Patofisiologi Schizophrenia
Patofisiologi schizophrenia atau skizofrenia dapat disebabkan oleh abnormalitas anatomi dan reseptor neurotransmiter yang berperan, abnormalitas fungsi sistem imun, dan proses inflamasi.[6]
Abnormalitas Anatomi
Studi neuroimaging menunjukkan adanya perbedaan otak pada orang normal dengan pasien schizophrenia. Pada schizophrenia terdapat gambaran ventrikel yang membesar, penurunan volume otak di daerah temporal, medial dan area hippocampus. Studi lainnya menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan kelainan anatomi pada jaringan neokortikal dan area limbik, serta area white-matter. Studi metaanalisis menemukan bahwa area white-matter berkurang pada schizophrenia.[6]
Pada Edinburgh High-Risk Study didapatkan adanya pengurangan volume seluruh otak, volume lobus prefrontal kiri dan kanan, serta lobus temporal pada 17 dari 146 orang yang memiliki risiko genetik tinggi mengalami schizophrenia. Perubahan pada lobus prefrontal dikaitkan dengan peningkatan keparahan gejala psikotik yang akan ditunjukkan oleh pasien.[6]
Dalam studi metaanalisis lain yang mengkaji 27 studi, MRI secara longitudinal yang membandingkan pasien schizophrenia dalam kelompok kontrol menemukan adanya kelainan struktural otak yang berkembang seiring berjalannya waktu. Kelainan struktural ini termasuk penurunan volume seluruh otak pada white and gray-matter dan peningkatan volume ventrikel lateral.[6]
Agregasi Protein Insolubel
Insolubilitas protein sering kali merupakan akibat dari abnormalitas struktur tersier protein. Protein akan mengalami konformasi (folding) setelah terbentuk yang diperantarai oleh chaperone. Bila terjadi mutasi atau stres seluler (misalnya, akibat peningkatan temperatur, produksi reactive oxygen species, atau hipoksia), kesalahan proses folding dapat terjadi, sehingga protein mengalami agregasi karena protein menjadi sulit larut. Teori agregasi protein insolubel ini berdasarkan studi-studi terbaru berpotensi berperan dalam patofisiologi schizophrenia.
Abnormalitas Neurotransmiter
Patofisiologi schizophrenia yang paling mendasar adalah teori mengenai abnormalitas neurotransmiter. Sebagian besar teori ini menyatakan adanya kekurangan ataupun kelebihan neurotransmiter, termasuk dopamin, serotonin dan glutamat. Teori lainnya melibatkan aspartat, glisin dan gamma-aminobutyric acid (GABA) sebagai bagian dari ketidakseimbangan neurokimia pada schizophrenia.[7]
Aktivitas abnormal pada reseptor dopamin diduga berperan besar pada kejadian schizophrenia.
Empat jalur dopaminergik juga ikut terlibat, antara lain:
- Jalur nigrostriatal yang berasal dari substansia nigra dan berakhir pada nukleus kaudatus. Tingkat dopamin yang rendah dalam jalur ini mempengaruhi sistem ekstrapiramidal yang mengarah ke gejala motorik
- Jalur mesolimbik yang berasal dari area ventral tegmental (VTA) ke area limbik dan berperan dalam gejala positif schizophrenia
- Jalur mesokortikal yang berlanjut dari VTA ke area korteks. Gejala negatif schizophrenia dan defisit kognitif diduga disebabkan oleh tingkat dopamin yang rendah pada jalur ini
- Jalur tuberoinfundibular yang merupakan jalur dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis. Penurunan atau blokade dopamin pada jalur ini meningkatkan kadar prolaktin sehingga mengakibatkan terjadinya galaktorea, amenorrhea dan penurunan libido[7]
Abnormalitas Neurotransmiter akibat Obat
Teori lainnya berhubungan dengan lysergic acid diethylamide (LSD) yang dapat meningkatkan kadar serotonin di otak. Rangsangan aktivitas glutamat juga dapat memicu terjadinya schizophrenia, hal ini diperoleh dari penemuan bahwa fenilkisid dan ketamin, dua antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA)/glutamat nonkompetitif menginduksi gejala seperti schizophrenia.[7]
Penelitian selanjutnya mengarah pada pengembangan senyawa-senyawa yang dapat menghambat reseptor dopamin, serotonin dan reseptor lainnya sehingga diharapkan dapat mengurangi gejala positif dan negatif schizophrenia.[7]
Inflamasi dan Abnormalitas Fungsi Sistem Imun
Fungsi sistem imun mengalami gangguan pada schizophrenia. Aktivitas sistem imun yang berlebih dapat menyebabkan ekspresi berlebih dari sitokin inflamasi serta perubahan struktur dan fungsi otak. Resistensi insulin dan gangguan metabolisme lainnya dikaitkan dengan proses inflamasi.[6]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra