupa dengan upaya pencegahan infeksi tuberkulosis, yakni vaksinasi Bacille calmette-guerin (BCG).
Sistem kesehatan yang tidak berfungsi baik juga berkontribusi dalam rendahnya kecepatan dan akurasi diagnosis tuberkulosis, serta rendahnya keberhasilan pengobatan. Dua hal ini menyebabkan perkembangan resistensi menjadi lebih mudah.
Pasien tuberkulosis dari sosioekonomi rendah, pasien yang terpapar dengan lingkungan kerja dan tempat tinggal yang rentan, pasien HIV atau malnutrisi, serta pasien yang sulit mengakses pelayanan kesehatan adalah kelompok yang lebih rentan menjadi resisten.[18,19]
Penulisan pertama oleh: dr. Junita br Tarigan
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta