Patofisiologi Depresi
Patofisiologi depresi diduga berkaitan dengan gangguan atau ketidakseimbangan neurotransmitter serotonin, norepinefrin, dan dopamin di otak. Meski demikian, mekanisme pasti timbulnya depresi masih belum diketahui, karena sangat sulit untuk mengukur kadar neurotransmitter di otak seseorang secara akurat.
Pada banyak kasus, pasien dengan depresi juga mengalami gangguan tidur, gangguan kognitif dan memori, gangguan makan, serta mengalami kecenderungan bunuh diri. Tetapi mekanisme pasti timbulnya gangguan-gangguan tersebut pada pasien depresi belum diketahui.[2-4,7,10]
Aspek Neurokimia
Ekspresi brain-derived neurotrophic factor (BDNF) di hipokampus telah ditemukan berhubungan dengan gejala-gejala depresi. Penurunan kadar BDNF di area hipokampus dilaporkan berhubungan dengan gangguan kognitif yang ditemukan pada pasien dengan depresi.[10] Terapi dengan obat antidepresan juga dilaporkan bisa menstimulasi pertumbuhan sel di sirkuit-sirkuit yang berhubungan dengan regulasi mood yang sangat mungkin diperantarai oleh BDNF.[4,7,11]
Selain itu, depresi diperkirakan merupakan hasil akhir dari proses respons terhadap stress yang menyebabkan peningkatan kortisol dan mengakibatkan penurunan serotonin dan norepinefrin.[12,13] Patofisiologi depresi juga diperkirakan melibatkan penurunan dopamin. Penurunan kadar BDNF memperparah hal ini karena BDNF juga merupakan regulator neurotransmitter, khususnya serotonin.[11]
Meski begitu, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada depresi juga terjadi perubahan kadar dan eliminasi glutamat dan metabolitnya di area kortikolimbik otak. Hasil pemeriksaan neuroimaging dan histopatologi juga menunjukkan adanya perubahan morfologi dan fungsional di area tersebut.[13–15]
Aspek Neuroanatomi
Pasien dengan depresi ditemukan mengalami abnormalitas aktivasi korteks cinguli anterior pada subregio subgenu dan dorsal. Area ini adalah area yang terlibat dalam regulasi emosi, perilaku bertujuan, dan error monitoring. Selain itu juga terjadi penurunan engagement area prefrontal korteks dalam proses regulasi emosi. Hal ini menyebabkan gangguan regulasi emosi yang buruk dan pasien sulit mengoreksi pikiran-pikiran disfungsional. Gangguan pada prefrontal korteks juga menyebabkan pasien kesulitan melakukan refleksi diri.[16]
Penulisan pertama oleh: dr. Josephine Darmawan