Diagnosis Pneumonia Aspirasi
Diagnosis pneumonia aspirasi diawali dari anamnesis terkait kecurigaan aspirasi dan faktor risikonya, seperti kesulitan menelan, penurunan kesadaran, atau penggunaan instrumen medis dan obat-obatan tertentu yang meningkatkan risiko aspirasi. Rontgen dan CT scan toraks dapat menunjukkan infiltrat atau konsolidasi di segmen paru yang terdampak. Selain itu, kultur dapat dilakukan untuk mengidentifikasi patogen.[1,2]
Anamnesis
Faktor risiko dan kecurigaan adanya aspirasi perlu digali dalam anamnesis. Hal ini mencakup adanya gangguan kesadaran, gangguan menelan, riwayat pengobatan, dan riwayat penyakit dahulu. Riwayat tersedak saat makan, riwayat pneumonia berulang, dan riwayat minum alkohol berlebihan perlu ditanyakan. Adanya riwayat aspirasi yang disaksikan sangat membantu diagnosis. Aspirasi yang tersembunyi (silent aspiration) memerlukan anamnesis lebih mendalam.[1,2]
Pasien dengan riwayat muntah-muntah dan aspirasi yang disaksikan biasanya memiliki riwayat yang konsisten dengan perubahan akut pada status mental seperti kejang, penyalahgunaan alkohol, overdosis obat, dan/atau trauma kepala. Pasien dengan sesak napas akut, hipoksia onset baru, dan rontgen toraks abnormal, perlu digali terkait riwayat penurunan kesadaran, gangguan menelan, riwayat tersedak, dan faktor risiko pneumonia aspirasi.[1,2]
Pasien usia lanjut dan/atau lemah dengan frailty syndrome (delirium hipoaktif, jatuh, dan mobilitas kurang) merupakan kelompok yang berisiko tinggi pneumonia aspirasi. Gangguan kognitif pada pasien dapat ditanyakan kepada saudara/orang yang merawat pasien.[1,3]
Presentasi klinis pneumonia aspirasi bervariasi dari ringan hingga kritis (syok sepsis dan/atau gagal napas). Gejala yang dapat muncul antara lain:
- Batuk yang mungkin disertai sputum purulen atau berbau
- Sesak napas
- Nyeri dada
- Demam atau menggigil
- Gejala nonspesifik lainnya seperti malaise, mialgia, nyeri kepala, mual, muntah, disfagia, anoreksia, dan penurunan berat badan juga dapat muncul[2,3,7]
Onset penyakit bisa bersifat akut, subakut, atau tersembunyi (silent aspiration) di mana gejala baru muncul dalam beberapa hari hingga minggu, terutama jika disebabkan oleh organisme anaerobik. Pada kasus hospital-acquired aspiration pneumonia (HAAP), onset gejala batuk dan sesak napas dapat lebih akut jika disebabkan oleh organisme aerobik.[3,5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mungkin menunjukkan tanda sebagai berikut:
- Pemeriksaan status mental: perubahan atau penurunan kesadaran
- Tanda vital: demam atau hipotermia, takipnea, takikardi, hipoksemia, hipotensi (pada syok sepsis)
-
Pemeriksaan oral: penyakit periodontal (paling sering gingivitis), bau mulut
-
Pemeriksaan paru: penurunan suara vesikuler, ronkhi, egofoni dan pectoriloquy, pleural friction rub, suara napas bronkial dan perkusi redup di area konsolidasi[1,3]
Pasien pneumonia aspirasi akibat kejang, trauma kepala, atau overdosis obat-obat juga perlu diinspeksi tanda-tanda yang berkaitan dengan kondisi tersebut.[1,3]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pneumonia aspirasi mencakup kondisi akut maupun subakut dengan gambaran radiologi bayangan alveolus dengan/tanpa inflamasi sistemik.[1,7]
Pneumonitis Aspirasi atau Pneumonitis Kimiawi
Pneumonitis aspirasi disebabkan oleh makroaspirasi isi gaster (pH <2,5) dalam jumlah yang signifikan sehingga terjadi paparan kimia dari asam lambung yang teraspirasi ke dalam paru. Pneumonitis aspirasi dapat dibedakan dengan pneumonia aspirasi dari anamnesis dan presentasi klinis yang terjadi.[1,2,7]
Pada pneumonitis aspirasi, terjadinya aspirasi umumnya disaksikan, volume aspirasi lebih besar, dan pasien umumnya mengalami penurunan kesadaran. Presentasi klinis yang membedakan keduanya adalah terjadinya hiperakut hipoksemia pada pneumonitis aspirasi. Antibiotik tidak diberikan pada pneumonitis aspirasi kecuali jika ada infeksi sekunder.[1,2,7]
Edema Paru
Pada pasien edema paru dapat ditemukan kardiomegali, sedangkan pada pneumonia aspirasi tidak terjadi kardiomegali. Pada kasus rontgen toraks, bayangan alveolus pada edema paru lebih difus dan lebih simetris jika dibandingkan pneumonia aspirasi.[1,2]
Emboli Paru
Emboli paru dengan temuan infark paru pada pemeriksaan radiologi bisa menunjukkan gejala demam dan inflamasi sistemik yang mirip dengan pneumonia aspirasi. Namun, faktor risiko aspirasi jarang ditemukan pada emboli paru akut. CT angiogram paru dapat membedakan emboli paru dengan pneumonia aspirasi.[1,2]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang utama adalah pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi infiltrat paru. Pemeriksaan tambahan lain seperti pemeriksaan darah ataupun sputum di laboratorium juga bisa dilakukan untuk menunjang diagnosis, tetapi tidak menjadi dasar untuk menunda terapi.[1,2]
Pemeriksaan Radiologi
Temuan radiologi akan tergantung pada status hidrasi pasien, respons inflamasi yang adekuat, dan jumlah aspirat. Pada beberapa modalitas, gambaran radiologi baru terlihat beberapa hari setelah terjadi aspirasi. Terapi harus segera diberikan tanpa menunggu konfirmasi hasil radiologi.[2,8]
Rontgen Toraks:
Rontgen toraks dapat menunjukkan lokasi aspirat pada paru. Lokasi aspirat (infiltrat paru) tergantung pada posisi pasien saat terjadi aspirasi dan status mobilitas pasien. Secara anatomi, infiltrat lebih sering ditemukan di lobus paru kanan bawah karena bronkus kanan lebih lebar dan lebih sejajar dengan trakea daripada bronkus kiri.[2-4]
Infiltrat di segmen basal lobus inferior paru bilateral dan/atau lobus medius paru kanan dapat ditemukan pada pasien yang mengalami aspirasi saat posisi tegak. Infiltrat di segmen apikal lobus inferior paru atau segmen posterior lobus superior paru dapat ditemukan pada pasien yang mengalami aspirasi saat posisi berbaring terlentang.[2-4]
Infiltrat di lobus paru kiri sering ditemukan pada pasien yang mengalami aspirasi saat posisi berbaring miring kiri. Infiltrat di lobus paru kanan atas sering ditemukan pada peminum alkohol yang mengalami aspirasi saat posisi tertelungkup. Temuan infiltrat dapat negatif pada awal pneumonia aspirasi karena perubahan gambaran radiologi umumnya muncul 24 jam setelah terjadi aspirasi.[2-4]
Selain mengidentifikasi aspirat, rontgen toraks juga mendeteksi komplikasi seperti efusi pleura pada empiema atau parapneumonia, pneumonia nekrotikans, dan abses paru. Angulus kostofrenikus yang menumpul dan adanya meniskus merupakan tanda efusi pleura parapneumonia. Temuan efusi pleura juga dapat mengindikasikan perlunya torakosentesis untuk mengevaluasi kemungkinan empiema.[2-4]
Infiltrat dengan/tanpa kavitasi di salah satu segmen paru (segmen posterior lobus paru atas dan segmen superior lobus paru bawah) dapat ditemukan pada pneumonia bakteri anaerobik. Gambaran lusen dalam infiltrat dapat menunjukkan pneumonia nekrotikan. Sementara itu, gambaran batas air-udara yang tegas dalam infiltrat menunjukkan abses paru.[3,8]
Proyeksi rontgen toraks posteroanterior (PA) dan lateral sering digunakan dalam mengidentifikasi pneumonia aspirasi dan komplikasinya. Pada pasien yang tidak memungkinkan untuk dilakukan rontgen toraks posisi PA maupun posisi lateral, posisi anteroposterior (AP) dapat digunakan.[8]
Ultrasonografi Paru:
USG paru dapat dilakukan sebagai pemeriksaan alternatif untuk mendeteksi pneumonia aspirasi pada pasien yang terbatas di tempat tidur atau jika kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dipindahkan ke unit radiologi sehingga tidak dapat dilakukan rontgen toraks atau CT toraks.[1,3,7,8]
Pemeriksaan USG juga dapat mendeteksi komplikasi efusi pleura. Selain itu, USG dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining jika dicurigai aspirasi. USG memiliki sensitivitas 82% dan spesifisitas 87%. Akan tetapi, pemeriksaannya tergantung pada kemampuan operator.[1,3,7,8]
CT Scan Toraks:
CT toraks lebih sensitif dan spesifik daripada rontgen toraks. Komplikasi bisa terdeteksi lebih jelas dan lebih dini dengan CT scan dibandingkan rontgen toraks. CT scan dapat membedakan dengan jelas antara abnormalitas paru dan abnormalitas pleura.[3,8]
CT scan dapat mendeteksi adanya benda asing/aspirat di trakeobronkialis, atelektasis paru, konsolidasi paru, serta komplikasi seperti efusi pleura, empiema, nekrosis, dan lesi kavitasi. CT scan juga dapat mengidentifikasi abnormalitas anatomi di kepala, leher, atau toraks yang dapat menyebabkan aspirasi, misalnya fistula atau tumor di faring, laring, atau esofagus, serta striktur esofagus dan akalasia.[3,8]
Magnetic Resonance Imaging (MRI):
MRI lebih sensitif dibandingkan rontgen toraks dan CT scan. MRI dapat menunjukkan terjadinya aspirat dan reaksi tubuh terhadap aspirat.[8]
Pewarnaan Gram dan Kultur Sputum
Pewarnaan Gram dan kultur sputum dapat menunjukkan patogen kausal tetapi tidak banyak membantu dalam diagnosis awal, terutama jika patogen yang dominan adalah organisme anaerob di mana hasil sering kali menunjukkan beragam bakteri (coccus, bacillus, coccobacillary, dan fusiforms). Sampel untuk kultur diambil sebelum pemberian antibiotik tetapi tidak menjadi dasar untuk menunda terapi.[1-3]
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk menilai derajat keparahan respons sistemik. Pemeriksaan darah lengkap umumnya menunjukkan peningkatan leukosit dan neutrofil, juga anemia dan trombositosis, terutama pada pasien dengan pneumonia bakterial yang disebabkan oleh bakteri anaerob.[2,3]
Pemeriksaan albumin dapat dilakukan untuk menilai status nutrisi dan memprediksi prognosis. Pemeriksaan kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan elektrolit serum dapat dilakukan untuk menilai status hidrasi dan kebutuhan cairan intravena, terutama pada pasien dengan gejala demam atau muntah. Pemeriksaan kreatinin dan BUN serum juga dapat menilai fungsi ginjal untuk menentukan dosis antibiotik yang tepat, serta menilai kerusakan ginjal pada pasien dengan sepsis atau syok sepsis.[2,3]
Analisis gas darah (AGD) dilakukan untuk menilai status pH darah dan oksigenasi serta memandu suplementasi oksigen. Kadar laktat pada AGD dapat menjadi penanda awal sepsis berat atau syok sepsis.[2,3]
Kultur darah dapat menunjukkan patogen tetapi sensitivitasnya rendah sehingga jarang digunakan. Pada pneumonia tanpa komplikasi (tanpa tanda sepsis atau syok sepsis), kultur darah tidak banyak membantu. Sampel diambil sebelum pemberian antibiotik tetapi tidak menjadi dasar untuk menunda terapi.[2,3]
Bronkoskopi
Bronkoskopi hanya diindikasikan bila diduga ada benda asing atau partikel makanan teraspirasi. Adanya neoplasma yang menyebabkan obstruksi juga dapat diidentifikasi melalui bronkoskopi. Bronkoskopi juga bermanfaat untuk pengambilan sampel kultur. Bronchoalveolar lavage yang didapat melalui bronkoskopi bisa menentukan pemberian antibiotik definitif dan dapat menjadi sarana untuk menghentikan pemberian antibiotik bila tidak didapatkan pertumbuhan mikroba yang signifikan.[1,2,4]
Kriteria Diagnosis
Diagnosis pneumonia aspirasi perlu dicurigai jika:
- Memiliki riwayat penyakit infeksi saluran napas akut: onset akut/subakut, sesak napas, batuk, sputum produktif, demam, keringat dingin, malaise, anoreksia
- Memiliki faktor risiko pneumonia aspirasi
- Temuan rontgen toraks berupa konsolidasi di segmen paru yang terdampak saat aspirasi[1,4]
Kecurigaan pneumonia aspirasi meningkat jika ditemukan:
-
Suara pernapasan bronkial atau ronkhi inspirasi pada auskultasi paru, takikardi, suhu >37,5°C, SpO2 atau PaO2 rendah
-
Angka leukosit >11×109/L atau <4×109/L
- Bakteri patogen yang relevan pada kultur[1,2]
Namun, dokter perlu memperhatikan bahwa patogen kausal terkadang sulit didapatkan karena tidak ada sputum yang cukup atau pasien sulit mengeluarkan dahak. Kendala lain adalah terapi antibiotik telah dimulai sebelum kultur dan memang tidak dianjurkan untuk ditunda demi kultur. Selain itu, prosedur invasif seperti bronkoskopi sering kali dikontraindikasikan pada pasien yang dicurigai pneumonia aspirasi.[1,7]
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sekitar 25% kasus tidak terdeteksi di rontgen toraks (negatif palsu) bila dibandingkan dengan CT toraks. Selain itu, pasien usia lanjut memiliki respons inflamasi sistemik yang berbeda dengan pasien yang lebih muda, sehingga gejala demam dan leukositosis mungkin tidak ditemukan.[1,7]
Penulisan pertama oleh: dr. Vania Azalia Gunawan