Pendahuluan Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring adalah jenis kanker yang berasal dari sel-sel epitel nasofaring, bagian belakang rongga hidung yang berhubungan dengan tenggorokan. Kondisi ini sering dikaitkan dengan infeksi virus Epstein-Barr, di mana faktor genetik serta lingkungan juga dapat berperan dalam perkembangannya. Karsinoma nasofaring umumnya lebih umum terjadi di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.[1]
Gejala klinis dari karsinoma nasofaring dapat mencakup hidung tersumbat, perubahan suara, pembengkakan leher, dan epistaksis. Pasien juga dapat mengalami gejala seperti gangguan pendengaran atau tinnitus. Tanda klinis dapat mencakup adanya massa atau pembengkakan yang teraba pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang yang umumnya dilakukan melibatkan endoskopi dan biopsi nasofaring untuk konfirmasi diagnosis. Pencitraan, seperti CT scan atau MRI, digunakan untuk mengevaluasi sejauh mana penyebaran tumor.[1,2]
Klasifikasi karsinoma nasofaring dapat dilakukan berdasarkan sistem TNM (Tumor, Nodes, Metastasis), yang mengkategorikan ukuran dan penyebaran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, dan adanya metastasis. Terdapat tiga jenis histologis utama dari karsinoma nasofaring, yaitu keratinizing, non-keratinizing, dan diferensiasi non-keratinizing. Klasifikasi ini mempengaruhi penentuan prognosis dan pendekatan terapeutik.[1-3]
Pendekatan terapi untuk karsinoma nasofaring melibatkan kombinasi antara radioterapi, kemoterapi, dan kadang-kadang pembedahan tergantung pada stadium penyakit. Radioterapi merupakan metode utama dalam pengobatan karsinoma nasofaring, karena tumor ini seringkali sangat responsif terhadap radiasi. Kemoterapi dapat digunakan bersamaan atau sebelum radioterapi untuk meningkatkan efektivitas pengobatan, terutama pada kasus yang lebih lanjut atau dengan adanya metastasis.[1,2]
Penulisan pertama oleh: dr. Gisheila Ruth Anggitha