Diagnosis Schizophrenia
Diagnosis schizophrenia atau skizofrenia ditegakkan bila ditemukan adanya gejala khas schizophrenia, berupa delusi/waham, halusinasi, ucapan tidak terorganisir, perilaku katatonik dan gejala negatif, yang berlangsung minimal 1 bulan. Gejala bukan disebabkan oleh penyebab organik, gangguan mood, gangguan schizoafektif, serta bukan akibat penyalahgunaan zat dan obat.
Kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM-5) dapat digunakan sebagai pedoman diagnostik pada schizophrenia.[2,8]
Anamnesis
Anamnesis berupa wawancara psikiatri dilakukan untuk mencari tahu adanya gejala yang mengarah ke schizophrenia. Meskipun schizophrenia biasanya terjadi menjelang usia 30 tahun, perubahan kepribadian dan penurunan fungsi akademik, pekerjaan, sosial dan interpersonal dapat dimulai sejak remaja. Gejala mungkin telah berlangsung selama 1–2 tahun sebelum akhirnya pasien mengunjungi dokter untuk pertama kalinya.[6]
Gejala schizophrenia dapat dibagi menjadi 5 domain:
- Gejala positif: waham, halusinasi, disorganisasi pembicaraan dan perilaku, dan gangguan isi pikir
- Gejala negatif: afek tumpul, anhedonia, alogia, avolisi, dan asosialitas
- Gejala kognitif: hendaya memori, kelancaran verbal, memusatkan dan mempertahankan atensi, memodulasi perilaku berdasarkan nilai sosial, disfungsi eksekutif, dan menentukan prioritas
- Gejala afektif: mood depresi, iritabilitas, cemas, kekhawatiran, rasa bersalah, dan ketegangan
- Gejala agresif: hendaya mengontrol impuls, kekerasan fisik, verbal dan seksual, penyerangan, hostilitas, merusak benda, dan perilaku melukai diri sendiri[8]
Anamnesis pada schizophrenia perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari gejala psikotik yang ditunjukkan oleh pasien. Riwayat medis dan psikiatri dalam keluarga perlu ditanyakan.[6]
Perincian tentang kehamilan dan masa kanak-kanak juga mengambil peran penting, misalnya apakah pasien lebih suka bermain sendiri saat anak-anak, atau pasien sering menjadi korban bullying teman-temannya. Riwayat obat-obatan yang digunakan serta riwayat penyalahgunaan zat juga perlu ditanyakan.[6]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada schizophrenia biasanya tidak menunjukkan hasil spesifik. Namun, pemeriksaan ini diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit yang lain. Pemeriksaan fisik yang sering dilakukan adalah pemeriksaan neurologis, terutama sebelum memulai pengobatan antipsikotik, karena efek sampingnya yang dapat memengaruhi persarafan.[6]
Pemeriksaan Status Mental
Selain anamnesis, pemeriksaan status mental pasien perlu dilakukan untuk mendiagnosis schizophrenia. Penilaian subjektif dari dokter dimulai saat pasien memasuki ruang periksa. Pemeriksaan ini meliputi:
- Penampilan, yaitu melihat secara keseluruhan cara jalan, cara duduk, cara berpakaian, dandanan, kebersihan diri, ada/tidaknya cacat fisik, apa penampilan sesuai usia atau terlihat lebih muda atau lebih tua
- Sikap, apakah kooperatif dengan pemeriksa, gaduh gelisah, sebentar-sebentar ingin meninggalkan tempat duduk, atau menunjukkan sikap bermusuhan
Mood, yaitu suasana perasaan pasien. Hasil yang dapat diperoleh berupa hipertimia (manik), eutimia (normal), hipotimia (depresi), disforia (cepat marah/tersinggung), labil (bila marah dapat membahayakan orang sekitarnya)
- Afek, dengan memperhatikan mimik pasien (gerak alis, bibir, kedipan mata) atau bahasa tubuh. Hasil penilaian berupa datar/terbatas/serasi dengan mood atau tidak serasi dengan mood
- Proses pikir, yaitu selama wawancara apakah relevan (koheren)/tidak relevan sama sekali (inkoheren), apakah ide satu tidak ada kaitan dengan ide bicara lainnya (asosiasi longgar), jawaban berputar-putar, apakah tidak menjawab atau terhenti tiba-tiba (blocking)
- Isi pikir, apakah isi pembicaraan hanya tertentu dan diulang-ulang (miskin ide), ada waham (kebesaran, kejaran, nihilistik, aneh) atau hanya preokupasi
- Persepsi, yaitu menilai ada halusinasi/tidak (auditorik/visual/taktil)
- Tilikan, yaitu apakah pasien sadar dirinya sakit atau tidak[11]
Kriteria Diagnosis Schizophrenia
Diagnosis pada schizophrenia dapat dilakukan melalui wawancara klinis, mengacu pada DSM-5. Diagnosis schizophrenia ditegakkan bila tidak terdapat gangguan organik yang mendasari, salah satu kriteria A-C terpenuhi, serta kriteria pengecualian tidak terpenuhi.
Kriteria Simtomatik (Kriteria A)
Kriteria A mensyaratkan munculnya gejala khas atau gejala lainnya dengan durasi minimal 1 bulan atau untuk waktu yang lebih sedikit jika pengobatan berhasil. Setidaknya harus ada 2 kriteria A dalam waktu minimal 1 bulan atau lebih. Kriteria tersebut adalah delusi/waham, halusinasi, ucapan tidak terorganisir, perilaku katatonik dan gejala negatif.[8]
Kriteria Fungsi (Kriteria B)
Kriteria B adalah kemunduran yang signifikan pada salah satu atau lebih pada area fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan interpersonal atau kemampuan individu merawat dirinya sendiri.[8]
Kriteria Durasi (Kriteria C)
Kriteria C adalah total durasi 6 bulan berturut-turut. Dalam periode 6 bulan ini harus ada setidaknya 1 bulan gejala fase aktif, berupa gejala psikotik yang nyata. Durasi yang lebih pendek dari fase aktif hanya diperbolehkan masuk dalam kriteria jika pengobatan berhasil.
Gejala lainnya yang dapat ditemukan adalah gejala psikotik, gejala prodromal sebelum psikosis nyata, atau gejala residu setelah resolusi gejala psikotik. Gejala residual ini didefinisikan sebagai kepercayaan aneh, pemikiran magis, ide referensi, pengalaman persepsi yang aneh, ucapan tidak jelas atau perilaku aneh.[8]
Kriteria Pengecualian (Kriteria D-F)
Individu dengan gangguan suasana hati (mood) atau gangguan schizoafektif tidak termasuk dalam schizophrenia. Pasien dengan schizophrenia seharusnya tidak mengalami episode manik atau depresi selama gejala psikotik fase aktif atau jika ada episode perubahan mood yang bersamaan dengan fase aktif.
Selain itu, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM-5) menyebutkan bahwa gejala hasil dari efek fisiologis penyalahgunaan obat dan zat atau adanya kelainan neurologis dan medis tidak termasuk kriteria diagnosis schizophrenia.[8]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding schizophrenia, seperti psikosis organik, gangguan psikotik akibat zat, hipertiroid dan demensia, dapat disingkirkan dengan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang, baik pemeriksaan laboratorium maupun pencitraan. Sedangkan diagnosis banding lainnya, seperti gangguan bipolar dan depresi dengan gejala psikotik, dapat disingkirkan dengan wawancara psikiatri dan pemeriksaan status mental.
Psikosis Organik
Banyak faktor yang dapat menyebabkan gangguan kejiwaan di antaranya epilepsi, tumor, cedera otak traumatik, human immunodeficiency virus (HIV), neurosifilis, pellagra, defisiensi B12, herpes ensefalitis dan penyakit Wilson. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat dan cermat dapat membantu membedakan penyakit-penyakit di atas dengan schizophrenia. Pemeriksaan penunjang seperti tes, tes Herpes Simplex Virus (HSV) dalam cairan serebrospinal, kadar tembaga dalam urin, ceruloplasmin dalam darah dan kadar vitamin B12.[12]
Gangguan Psikotik akibat Penggunaan Zat
Gejala pada gangguan ini hampir sama dengan schizophrenia, yaitu berupa delusi/ waham dan halusinasi auditorik. Namun, terdapat riwayat penggunaan obat atau zat tertentu. Obat yang paling sering dikaitkan dengan psikosis adalah ganja, metamfetamin, kokain dan amfetamin, ketamin. Hal ini dapat dibuktikan dengan tes narkoba yaitu pemeriksaan urine untuk mengidentifikasi obat penyebab.[12]
Dementia dengan Psikosis
Dementia dengan psikosis memiliki gejala klinis yang sama dengan schizophrenia seperti delusi/ waham namun pada pasien dengan dementia ini ditemukan pada usia yang lebih lanjut, riwayat keluarga dengan demensia dan penurunan kognitif yang bertahap. Pencitraan berupa computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk melihat perubahan otak pada dementia.[12]
Gangguan Schizoafektif
Gangguan schizoafektif merupakan suatu gangguan kejiwaan yang merupakan kombinasi dari dua gejala gangguan jiwa lainnya, yakni schizophrenia dan gangguan mood. Pasien dengan gangguan schizoafektif dapat mengalami gejala psikosis (delusi dan halusinasi) yang bersamaan dengan perubahan mood dari mania menjadi depresi.[12]
Gangguan Bipolar
Gangguan bipolar adalah gangguan mental yang dapat terjadi pada seseorang yang ditandai dengan perubahan suasana hati/mood yang sangat ekstrem, berupa episode manik dan depresi. Suasana hati pasien ini dapat berganti secara tiba-tiba dan sangat berlawanan dan berlebihan tanpa pola atau waktu yang pasti.[12]
Depresi dengan Episode Psikotik
Depresi dengan gejala psikotik merupakan gabungan antara episode depresi utama yang disertai dengan episode psikotik yang dapat berupa halusinasi, baik auditorik, visual, dan olfaktori, serta delusi. Orang dengan depresi psikotik mengalami depresi yang terkait dengan delusi atau halusinasi yang mereka alami.[12]
Hipertiroid
Gangguan tiroid seperti hipertiroid dapat disertai dengan gejala psikosis. Pada hipertiroid, akan ditemui tanda takikardia, gondok, penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas, palpitasi, tremor, kelemahan otot atau tonjolan mata. Namun, berbeda dari schizophrenia, hasil laboratorium hipertiroid menunjukkan peningkatan serum T3 dan T4, dengan kadar thyroid stimulating hormone (TSH) yang rendah.[12]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien schizophrenia dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab organik pada pasien. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan laboratorium dan radiologi.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, termasuk kalsium, fungsi ginjal, fungsi hati, fungsi tiroid, kadar vitamin B12, dan tes HIV. Selain itu, dapat dilakukan urinalisis untuk melihat adanya penyalahgunaan zat, serta infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan radiologis yang dilakukan adalah rontgen toraks untuk mengeksklusi penyakit paru atau keganasan, serta elektroensefalografi (EEG). Pencitraan otak, seperti CT scan kepala atau MRI otak, juga perlu dilakukan untuk mengeksklusi hematoma subdural, vaskulitis, abses serebral, dan tumor.[12,13]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra