Penatalaksanaan Schizophrenia
Penatalaksanaan schizophrenia atau skizofrenia bertujuan untuk meredakan dan mengontrol gejala, karena belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Untuk itu, penatalaksanaan harus dilakukan seumur hidup, mencakup pemberian medikamentosa dan terapi psikososial. Dalam beberapa kasus, pasien mungkin memerlukan rawat inap, bila berpotensi membahayakan diri sendiri atau orang lain.[5]
Tata Laksana Farmakologi
Obat-obat yang dapat digunakan untuk pasien schizophrenia adalah berasal dari golongan antipsikotik. Golongan obat ini dianggap dapat mengendalikan gejala dengan mempengaruhi neurotransmiter dopamin di otak. Tujuan pengobatan dengan antipsikotik adalah untuk mengontrol tanda dan gejala schizophrenia secara efektif, dengan dosis serendah mungkin.[5]
Golongan Antipsikotik Generasi Pertama
Antipsikotik generasi pertama ini memiliki efek samping neurologis yang sering terjadi berupa tardive dyskinesia yang mungkin reversible maupun irreversible.
Antipsikotik generasi pertama dibagi menjadi 2 berdasarkan ikatannya pada reseptor dopamine D2, yaitu:
Low potency, seperti chlorpromazine dan thioridazine
High potency, termasuk haloperidol, fluphenazine, dan trifluoperazine[26]
Dosis Antipsikotik Generasi Pertama adalah:
Fluphenazine: 2,5-10 mg/hari dikonsumsi 2-3 kali sehari dengan dosis maksimum 40 mg/hari
Haloperidol: 0,5-2 mg dikonsumsi 2-3 kali sehari dengan dosis maksimum 30 mg/hari
- Perphenazine: 4-8 mg dikonsumsi 3 kali sehari dengan dosis maksimum 64 mg/hari
Antipsikotik golongan ini memiliki harga yang lebih murah jika dibandingkan dengan antipsikotik generasi kedua, tetapi memiliki risiko efek samping yang lebih besar.[5]
Golongan Antipsikotik Generasi Kedua
Obat generasi kedua ini lebih baru, dan lebih disukai karena risiko efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan generasi pertama. Antipsikotik generasi kedua meliputi:
Risperidone: 1 mg dikonsumsi 2 kali sehari dengan dosis maksimum 16 mg/hari
Paliperidone: 6 mg dikonsumsi 1 kali sehari dengan dosis maksimum 12 mg/hari
Olanzapine: 5–10 mg dikonsumsi 1 kali sehari dengan dosis maksimum 20 mg/hari
- Clozapine: 12,5 mg dikonsumsi 1-2 kali sehari dengan dosis maksimum 900 mg/hari[5]
Golongan Antipsikotik Generasi Ketiga
Antipsikotik generasi ketiga seperti aripiprazole, brexpiprazole, dan cariprazine adalah agonis parsial terhadap reseptor dopamin D2.[22,23]
Antipsikotik dalam Sediaan Injeksi
Beberapa studi telah menemukan bahwa pemberian injeksi antipsikotik dapat meningkatkan efektivitas terapi dan kepatuhan pasien dalam berobat.[25]
Penelitian oleh Schreiner et al. tahun 2015 menunjukkan perbedaan yang signifikan antara waktu kambuh pasien skizofrenia yang mendapatkan antipsikotik injeksi jika dibandingkan dengan pemberian peroral. Sebanyak 15% pasien skizofrenia yang mendapat injeksi paliperidone-palmitat mengalami kekambuhan pada hari ke-469, sedangkan pasien dengan terapi oral pada hari ke-249.[27]
Sebuah studi meta analisis oleh Park et al. tahun 2018 membandingkan efikasi dan keamanan antara antipsikotik injeksi jangka panjang dengan antipsikotik oral generasi kedua. Studi ini menyimpulkan bahwa kelompok pasien yang diberikan injeksi antipsikotik jangka panjang memiliki tingkat kekambuhan yang lebih rendah, waktu terjadinya kambuh yang lebih lama, dan masa rawat yang lebih pendek. Namun, ditemukan juga sindrom ekstrapiramidal dan gejala terkait prolaktin.[28]
Antikolinergik
Golongan antikolinergik seperti benztropin, trihexyphenidyl, dan diphenhydramine, sering digunakan bersama dengan agen antipsikotik untuk mencegah terjadinya gerakan distonik atau untuk mengobati gejala ekstrapiramidal (parkinsonism, distonia, akatisia).
Golongan antikolinergik meliputi:
- Benztropine: untuk mengatasi distonia akut adalah 1-2 mg dikonsumsi 2 kali sehari selama 7-28 hari untuk mencegah gejala timbul kembali
Trihexyphenidyl: untuk mengatasi gejala akibat penggunaan obat antipsikotik adalah 5-15 mg dikonsumsi 3-4 kali sehari
Diphenhydramine: untuk mengatasi parkinsonism yang merupakan salah satu gejala ekstrapiramidal adalah 25 mg dikonsumsi 3 kali sehari[5]
Skizofrenia Resisten Obat
Skizofrenia resisten obat (treatment resistant schizophrenia) adalah suatu keadaan di mana gejala schizophrenia tidak membaik setelah menjalani 2 siklus atau lebih pengobatan antipsikotik standar, masing-masing selama 6 minggu. Pada kasus seperti ini, dapat diberikan tata laksana menggunakan clozapine.[17–20]
Uji klinis randomisasi menunjukkan clozapine memiliki efikasi lebih besar dibanding antipsikotik lain pada pasien skizofrenia resisten obat. Namun, mengingat potensi toksisitas clozapine, maka penggunaannya dibatasi hanya untuk kasus resisten obat atau pada pasien yang memiliki risiko tinggi bunuh diri.[17–20]
Selain itu, terdapat risiko idiopatik untuk mengalami agranulositosis pada penggunaan clozapine sehingga tes hematologi rutin harus dilakukan untuk memonitor risiko efek samping ini.[5]
Tata Laksana Psikososial
Selain penggunaan obat-obatan, intervensi psikologis dan sosial atau psikososial juga penting dengan tujuan sebagai berikut:
- Mencegah hospitalisasi
- Mengurangi atau memastikan gejala pasien stabil
- Kemandirian, yaitu dalam konteks bekerja atau sekolah, setidaknya setengah hari, serta mampu mengurus keuangan dan pengobatannya sendiri
Kebanyakan individu dengan gangguan ini memerlukan dukungan untuk dapat melakukan kegiatan sehari-harinya. Anjurkan pasien untuk bergabung dengan komunitas penderita schizophrenia yang dapat membantu pasien untuk memiliki fungsi sosial yang baik, kemampuan bekerja, serta membantu dalam situasi krisis.[5]
Psikoterapi
Psikoterapi dapat membantu pasien untuk menormalkan pola pikirnya, belajar untuk mengatasi stres, mengidentifikasi tanda-tanda schizophrenia serta meminimalisir gejala jika terjadi kekambuhan. Psikoterapi yang diberikan dapat berupa psikoterapi individu atau kelompok. Modalitas psikoterapi untuk pasien skizofrenia adalah cognitive behavioral therapy (CBT), metacognitive training, dan latihan vokasional. Psikoterapi juga bermanfaat untuk memastikan pasien tetap patuh terhadap pengobatannya.[7,29]
Pelatihan Keterampilan Sosial
Pelatihan ini berfokus pada peningkatan komunikasi dan interaksi sosial serta meningkatkan kemampuan untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari.
Terapi Keluarga
Terapi ini memberikan dukungan dan pendidikan bagi keluarga untuk dapat menangani anggota keluarganya dengan schizophrenia. Terapi yang diberikan bervariasi, meliputi psikoedukasi, reduksi stres, emotional processing, cognitive reappraisal, dan cara penyelesaian masalah.
Berdasarkan studi, terapi keluarga memiliki dampak positif terhadap pemulihan pasien, serta peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan yang diberikan.[14]
Rehabilitasi Pekerjaan
Rehabilitasi ini berfokus untuk membantu orang dengan gangguan schizophrenia untuk dapat mempersiapkan, mencari serta mempertahankan pekerjaannya. Namun, rehabilitasi jenis ini belum tersedia di Indonesia.
Kontroversi tentang Terapi Elektrokonvulsif
Hingga saat ini, penelitian yang ada belum menemukan bukti konklusif untuk mendukung maupun melarang terapi elektrokonvulsif (electroconvulsive therapy/ECT) pada schizophrenia yang tidak berespon terhadap obat-obatan.
Bukti ilmiah yang ada masih terlalu lemah untuk mendukung penambahan ECT terhadap terapi standar. Penggunaan ECT sebagai terapi tunggal juga belum didukung bukti yang cukup. Dibutuhkan hasil penelitian dengan kualitas yang lebih baik sebelum kesimpulan dapat dibuat tentang terapi ECT pada schizophrenia.[21]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra