Patofisiologi Rhinitis Alergi
Patofisiologi rhinitis alergi melibatkan mekanisme hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Alergen yang terhirup dapat berupa serbuk bunga, debu tungau, kotoran serangga, bulu binatang, parfum, atau asap rokok. Alergen ini masuk ke jaringan mukosa nasal, kemudian diikat oleh antigen presenting cell (APC) dan dipecah menjadi peptida yang lebih kecil sehingga dapat bermigrasi ke nodus limfatikus dan mengaktivasi sel limfosit T.[1,3]
Reaksi Hipersensitivitas pada Rhinitis Alergi
Aktivasi sel limfosit T dengan peptida alergen menyebabkan terjadinya diferensiasi sel T helper naif menjadi sel T helper 1 atau 2. Hal ini akan mengaktivasi produksi sitokin yang spesifik untuk mensintesis antibodi IgE dari sel limfosit B.
Antibodi IgE dapat terikat pada reseptor permukaan sel dendritik, sel monosit, makrofag, sel limfosit B, sel mast, atau sel basofil. Interaksi IgE dan sel-sel tersebut dapat menyebabkan eksositosis dan terlepasnya mediator inflamasi seperti histamin, leukotriene, prostaglandin, dan platelet activating factor ketika terjadi paparan selanjutnya oleh alergen yang sama. Mediator inflamasi yang dilepas oleh sel mast akan memfasilitasi infiltrasi dari eosinofil, basofil, dan limfosit T ke dalam jaringan, sehingga menimbulkan gejala yang lebih jelas.
Terdapat dua fase yang mendasari terjadinya reaksi klinis pada rhinitis alergi, yakni fase awal dan fase lambat. Fase awal memberikan gejala segera setelah paparan terhadap alergen, biasanya dalam beberapa menit dan dapat segera mereda dalam beberapa jam. Sementara itu, fase lambat timbul dalam 4-6 jam setelah fase awal. Fase awal didominasi oleh reaksi dari sel mast atau basofil. Sementara pada fase lambat, reaksi alergi terjadi lebih menonjol dan didominasi oleh sel mast dan eosinofil.[1,3]
Konsep One Airway One Disease
Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien dengan rhinitis alergi sering kali juga menunjukkan gejala asma. Mekanisme ini diakibatkan oleh infiltrasi eosinofil tidak hanya terjadi pada mukosa hidung namun juga dapat terjadi di mukosa bronkus dan menginduksi respon yang berlebihan pada bronkus. Akibat adanya kesamaan pada sebagian besar struktur sel pada saluran nafas dan mediator inflamasi ini, maka konsep one airway one disease diyakini juga berperan pada pasien dengan rhinitis alergi yang disertai dengan gejala asma.[1,3]
Penulisan pertama oleh: dr. Junita br Tarigan