Penatalaksanaan Depresi
Modalitas penatalaksanaan depresi dipilih berdasarkan usia pasien dan tingkat keparahan gejala. Untuk kasus depresi sedang sampai berat, direkomendasikan untuk mengkombinasikan farmakoterapi dan psikoterapi. Farmakoterapi yang direkomendasikan adalah antidepresan generasi kedua, sedangkan psikoterapi yang dapat digunakan antara lain cognitive behavioral therapy, terapi perilaku, dan terapi interpersonal.[2,9,24]
Inisiasi tata laksana depresi dapat dilakukan mulai dari tingkat layanan primer.
Rekomendasi Pendekatan Penanganan Depresi Berdasarkan Kelompok Usia
Pada tahun 2019, American Psychological Association (APA) mengeluarkan rekomendasi penatalaksanaan depresi. Dalam rekomendasi ini, APA membagi pendekatan pengobatan berdasarkan kelompok usia pasien.
Dewasa
Terapi inisial pada pasien dewasa dengan depresi yang dianjurkan adalah psikoterapi atau antidepresan generasi kedua seperti fluoxetine dan duloxetine. Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa efek psikoterapi setara dengan antidepresan. Oleh karenanya, apabila dokter ingin memberikan antidepresan, pedoman APA menganjurkan untuk memberikan berbarengan dengan psikoterapi. Bentuk psikoterapi yang disarankan adalah terapi perilaku, cognitive behavioral therapy (CBT), dan terapi psikodinamik.
Pada pasien yang depresinya berkaitan dengan masalah lain, maka perlu diberikan psikoterapi spesifik untuk masalah tersebut. Sebagai contoh, jika pasien mengalami permasalahan rumah tangga, maka dapat disarankan terapi pasangan (couple therapy). Terapi adjuvan yang mungkin dapat bermanfaat mencakup olahraga, yoga, dan akupuntur.
Penyesuaian Terapi:
Jika pasien tidak berespon atau berespon parsial terhadap terapi, maka dapat dilakukan penyesuaian pengobatan. Contohnya dengan mengubah monoterapi psikoterapi menjadi terapi kombinasi psikoterapi dengan antidepresan; melakukan augmentasi antidepresan; menambah psikoterapi; atau beralih ke kelas antidepresan lainnya.
Pencegahan Relaps:
Untuk pasien dewasa dengan depresi yang telah mencapai remisi, pencegahan relaps dapat dilakukan dengan psikoterapi. Obat antidepresan tidak disarankan untuk mencegah kekambuhan.
Lansia
Pada lansia, terapi inisial yang disarankan pada gangguan depresi mayor adalah CBT kelompok, yang dapat diberikan bersama dengan antidepresan generasi kedua. Jika pasien mengalami depresi minor, maka terapi yang disarankan adalah CBT, problem solving therapy, dan antidepresan yang dipilih dengan memperhatikan polifarmasi.
Problem solving therapy juga disarankan pada pasien lansia yang mengalami depresi bersama dengan dementia. Antidepresan yang dapat dipilih pada lansia misalnya escitalopram dan sertraline.
Pencegahan Relaps:
Untuk pencegahan relaps pada lansia, psikoterapi interpersonal dapat dikombinasikan dengan antidepresan generasi kedua.
Anak
Hingga kini belum ada bukti ilmiah yang adekuat untuk memandu terapi pada anak. Secara umum, psikoterapi adalah terapi yang didahulukan untuk populasi ini.
Pada remaja, psikoterapi yang dipilih adalah CBT dan psikoterapi interpersonal. Antidepresan lini pertama yang direkomendasikan adalah fluoxetine. Terapi dengan clomipramine, imipramine, mirtazapine, paroxetine, dan venlafaxine tidak disarankan pada populasi pasien ini.[9]
Terapi Farmakologis
Obat antidepresan terutama bekerja dengan cara meningkatkan serotonin dan norepinefrin. Beberapa kelas obat antidepresan yang banyak digunakan adalah:
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI): fluoxetine dan sertraline
Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI): duloxetine dan venlafaxine
-
Monoamine oxidase inhibitors (MAOI): phenelzinedan tranylcypromine
- Antidepresan tetrasiklik: mirtazapine dan maprotiline
- Antidepresan trisiklik (Tricyclic antidepressant / TCA): amitriptyline, amoxapine, dan imipramine
Dopaminergic norepinephrine reuptake inhibitors (DNRI): bupropion[2,18]
Obat antidepresan yang direkomendasikan adalah obat antidepresan generasi kedua. Contoh obatnya adalah fluoxetine, duloxetine, escitalopram, sertraline, venlafaxine, trazodone, bupropion, dan mirtazapine.[9] Bila pemberian obat antidepresan sampai dosis optimal tidak memberikan respon, maka bisa dilakukan augmentasi dengan lithium atau antipsikotik atipikal seperti quetiapine dan aripiprazole.[24]
Potensi Efek Samping
Efek samping obat antidepresan mencakup impulsivitas, disfungsi seksual, masalah saluran pencernaan, pemanjangan interval QT, insomnia, sedasi, agitasi, tremor, nyeri kepala, pusing, hiperhidrosis, hiponatremia, dan syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH).[2,7]
Penyesuaian Dosis
Penyesuaian dosis antidepresan diperlukan pada pasien anak, remaja, lansia, dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, hepar, ataupun jantung.[2] Pada prinsipnya, antidepresan disarankan untuk digunakan dengan dosis subklinis terlebih dulu, baru kemudian dinaikkan perlahan hingga ditemukan dosis optimal yang dapat memberi respon klinis terbaik.[9]
Penghentian Terapi
Obat antidepresan sebaiknya tidak segera dihentikan setelah pasien membaik, namun dipertahankan sampai minimal 6 bulan. Obat antidepresan juga tidak bisa langsung dihentikan, tapi diperlukan tapering off untuk mencegah timbulnya gejala-gejala withdrawal. Gejala withdrawal bisa berupa gejala-gejala seperti flu, ansietas, emosi yang labil, penurunan mood, iritabilitas, episode menangis, pusing, gemetar, kelelahan, dan sensasi seperti tersengat listrik.[27]
Keterbatasan Antidepresan
Kelemahan obat antidepresan adalah onset terapeutik yang lambat. Saat ini terdapat obat yang dikembangkan sebagai antidepresan kerja cepat, yaitu esketamin.[28] Efek antidepresan dari ketamin ditemukan pada pasien dengan depresi resisten terapi maupun pada pasien depresi bipolar.[29] Ketamin dilaporkan bisa digunakan sebagai monoterapi, dalam kombinasi dengan antidepresan, atau sebagai premedikasi anestesi pra-ECT (electroconvulsive therapy).[30]
Psikoterapi Interpersonal
Psikoterapi interpersonal adalah psikoterapi yang berfokus pada penyelesaian masalah personal pasien. Psikoterapi ini bertujuan untuk meredakan gejala-gejala depresi, meningkatkan kemampuan komunikasi sosial, menurunkan tekanan-tekanan dalam hubungan interpersonal, dan meningkatkan kewaspadaan pasien terhadap gejala-gejala depresi yang dialami serta konsekuensinya.[7]
Psikoterapi ini berfokus pada identifikasi bagaimana hubungan interpersonal atau kondisi internal pasien mempengaruhi perasaan depresi, eksplorasi emosi, dan mengubah respon interpersonal menjadi lebih adaptif.[24]
Cognitive Behavioral Therapy
Psikoterapi yang direkomendasikan untuk depresi adalah CBT. CBT membantu pasien untuk mengenali pola pikiran dan perilaku negatif yang membuatnya mengalami depresi, serta mengubahnya menjadi lebih realistis dan problem solving.[7,9,24,27]
Selain CBT, psikoterapi lain yang bisa digunakan pada pasien dengan depresi adalah mindfulness-based cognitive therapy (MBCT). MBCT bertujuan untuk membantu pasien fokus pada kondisi saat ini, hanya mengenali semua pengalaman (baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan) yang pernah dialami, tanpa berusaha mengubahnya (misalnya berharap sesuatu yang berbeda di masa lalu). Terapi ini efektif untuk mencegah relaps depresi.[9,24]
Terapi Perilaku
Terapi perilaku disebut juga aktivasi perilaku. Aktivasi perilaku (behavioural activation) adalah salah satu bentuk psikoterapi yang bertujuan untuk membuat pasien kembali melakukan aktivitas positif, menurunkan aktivitas negatif, dan membuat pasien mendapatkan reward dari perilakunya (misalnya menghabiskan waktu bersama teman atau melakukan hobi). Hal ini dilakukan dengan menjadwalkan aktivitas positif dan membantu pasien mengenali dan melawan aktivitas negatif. Reward yang ditekankan adalah kepuasan dan perasaan menyenangkan ketika berhasil melakukan target perilaku.[7,9]
Terapi Biologis
Selain terapi menggunakan obat dan psikoterapi, terdapat terapi biologis yang bisa diberikan pada pasien dengan depresi, yaitu neurofeedback, transcranial magnetic stimulation (TMS), neurofeedback/biofeedback dan electroconvulsive therapy (ECT).[9]
Transcranial Magnetic Stimulation
TMS adalah modalitas terapi yang menggunakan gelombang elektromagnetik untuk memberikan stimulasi listrik ke otak yang berhubungan dengan perubahan mood. TMS dilaporkan mempunyai efek antidepresan dan meningkatkan fungsi kognitif pada pasien dengan depresi. Studi tentang stimulasi otak noninvasif ini merupakan salah satu studi yang menjanjikan dalam beberapa dekade terakhir.[9,10]
Neurofeedback/Biofeedback
Neurofeedback/biofeedback adalah membantu pasien untuk mengendalikan aktivitas listrik otak dan fungsi autonom tubuh (misalnya denyut jantung). Pasien dipasang sensor untuk monitor badan dan EEG untuk monitor aktivitas otak, kemudian diminta melakukan aktivitas tertentu untuk mengendalikan keduanya.[9]
Electroconvulsive Therapy (ECT)
ECT dilakukan dengan mengalirkan arus listrik langsung untuk menstimulasi otak pasien. Saat ini, prosedur ECT dilakukan dengan anestesi sehingga tidak menyakiti pasien. ECT hanya dilakukan pada kasus depresi berat yang tidak merespon terapi lainnya atau mereka dengan risiko bunuh diri besar.[9,24]
Penulisan pertama oleh: dr. Josephine Darmawan