Penatalaksanaan Inhalant Use Disorder
Penatalaksanaan inhalant use disorder tidak jauh berbeda dari perawatan untuk perilaku adiktif lainnya. Penatalaksanaan yang berhasil memerlukan pengenalan toksisitas paru, jantung, dan neurologis, disertai dengan inisiasi perawatan suportif yang tepat. Karena kondisi ini sering dialami oleh pasien dengan usia lebih muda, pasien dan keluarga perlu dilibatkan secara aktif untuk mencegah kekambuhan.[1]
Pedoman Umum Pengelolaan Inhalant Use Disorder
Sebagian besar kasus paparan inhalan melibatkan konsumsi sejumlah kecil zat dan kebanyakan pasien akan dalam keadaan stabil. Namun, pasien dengan konsumsi jumlah besar, paparan inhalasi asfiksia, atau paparan hidrokarbon aromatik atau halogenasi dapat memerlukan stabilisasi jalan napas dan sirkulasi.
Meskipun terdapat beberapa pengobatan yang tampak menjanjikan dengan 1-2 penelitian menunjukkan kemungkinan kemanjuran, basis bukti tata laksana secara umum masih sangat tidak adekuat. Secara umum, perawatan untuk penggunaan inhalan tidak jauh berbeda dari perawatan untuk perilaku adiktif lainnya.
Perlu diingat bahwa pasien inhalant use disorder umumnya berusia lebih muda dan mengalami disfungsi sosial yang lebih besar dibandingkan pengguna zat lain. Penggunaan inhalan kronis juga dikaitkan dengan defisit neurokognitif dan kepribadian antisosial yang dapat mempersulit pengobatan.[6]
Stabilisasi dan Penatalaksanaan Intoksikasi Akut
Pada umumnya, pengguna inhalan tidak datang mencari pertolongan medis secara sukarela kecuali jika mengalami kegawatdaruratan medis. Pasien dievaluasi dan distabilisasi dengan menjaga jalan napas, hidrasi, dan stabilisasi kardiorespirasi. Pengelolaan yang dilakukan pada pasien dengan intoksikasi akut adalah pemantauan medis dan perawatan suportif.
Pada kelompok pasien ini, kelesuan atau koma biasanya sembuh dalam waktu 12 jam dengan perawatan suportif saja. Namun, dalam kasus gangguan pernapasan berat atau perubahan status mental, mereka yang tidak responsif terhadap oksigen dan bronkodilator beta-2 seperti salbutamol, atau mereka dengan letargi atau koma yang signifikan yang tidak dapat mempertahankan jalan napas mereka sendiri, harus dilakukan intubasi endotrakeal.
Jika pasien mengalami kejang, maka, selain mendukung jalan napas dan oksigenasi, perlu pemberian benzodiazepin seperti lorazepam atau diazepam. Penatalaksanaan harus disertai dengan pengobatan hipoksemia yang agresif.[14]
Jika pasien nampak mengalami cedera, dapat dilakukan perawatan cedera akut. Dekontaminasi kulit dan pakaian dapat mengurangi risiko luka bakar apabila zat volatil mengenai kulit atau pakaian.[6]
Dekontaminasi Gastrointestinal
Pendekatan dekontaminasi gastrointestinal pada pasien dengan intoksikasi akut tergantung pada jenis dan jumlah zat yang dihirup.
Isolated Aliphatic atau Terpene Hydrocarbon:
Sebagian besar pasien dengan konsumsi Isolated Aliphatic atau Terpene Hydrocarbon tidak boleh mendapat karbon aktif atau menjalani lavase lambung karena risiko memprovokasi muntah dan aspirasi paru lebih lanjut. Selain itu, karbon aktif tidak mengikat hidrokarbon dengan baik sehingga tidak bermanfaat.[12,14]
Hidrokarbon Aromatik atau Halogenasi:
Untuk pasien setelah inhalasi hidrokarbon aromatik atau halogenasi yang datang untuk perawatan dalam waktu 60 menit setelah menelan, disarankan lavase lambung menggunakan aspirasi nasogastrik. Bilas nasogastrik hanya boleh dilakukan bila risiko toksisitas sistemik dari penyerapan gastrointestinal dari hidrokarbon sama dengan atau melebihi peningkatan risiko aspirasi paru yang terkait dengan bilas nasogastrik.[14]
Hidrokarbon Dikombinasikan dengan Zat Lain:
Pemberian karbon aktif dosis tunggal (1 g/kg) disarankan untuk pasien yang datang dalam waktu 2 jam setelah terpapar dan menelan hidrokarbon yang dikombinasikan dengan aditif toksik yang dapat diserap seperti organofosfat atau pestisida lainnya.[14]
Terapi Farmakologi
Belum ada terapi farmakologi spesifik untuk mengatasi gangguan penggunaan zat inhalan. Jika terdapat psikosis atau delirium, gunakan antipsikotik seperti risperidone atau haloperidol.[1] Berikan benzodiazepin, lorazepam atau diazepam, jika pasien mengalami kejang.[14]
Terapi Psikososial
Cognitive behavioral therapy (CBT) telah dilaporkan bermanfaat dalam manajemen pasien dengan inhalant use disorder. Saat CBT, pasien perlu diedukasi mengenai potensi efek berbahaya dari penggunaan inhalan karena banyak pengguna yang percaya efek buruk inhalan hanya sedikit.
CBT juga dapat mencakup permainan peran yang bertujuan mengedukasi pasien mengenai cara menghadapi situasi berisiko tinggi, mengatasi craving, menolak tawaran penggunaan inhalan, dan mengatasi kondisi darurat. CBT juga perlu diikuti dengan restrukturisasi lingkungan, seperti mencari teman sebaya yang dapat menjadi pendukung dan pengawas pasien.
Terapi keluarga juga perlu dipertimbangkan karena banyak remaja dengan inhalant use disorder memiliki latar belakang keluarga yang bermasalah. Melibatkan secara aktif jaringan sosial dan keluarga telah dilaporkan berdampak positif pada luaran terapi dan akan membantu mengatasi gangguan perilaku jika ada. Konseling keluarga berfokus pada perbaikan dinamika dan perilaku keluarga.[1,6]