Penatalaksanaan Alcohol Use Disorder
Penatalaksanaan alcohol use disorder atau alkoholisme, selalu mengedepankan upaya-upaya untuk abstinensia. Pemberian farmakoterapi maupun psikoterapi sebaiknya dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten. Untuk Indonesia, berarti dilakukan oleh psikiater atau tenaga medis yang telah dilatih oleh badan narkotika nasional.
Tata Laksana Nonfarmakologis
Untuk mereka yang menyalahgunakan alkohol, tetapi belum menunjukkan gejala-gejala ketergantungan, maka sebaiknya mendapatkan intervensi psikoterapi. Pilihan psikoterapi misalnya dengan cognitive behavioral therapy (CBT), serta terapi perilaku atau terapi sosial, seperti pertemuan alcoholics anonymous (AA).[3,24]
Terapi-terapi ini bertujuan untuk perbaikan kognisi, perilaku, dan masalah sosial yang berhubungan dengan penggunaan alkohol. Untuk tingkat penyalahgunaan ringan, upaya nonfarmakologis lebih dikedepankan. Namun, untuk penyalahgunaan tingkat sedang dan berat, harus dikombinasikan dengan medikamentosa.[24]
Mutual-help group seperti alcoholic anonymous (AA) berfokus pada prinsip perubahan perilaku seperti penguatan dan pembentukan pola pikir. Terapi perilaku ini dapat membantu pasien untuk menerapkan self change dan self regulation yang akan bermanfaat untuk membentengi dirinya dari relaps.[25]
Tinjauan sistematis Cochrane tahun 2020 menilai efektivitas alcoholics anonymous (AA). Tinjauan tersebut mendapatkan bukti klinis berkualitas tinggi yang menyatakan bahwa AA lebih efektif dibanding terapi lainnya, misalnya CBT, untuk mewujudkan abstinensia. Selain itu, AA juga dinilai sebagai terapi yang cost saving pada pasien alcohol use disorder (AUD).[18]
Tata Laksana Alcohol Dependence
Naltrexone, acamprosate dan disulfiram merupakan obat-obatan utama yang digunakan untuk penanganan alcohol dependence. Farmakoterapi sebaiknya mulai diberikan setelah pasien abstinen setidaknya 3 hari, atau setelah detoksifikasi.
Naltrexone dapat memblokade reseptor opioid dan menghilangkan efek euforia dari alkohol. Disulfiram menghambat konversi asetaldehid menjadi asam asetat, sehingga menimbulkan efek tidak menyenangkan akibat penggunaan alkohol, seperti flushing, takikardi, berkeringat, dan gangguan pencernaan.
Acamprosate merupakan antagonis glutamat, neurotransmitter yang dipengaruhi oleh alkohol. Acamprosate bisa memperpanjang waktu sampai terjadinya relaps tapi tidak menurunkan jumlah konsumsi alkohol.
Pilihan obat disesuaikan dengan tujuan terapi yang ingin dicapai. Acamprosate dan disulfiram sesuai digunakan pada pasien yang menginginkan abstinensia total. Naltrexone merupakan pilihan bila pasien ingin mengurangi atau mengendalikan konsumsi alkohol.
Disulfiram dapat diberikan dengan dosis 250–500 mg/hari. Dosis naltrexone adalah 50 mg/hari. Acamprosate diberikan dengan dosis 1998 mg/hari. Dosis farmakoterapi tersebut telah disetujui oleh Food and Drugs Administration (FDA).[3,4,26,27]
Tata Laksana Alcohol Withdrawal
Tata laksana alcohol withdrawal mencakup pemantauan ketat terhadap gejala agitasi dan delirium tremens. Pemberian benzodiazepin dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi yang mengancam nyawa, misalnya kejang.
Berikan rehidrasi pada pasien dan koreksi elektrolit bila diperlukan karena dehidrasi dan gangguan elektrolit banyak ditemukan pada kasus ini. Bila pasien membutuhkan sedasi lama untuk mengatasi agresi, maka berikan cairan kristaloid yang mengandung kalium selama pasien tidur dan tidak bisa mendapatkan asupan oral.
Berikan juga vitamin B1 sebelum pemberian glukosa untuk mencegah ensefalopati Wernicke. Glukosa diberikan untuk mengatasi hipoglikemia lewat jalur intravena dan waspadai kemungkinan ketoasidosis alkohol akibat hipoglikemia lama. Kadar alkohol dalam darah akan berkurang seiring waktu, namun tetap diperlukan monitoring tanda vital, status rehidrasi, dan glukosa.[24,28,29]
Baclofen dilaporkan berpotensi untuk terapi alcohol use disorder, tetapi efikasi dan keamanannya masih memerlukan studi lebih lanjut.
Benzodiazepine
Sedasi seringkali dibutuhkan untuk pasien dengan agitasi. Pilihan benzodiazepine untuk sedasi yang aman adalah klordiazepoksid, karena mempunyai waktu paruh yang panjang. Diazepam juga bisa digunakan, namun terdapat risiko akumulasi dosis dan risiko penyalahgunaan.
Pada pasien dengan gangguan hepar berat, obstruksi jalan nafas, atau lansia, sebaiknya dipilih benzodiazepine short acting seperti lorazepam 0,5 mg. Untuk pasien refrakter terhadap benzodiazepine atau mempunyai halusinasi yang mengganggu, maka bisa diberikan haloperidol 0,5 mg.
Pasien dengan alcohol withdrawal sering mempunyai riwayat jatuh sehingga perlu waspada untuk perdarahan intrakranial, serta gangguan hepar, dan pankreatitis. Lakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan masalah ini bila terdapat indikasi.[24,29]
Clinical Institute Withdrawal Assessment of Alcohol Scale Revised
Clinical Institute Withdrawal Assessment of Alcohol Scale Revised (CIWA-Ar) adalah sistem skoring yang digunakan dalam evaluasi pasien dengan alcohol withdrawal. Sistem skoring ini dapat digunakan untuk menentukan modalitas tata laksana yang digunakan. Beberapa hal yang dinilai dengan CIWA-Ar, antara lain nausea dan vomitus, sakit kepala, gangguan pendengaran, agitasi, tremor, orientasi, dan ansietas.
Tata laksana menggunakan benzodiazepin dapat disesuaikan berdasarkan skor CIWA-Ar. Tatalaksana dapat diberikan dengan dua cara, yaitu fixed schedule dan symptom-triggered regimens.
Tata laksana fixed schedule diberikan pada interval tertentu dan dosis tambahan dapat diberikan sesuai dengan tingkat keparahan gejala. Tata laksana dengan symptom-triggered regimens diberikan hanya jika skor CIWA-Ar lebih dari 8. Dalam menggunakan CIWA-Ar, lakukan pemantauan setiap 4-8 jam sampai jumlah skor <8 selama 24 jam.[28,30]
Apabila menggunakan symptoms triggered regimens, pengukuran CIWA-Ar dapat dilakukan setiap jam. Berikan salah satu obat di bawah ini jika skor >8:
Apabila menggunakan fixed schedule, berikan salah satu obat ini setiap 6 jam :
- Chlordiazepoxide 4 x 50 mg, selanjutnya 8 x 25 mg
- Diazepam 4 x 10 mg, selanjutnya 8 x 5 mg
- Lorazepam 4 x 2 mg, selanjutnya 8 x 1 mg[30]
Tata Laksana Alcohol Intoxication
Tata laksana alcohol intoxication ditujukan untuk stabilisasi kondisi pasien sesuai manifestasi klinis yang timbul. Pertama, lakukan asesmen jalan nafas, fungsi respirasi, dan pencegahan terjadinya aspirasi . Apabila pasien mengalami penurunan kesadaran, lakukan eksklusi penyebab penurunan kesadaran lain, misalnya perdarahan intrakranial.
Lakukan pemeriksaan laboratorium yang sama dengan alcohol withdrawal kemudian mulai akses intravena untuk melakukan koreksi hipoglikemia dan gangguan elektrolit. Berikan tiamin, bisa secara oral atau intravena, sebelum mulai memberikan koreksi hipoglikemia. Bila dibutuhkan sedasi, sebaiknya diberikan antipsikotik haloperidol atau benzodiazepine, dan restraint fisik.[31,32]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra