Diagnosis Fraktur Temporal
Diagnosis fraktur temporal secara pasti ditegakkan melalui pencitraan, yaitu CT scan kepala. Namun, sebelum pemeriksaan penunjang dilakukan, evaluasi kegawatdaruratan primer dan sekunder secara umum harus terlebih dahulu dilakukan.
Fraktur kepala sendiri dibagi menjadi linear, depresi, dan basilar. Fraktur linear merupakan fraktur tunggal yang mencakup seluruh ketebalan kalvaria. Fraktur jenis ini paling banyak ditemukan di area temporoparietal, frontal, dan osipital. Sebagian besar fraktur linear tidak menimbulkan gejala, tetapi apabila melewati vaskularisasi atau sinus dura dapat menyebabkan pendarahan. Misalnya pada fraktur yang melewati sulkus meningea media yang berisi arteri meningea media di os temporal.
Pada fraktur depresi, terdapat segmen kalvaria yang terdorong ke dalam, di bawah level tulang sekitarnya. Pada fraktur jenis ini, terdapat risiko tinggi pendarahan intrakranial dan peningkatan tekanan intrakranial. Sekitar 25% kasus disertai dengan penurunan kesadaran.
Fraktur basis kranii meliputi selima jenis tulang yang membentuk basis kranii yaitu lempeng kribiformis dari os etmoid, lempeng orbita dari os frontal, bagian petrosa dan skuamosa dari os temporal, os sfenoid, dan os occipital. Fraktur jenis ini paling sering melibatkan os temporal dan sangat berisiko terjadi pendarahan dikarenakan adanya arteri dan vena meningea media yang melewati sulkus pada tulang tersebut. Fraktur jenis ini menjadi sangat penting dikarenakan banyak sekali struktur penting yang terdapat pada basis kranii seperti nervus kranialis, struktur telinga dalam, dan pembuluh darah besar.[6]
Anamnesis
Pada kasus fraktur temporal atau trauma kepala lainnya, anamnesis harus dilakukan dengan cepat dan simultan dengan pemeriksaan fisik sebagai survey primer. Manajemen kegawatdaruratan harus diutamakan dan tidak boleh ditunda. Anamnesis awal terfokus pada mekanisme trauma, yang dapat ditanyakan pada pasien bila kondisi memungkinkan atau dengan orang yang mengantar pasien atau yang menyaksikan kecelakaan.[1,2,7]
Dalam menangani pasien dengan kecelakaan, perlu selalu digali mengenai mekanisme trauma dan rentetan kejadian yang berkaitan dengan kecelakaan tersebut. Dalam hal ini, fraktur temporal sering disebabkan oleh benturan kepala ke lateral. Fraktur kranium harus selalu dipertimbangkan pada semua trauma yang melibatkan area kepala, terutama bila pasien mengalami penurunan kesadaran.[1,2,7]
Pasien dengan fraktur temporal umumnya mengeluhkan pusing berputar atau vertigo, telinga berdenging, dan penurunan pendengaran. Fraktur temporal yang berkaitan dengan cedera akibat ledakan, sering disertai dengan trauma akustik akut dengan manifestasi penurunan pendengaran. Anamnesis menyeluruh sebaiknya dilakukan pada survei sekunder setelah survei primer dan kondisi kegawatdaruratan telah ditangani.[1,2,7]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara cepat dengan tujuan mencari kemungkinan diagnosis lain yang dapat diakibatkan oleh kecelakaan. Pemeriksaan awal pada semua pasien trauma difokuskan untuk menilai airway, breathing, dan circulation (ABC). Manajemen ABC dilakukan secara simultan dengan pemeriksaan fisik.
Pada pasien fraktur temporal, dapat ditemukan adanya otorrhea hemoragik maupun jernih, laserasi kanalis auditorius eksternus (KAE), hemotimpanum, nistagmus, paralisis atau parese fasial, penurunan pendengaran baik konduktif maupun sensorineural. Pada pasien juga dapat ditemukan adanya Battle’s sign, yaitu hematoma pada prosesus mastoid.[1]
Periksakan juga kemungkinan terjadinya fraktur di bagian tubuh lain, dengan mempertimbangkan mekanisme trauma yang dialami pasien. Evaluasi ini diperlukan untuk menentukan pemeriksaan penunjang dan manajemen yang perlu dilakukan.
Pemeriksaan Neurootologi dan THT Lengkap
Pemeriksaan fisik pasien fraktur temporal mencakup pemeriksaan neurootologi dan THT lengkap. Temuan dari fraktur temporal sangat bervariasi, mulai dari konkusi minor tanpa defisit fungsional hingga deficit multifungsi yang melibatkan nervus vestibulokoklear, nervus fasialis, dan intrakranial.[2]
Periksa mata pasien untuk mengevaluasi nistagmus, lakukan penilaian dari arah dan derajat nistagmus. Nistagmus derajat tiga bisa ditemukan pada pasien fraktur temporal transversus.
Lakukan inspeksi pada aurikula. Laserasi pada aurikula ditutup setelah dibersihkan dan dilakukan debridement dari kartilago yang terpapar dunia luar. Lakukan pemeriksaan kanalis auditorius eksternus untuk melihat adanya darah, cairan serebrospinal (otorhea jernh), atau adanya herniasi otak.[2]
Observasi adanya laserasi kanalis auditorius eksternus, deformitas berbentuk tangga (mengarah ke fraktur). Fraktur KAE sering terjadi pada skutum dan tap dari KAE.
Lakukan pemeriksaan otoskopi untuk mengevaluasi membran timpani, dapat ditemukan laserasi atau perforasi dari membran timpani. Apabila terdapat laserasi, nilai apakah ada pendarahan langsung yang keluar dari telinga tengah. Selain itu, pada fraktur petrosa dari os temporal, juga dapat ditemukan adanya hemotimpanum yang ditandai dengan membran timpani intak bewarna merah kebiruan.[6]
Jangan melakukan irigasi telinga untuk membersihkan KAE dan tidak melakukan packing pada KAE kecuali terdapat perdarahan yang sulit diatasi. Kedua hal ini dapat menyebabkan infeksi pada labirin, otak, dan meninges.[2]
Tes penala dengan Rinne dan Weber dilakukan untuk evaluasi awal fungsi pendengaran pasien. Sedangkan pemeriksaan vestibular lengkap dapat ditunda.[1]
Evaluasi nervus fasialis menjadi penting karena merupakan salah satu indikasi untuk dilakukannya tindakan operatif. Pemeriksaan dapat dilakukan secara sederhana berupa pemeriksaan House-Brackmann.[2,8]
Pemeriksaan House-Brackmann hanya bisa dilakukan pada pasien yang sadar. Pasien diminta untuk melakukan kontraksi otot-otot wajah secara berurutan dari bagian dahi hingga dagu. Penilaian dengan mengevaluasi kekuatan kontraksi dari otot wajah serta membandingkan kedua sisi wajah untuk menilai adanya asimetri. Pasien normal dapat mengangkat dahi, menutup mata, dan menggerakkan mulut secara maksimal dan simetris. Pasien dinilai menjadi derajat 1-6, dengan derajat 1 normal, dan derajat 6 merupakan paralisis total.[3]
Perlu diingat bahwa fraktur temporal memiliki risiko tinggi terjadi hematoma epidural dan pendarahan intrakranial. Untuk itu, pemeriksaan neurologi menjadi sangat penting apabila terdapat kecurigaan fraktur jenis ini.[3]
Diagnosis Banding
Fraktur temporal sebenarnya bisa langsung ditegakkan setelah trauma melalui pencitraan CT scan. Namun akan berbeda apabila pasien datang bukan dengan keluhan trauma, melainkan keluhan lain seperti penurunan pendengaran, parese nervus fasialis, atau vertigo. Pada kasus-kasus tersebut, riwayat trauma harus selalu ditanyakan dengan fraktur temporal sebagai salah satu kemungkinan diagnosis.[1]
Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk mengevaluasi dan menentukan tata laksana fraktur temporal. Lokasi, jenis, dan struktur yang dilalui fraktur dapat dinilai hanya dengan pencitraan. Pencitraan utama adalah dengan CT scan kepala tanpa kontras. Namun, apabila tidak tersedia, dapat digunakan x-ray kepala. Meskipun demikian, fraktur temporal sering kali tidak terlihat pada x-ray konvensional.[1,9]
CT Scan Kepala
CT scan kepala merupakan pilihan utama dengan sensitivitas yang tinggi untuk mendiagnosis fraktur temporal. CT scan kepala standar sebetulnya dapat mengidentifikasi fraktur temporal. Namun, evaluasi lebih lanjut sebaiknya menggunakan CT resolusi tinggi tanpa kontras dengan ketebalan 1,5 mm. Potongan aksial terutama berguna untuk menentukan arah garis fraktur dan menentukan klasifikasi fraktur.[1,2]
Selain evaluasi tulang, CT juga dapat menunjukkan gambaran hematoma subdural maupun epidural, contusio cerebri, pendarahan cerebri maupun subarachnoid, dan pneumocephalus.[1]
Pada CT, harus dibedakan karakteristik dari fraktur temporal yang dibagi berdasarkan arah fraktur terhadap aksis dari petrous ridge.[1,2]
Fraktur Temporal Longitudinal:
Jenis fraktur ini sejalan paralel dengan petrous ridge. Fraktur longitudinal mencakup 70-90% dari seluruh kasus fraktur temporal. Fraktur tipe ini disebabkan oleh adanya gaya lateral pada mastoid atau skuamosa dari temporal.
Arah garis fraktur mulai dari pars skuamosa temporal (mastoid atau kanal auditori eksternal), ke arah posterosuperior dari KAE pars oseus, lalu di atap dari telinga tengah anterior dari labirin, dan berakhir di anteromedial pada fossa cranium media dekat dengan foramen laserum dan ovale.
Alur dari garis fraktur paling sering tidak melibatkan labirin. Gejala dan tanda yang ditimbulkan adalah ditemukannya darah pada KAE, hemotimpanum, fraktur KAE, dan disrupsi osikel. Sebesar 20% kasus menunjukkan adanya kerusakan pada nervus fasialis terutama pada pars horizontal/timpani.
Fraktur Temporal Transversus:
Kebalikan dari fraktur temporal longitudinal, fraktur transversus berjalan tegak lurus dari petrous ridge, dan mencakup 10-30% dari total kasus fraktur temporal. Fraktur tipe ini disebabkan adanya trauma tumpul dari frontal atau parietal. Pada sebagian kecil kasus disebabkan oleh trauma tumpul dari arah osipital.
Pada tipe ini, arah garis fraktur membentang mulai dari fossa cranium media menyeberangi piramida petrosa dan berakhir di foramen magnum. Kasus ini sering melibatkan struktur koklea dan vestibular. Kerusakan nervus fasialis ditemukan pada 50% kasus fraktur temporal transversus dengan lokasi kerusakan bervariasi dari kanal auditori interna, pars timpani, atau ganglion genikulatum. Dapat juga ditemukan pneumolabirin.
Meskipun klasifikasi fraktur temporal di atas masih sering digunakan, tetapi pada kenyataannya sulit menemukan jenis fraktur yang murni tergolong longitudinal atau transversus. Sebagian besar alur fraktur bersifat obliq terhadap petrous ridge.[1]
Klasifikasi lain dari fraktur temporal membagi berdasarkan keterlibatan kapsul otik.[1,2]
Otic Capsule Sparing:
Jenis fraktur ini tidak melibatkan kapsul otik. Fraktur biasanya ditemukan pada os temporal skuamosa dan kanalis auditorius eksternus (KAE), dari sel-sel mastoid hingga ke telinga tengah dan tegmen timpani. Tipe ini disebabkan oleh trauma tumpul dari area temporoparietal.
Jenis fraktur ini memiliki risiko lebih tinggi disertai dengan penurunan pendengaran konduktif maupun campuran akibat hemotimpanum atau gangguan rantai osikel (lebih jarang). Pada tipe ini jarang disertai dengan paralisis nervus fasialis.
Otic Capsule Violating:
Tipe fraktur ini mengenai kapsul otik sehingga memiliki risiko lebih tinggi terjadi kebocoran CSS, penurunan pendengaran sensorineural, dan gangguan intracranial. Selain itu, tipe ini lebih banyak mengalami paralisis nervus fasialis dibandingkan dengan tipe otic capsule sparing.
Pada otic capsule violating, fraktur melalui foramen magnum ke arah piramida petrosa kemudian ke kapsul otik. Tipe ini biasanya diakibatkan adanya trauma tumpul dari area osipital.
Rontgen Servikal
Oleh karena trauma pada kepala juga sering melibatkan leher, rontgen tulang belakang servikal sebaiknya juga dilakukan pada semua pasien trauma kepala.[1]
CT Angiografi
CT angiografi merupakan pemeriksaan lanjutan apabila CT scan kepala menunjukkan fraktur yang melibatkan foramen arteri karotis interna atau vena jugularis interna.[1]
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI otak dilakukan bukan saat kegawatdaruratan, melainkan saat pasien sudah stabil. Pemeriksaan ini dilakukan apabila ditemukan kelainan pada nervus kranial yang sumber ya tidak terlihat pada CT scan.[1]
Beta-2-Transferin
Apabila ditemukan adanya otorea jernih yang dicurigai akibat kebocoran cairan serebrospinal (CSS), sebaiknya diambil sampel dan diperiksa apakah mengandung beta-2-transferin sebagai upaya konfirmasi. Beta-2-transferin merupakan salah satu komponen spesifik dari CSS yang dapat digunakan sebagai penanda atau marker.[1]
Audiometri
Pemeriksaan audiometri dilakukan apabila pasien sudah stabil dan memiliki keluhan penurunan pendengaran. Pada evaluasi awal, tujuan pemeriksaan ini hanya untuk membedakan tipe konduktif dan sensorineural. Sedangkan pemeriksaan audiologi formal dilakukan beberapa minggu setelah trauma untuk memastikan edema dan hemotimpanum telah reda.[1]
Pemeriksaan Nervus Fasialis
Pemeriksaan penunjang fungsi nervus fasialis dilakukan apabila terdapat kecurigaan parese nervus fasialis. Sedangkan apabila ditemukan paralisis total nervus fasialis pada kasus fraktur temporal, eksplorasi operatif harus segera dilakukan.[1]
Pemeriksaan fungsi nervus fasialis dapat dilakukan menggunakan kombinasi pemeriksaan electroneuronography (EnOG) dan electromyography (EMG). Kedua pemeriksaan ini memberikan manfaat yang maksimal apabila dilakukan 10-14 hari setelah trauma terjadi. Hal ini dikarenakan dalam periode tersebut masih dapat terjadi degenerasi Wallerian.[1]
EnOG berfungsi untuk menilai stimulasi nervus secara kualitatif dengan membandingkan fungsi nervus fasialis dengan kontralateral. Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara berkala untuk menilai progresivitas dari parese. EnOG yang menunjukkan hasil kehilangan >90% fungsi nervus fasialis merupakan indikasi eksplorasi operatif dan dekompresi saraf.[1]
EMG menilai potensial aksi dari pergerakan otot-otot muka dan dapat dilakukan apabila pergerakan volunter tidak ditemukan. Otot yang terdeinvervasi menunjukkan potensi fibrilasi, sedangkan otot yang mengalami reinervasi menunjukkan potensi polifasik.[1]