Patofisiologi Parasomnia
Patofisiologi parasomnia berhubungan dengan gangguan transisi antara siklus tidur baik fase terjaga, non-rapid eye movement (NREM), maupun rapid eye movement (REM). Tidur merupakan proses yang dibutuhkan untuk menjaga fungsi otak. Gangguan tidur akan menyebabkan gangguan proses pikir, gangguan mood, dan gangguan fisiologis lain.[1,5]
Fisiologi Tidur
Siklus tidur yang normal terbagi menjadi fase terjaga (wakefulness), non–rapid eye movement (NREM), dan rapid eye movement (REM). Fase NREM selanjutnya dibagi menjadi fase 1, fase 2, dan fase 3, yang kemudian masuk ke fase REM.
Fase 1 merupakan fase transisi dari keadaan terjaga hingga tidur. Fase 2 adalah fase terlama dalam siklus tidur dan ditandai dengan adanya kompleks K dan sleep spindles pada elektroensefalogram. Aktivitas otak mulai menurun pada fase 3 dan mulai beraturan, kemudian meningkat lagi pada fase REM, hingga menyerupai aktivitas normal sehari–hari.[5]
Pada fase REM, aktivitas otak mirip dengan kondisi terjaga, tetapi disertai dengan hilangnya kekuatan otot volunter, kecuali pada otot mata yang bergerak dengan cepat.
Siklus tidur tersebut berlangsung selama 90 menit dan berulang terus–menerus. Pada parasomnia, terdapat gangguan pada transisi antara siklus tidur, sehingga menimbulkan karakteristik keadaan mental dan perilaku.[5]
Patofisiologi Parasomnia
Parasomnia REM dan NREM diduga terjadi, karena transisi yang tidak sempurna atau batasan antara fase tidur dan bangun yang kabur.
Parasomnia NREM
Fase tidur NREM diperantarai oleh area ventrolateral preoptik (VLPO) dan area median preoptik (MNPO). Kedua struktur ini memproduksi neurotransmitter GABA dan neuropeptida galanin, serta memproyeksikan diri kepada struktur otak yang mencetuskan kesadaran.[1,4]
Aktivasi VLPO dan MNPO akan menginhibisi struktur tersebut. VLPO dan MNPO juga menginhibisi pelepasan norepinefrin, serotonin, dan asetilkolin. Saat terbangun, neurotransmitter tersebut secara bergantian menginhibisi VLPO dan MNPO.
Sistem inhibisi yang terjadi bekerja sama untuk memastikan fase tidur dan terjaga bersifat komplit, serta tidak tumpang tindih satu sama lain. Pada parasomnia NREM, terjadi gangguan transisi dari tidur dan terjaga yang tidak sempurna, sehingga pasien “terperangkap” di tengah–tengah fase transisi.[1,4]
Parasomnia REM
Parasomnia REM ditandai dengan peningkatan aktivitas motorik saat fase REM. Parasomnia REM dibagi menjadi idiopatik dan sekunder. Parasomnia REM idiopatik terjadi tanpa adanya penyakit penyerta yang diketahui, sedangkan parasomnia REM sekunder berkaitan dengan penyakit neurologis lain seperti penyakit neurodegeneratif, gangguan tidur lain, atau kondisi putus obat.[8]
Dalam kondisi tidur normal, pada fase REM terjadi hipopolarisasi dari motor neuron alfa dan gamma, sehingga terjadi paralisis atau atonia intermitten. Hal ini diperantarai oleh mekanisme aktif dan pasif yang diibaratkan sebagai “REM–on” dan “REM–off” pada saklar.
Ketika tidur fase REM, gerakan dengan amplitudo tinggi tidak terjadi, karena terdapat “REM–on” pada medula oblongata yang tidak terinhibisi, sehingga menimbulkan atonia. Gangguan pada mekanisme “REM–on” dan “REM–off” ini yang menimbulkan parasomnia REM.[8]
Pada keadaan ini, tidak terjadi atonia yang lazim, sehingga pasien melakukan hal yang dimimpikan, seperti berteriak, meloncat, atau berlari dari ranjang. Pasien dengan parasomnia REM tidak sadar akan kondisi sekitar dan bertindak sesuai dengan mimpi. Cedera rentan terjadi sebagai akibat dari tindakan yang berbahaya.[8]
Confusional Arousal
Confusional arousal adalah gangguan kesadaran parsial pada NREM fase 3. Episode ini sering dimulai dengan pasien terduduk atau berdiri di ranjang dengan mata terbuka dan melihat sekeliling. Bagi orang lain, pasien terlihat sudah terbangun, hingga pasien diajak berkomunikasi.
Pasien menjawab dengan laju bicara yang lambat, disorientasi, kurang responsif, dan dapat disertai perilaku otomatisasi, seperti bergumam tanpa hiperaktivitas simpatis. Episode confusional arousal terjadi selama beberapa menit hingga jam, dan pasien tidak ingat sama sekali mengenai kejadian tersebut. Gangguan ini bersifat ringan dan lebih banyak pada populasi anak dibanding dewasa.[1,4]
Sleepwalking
Sleepwalking atau somnabulisme adalah perilaku kompleks yang ditandai dengan pergerakan pasien dari ranjang dan dapat disertai perilaku agresif terhadap individu yang berusaha membangunkan pasien. Pasien dengan somnabulisme bisa melakukan tindakan yang kompleks dan bertujuan seperti mengatur furnitur, bermain musik, berpakaian, dan mandi.
Dapat terjadi perilaku yang membahayakan dan dapat menimbulkan cedera, contohnya berkendara atau memanjat keluar jendela. Pasien biasanya menunjukkan ketahanan tinggi terhadap rasa nyeri, seperti luka bakar atau laserasi. Perilaku agresif umumnya lebih banyak ditemukan pada laki–laki dibandingkan perempuan.[1,4]
Terror Tidur
Pada terror tidur, pasien mengalami aktivitas otonom yang jelas. Terror tidur ditandai dengan vokalisasi seperti berteriak atau menangis ketakutan dan diikuti aktivitas otonom seperti berkeringat, takikardia, takipnea, dan midriasis.
Anak dengan terror tidur sulit ditenangkan dan tidak sadar selama episode berlangsung. Episode terror tidur umumnya berlangsung selama beberapa menit dan diakhiri dengan pasien yang tenang dan kembali tidur.[1,4]
Gangguan Makan Terkait Tidur
Gangguan ini ditandai dengan episode makan rekuren yang dilakukan secara involunter tanpa disadari. Individu biasanya mengonsumsi makanan berkarbohidrat tinggi atau makanan dengan kombinasi tidak biasa atau zat yang toksik, seperti kue dengan rokok, makanan binatang peliharaan, atau daging mentah.[1,4]
Gangguan makan terkait tidur lebih umum terjadi pada perempuan, dengan onset tersering pada dewasa muda. Pasien dengan gangguan makan terkait tidur berisiko mengalami peningkatan berat badan, dislipidemia, karies gigi, atau cedera karena salah mengonsumsi makanan.
Komorbid yang banyak menyertai meliputi insomnia, kecemasan, rasa mengantuk di siang hari, riwayat somnabulisme, dan riwayat gangguan makan.[1,4]
Mimpi Buruk
Mimpi buruk merupakan mimpi yang kompleks dan menakutkan. Mimpi buruk dapat menimbulkan aktivasi simpatis dan berakibat terbangunnya pasien secara mendadak dengan disertai ingatan samar terhadap mimpi tersebut. Mimpi buruk terjadi pada fase REM dan biasanya dimulai dengan mimpi yang panjang dan kompleks yang kemudian berkembang menjadi sesuatu yang menyeramkan.
Beberapa mimpi bersifat rekuren serta berhubungan dengan kejadian traumatik dan penggunaan obat seperti penyekat beta, inhibitor asetilkolin esterase, L–dopa, dan penghentian obat yang mensupresi REM mendadak. Mimpi buruk yang terus menerus dan mengganggu bisa menyebabkan insomnia karena pasien takut untuk tidur.[1,7]
Paralisis Tidur Rekuren Terisolasi
Pada paralisis tidur ini, pasien tidak dapat bergerak saat terbangun. Gangguan ini terjadi akibat pemanjangan fase REM yang mengakibatkan atonia saat terbangun. Beberapa kondisi yang bisa menimbulkan paralisis tidur adalah kurang tidur atau gangguan irama sirkadian.[1]
Gangguan Perilaku Terkait Fase REM
Gangguan perilaku ini disebut juga REM behavior disorder atau RBD. Pada gangguan ini, terjadi episode rekuren gerakan motorik kompleks atau vokalisasi pada fase REM.
Pasien bergerak sesuai dengan mimpi, kemudian terbangun dan dapat mengingat mimpi tersebut dengan baik. Perilaku yang terjadi meliputi berteriak, tertawa, menendang, atau berlari. Perilaku ini berpotensi menimbulkan cedera pada pasien atau pasangan tidur.[1,4]
Exploding Head Syndrome
Sindroma ini merupakan gangguan yang ditandai dengan suara keras atau meledak yang terjadi secara mendadak di kepala saat fase transisi antara terjaga dan tidur. Gangguan ini ringan, tidak menimbulkan nyeri, tetapi dapat menakutkan bagi pasien dan menyebabkan insomnia. Exploding head syndrome bisa diikuti dengan gerakan mioklonus atau melihat kilatan cahaya.[1,7]
Halusinasi Terkait Tidur
Halusinasi yang terjadi umumnya berupa visual dan terjadi saat tidur (hipnagogik) dan terbangun (hipnopompik). Halusinasi visual cenderung jelas, tidak bergerak, dan jarang menakutkan. Gangguan ini umum terjadi pada pasien dengan narkolepsi.[7]
Enuresis
Enuresis adalah gangguan di mana pasien berkemih saat tidur. Enuresis dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Enuresis pada dewasa berkaitan dengan obstructive sleep apnea. Enuresis yang tidak ditangani menyebabkan trauma psikologis pada pasien, seperti rasa bersalah dan malu.[7]
Parasomnia Overlap Disorder (POD)
Parasomnia overlap disorder (POD) merupakan jenis parasomnia dimana terdapat parasomnia REM dan NREM pada satu pasien. Umumnya sulit menentukan kelainan mana yang lebih dulu terjadi atau apakah kedua parasomnia terjadi bersamaan.
Beberapa subtipe POD adalah POD idiopatik, POD simptomatik, RBD subklinis tanpa atonia dengan parasomnia NREM, RBD dengan gangguan makan terkait tidur, RBD dengan seksomnia, dan RBD dengan gangguan gerakan ritmik. Kebanyakan kasus POD adalah idiopatik.[6]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli