Epidemiologi Inhalant Use Disorder
Data epidemiologi inhalant use disorder atau gangguan penyalahgunaan zat inhalan secara global masih cukup terbatas. Dalam sebuah studi lokal pada 43 anak jalanan kota Makasar, dilaporkan prevalensi mencapai 67,4% dari subjek studi. Pada kalangan pengguna, gangguan ini disebut sebagai ‘ngelem’ karena zat inhalan yang umum dipakai adalah lem, pelarut, cat, dan bahan bakar.[1,9]
Global
Di Amerika Serikat, sekitar 11% remaja menyalahgunakan zat inhalan. Angka ini dilaporkan berkurang seiring bertambahnya usia. Dari keseluruhan populasi, diperkirakan 6% telah mencoba huffing setidaknya sekali. Zat inhalan menyumbang 1% dari kematian akibat zat di Amerika Serikat.[1]
Laporan lain di bagian utara Rusia menunjukkan prevalensi gangguan ini pada remaja laki-laki sebesar 6,1% dan remaja perempuan sebesar 3,4%.[10]
Indonesia
Belum ada penelitian yang mengukur prevalensi gangguan ini di Indonesia. Sebuah penelitian lokal di Makassar pada tahun 2016 menyebutkan bahwa prevalensi gangguan penyalahgunaan zat inhalasi di kalangan anak jalanan berumur 15-18 tahun mencapai 67,4%. Kejadian ini sebesar 95,3% dialami remaja laki-laki.[9]
Mortalitas
Penggunaan inhalan berpotensi menyebabkan kematian. Telah diperkirakan sekitar 100-125 kematian per tahunnya terjadi akibat penyalahgunaan zat inhalan di Amerika Serikat. Angka mortalitas di Indonesia masih belum jelas.
Inhalant use disorder dapat menyebabkan fatalitas akibat anoksia, disfungsi jantung, reaksi alergi ekstrem, cedera berat pada paru, ataupun depresi sistem saraf pusat. Pada paparan jangka panjang, dapat terjadi gagal hati, gagal ginjal, dan tumor hati. Jika dipakai oleh ibu hamil, dapat timbul Fetal Solvent Syndrome (FSS) dan kematian janin.
Perubahan white matter difus dan ireversibel dapat terjadi dan berujung pada defisit fungsional yang signifikan. Pengguna inhalan juga mengalami peningkatan risiko ide dan upaya bunuh diri, gangguan mood, kecemasan, dan gangguan kepribadian.[6]