Penatalaksanaan Fraktur Temporal
Penatalaksanaan spesifik untuk fraktur temporal dilakukan setelah stabilisasi pasien. Penatalaksanaan terhadap patologi intrakranial atau lainnya yang mengancam jiwa menjadi prioritas utama. Oleh karena fraktur temporal biasanya dibarengi dengan patologi intrakranial atau vertebra servikal lainnya yang mengancam nyawa, sehingga tata laksana fraktur temporal sering kali bukan menjadi prioritas utama.[1,2]
Setelah stabil, tata laksana fraktur temporal dapat dibagi berdasarkan gejala dan tanda yang ditemukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.[1,2]
Persiapan rujukan sama dengan kasus trauma lainnya, yaitu apabila pasien dapat dipastikan tetap stabil selama perjalanan hingga rumah sakit tujuan. Pada umumnya, fraktur temporal sebaiknya ditangani pada rumah sakit dengan fasilitas yang memadai. Fraktur temporal membutuhkan penanganan dari tim yang terdiri dari departemen bedah trauma, bedah saraf, otolaringologi, dan neurootologi.[1]
Beberapa artikel menyebutkan mengenai penggunaan antikonvulsan dan antibiotik profilaksis pada cedera kepala. Penggunaan kedua jenis obat ini sebetulnya masih menjadi perdebatan. Tidak semua cedera kepala membutuhkan antikonvulsan dan antibiotik.
Antibiotik Profilaksis
Antibiotik terutama dibutuhkan untuk mencegah meningitis dan diberikan apabila meninges terekspos dunia luar dengan salah satu tandanya adalah adanya kebocoran cairan serebrospinal (CSS). Namun, banyak penelitian yang menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian meningitis pada pasien yang diberikan antibiotik profilaksis maupun yang tidak. Untuk itu, antibiotik profilaksis disarankan untuk diberikan pada perioperatif untuk kasus kebocoran CSS yang tidak kunjung berhenti dan membutuhkan tindakan operatif, dengan jenis antibiotik yang dapat menembus sawar darah otak seperti ceftriaxone.[10,11]
Antikonvulsan Profilaksis
Antikonvulsan dapat diberikan sebagai profilaksis pada pasien dengan cedera kepala berat (CKB) yang ditandai dengan penurunan kesadaran GCS <9. Antikonvulsan yang diberikan yaitu fenitoin atau levetirasetam bertujuan untuk mencegah kejang post trauma dan sebagai neuroprotektif.[12,13]
Paralisis Nervus Fasialis
Paralisis nervus fasialis yang muncul segera setelah trauma atau ditemukannya degenerasi >90% pada pemeriksaan electroneuronography (EnOG) merupakan indikasi untuk eksplorasi operatif dan dekompresi saraf.[1]
Pada kasus-kasus tersebut, dapat ditemukan terhimpitnya saraf oleh tulang, saraf yang teregang, atau edema/hematoma yang menekan saraf. Jarang ditemukan transeksi total dari saraf.[1]
Apabila ditemukan paralisis onset lambat, biasanya disebabkan oleh edema neural atau kompresi akibat hematoma. Pada kasus-kasus tersebut, dapat diberikan kortikosteroid selama 1-3 minggu. Pemeriksaan EnOG serial sebaiknya dilakukan untuk menilai perkembangan fungsi nervus fasialis. Apabila dalam salah satu pemeriksaan ditemukan degenerasi >90%, sebaiknya dilakukan tindakan dekompresi.[1]
Kebocoran Cairan Serebrospinal
Sebagian besar pasien dengan kebocoran CSS hanya memerlukan terapi konservatif tanpa tindakan operatif. Terapi konservatif terdiri dari elevasi kepala, istirahat total di tempat tidur, dan menghindari mengejan atau aktivitas lain yang bisa meningkatkan tekanan intrakranial (bersin, mengejan, batuk).[1,2]
Penggunaan antibiotik profilaksis pada kasus kebocoran cairan serebrospinal masih menjadi perdebatan. Beberapa berpendapat dosis antibiotik profilaksis tidak cukup untuk menangani meningitis, serta berisiko infeksi subklinis tidak terdeteksi dan menghasilkan organisme resisten antibiotik. Namun, apabila kebocoran CSS terus berlangsung, dapat diberikan antibiotik sebagai upaya profilaksis meningitis.[1,2]
Hanya sebagian kecil pasien yang membutuhkan tindakan operatif. Indikasi intervensi operatif adalah kegagalan terapi konservatif setelah 14 hari atau adanya defek yang besar yang tidak memungkinkan dengan terapi konservatif, seperti ditemukannya pneumosefalus. Penutupan lokasi defek kebocoran CSS juga dilakukan apabila dilakukan operasi untuk indikasi intrakranial lainnya.[2,14]
Penurunan Pendengaran
Pemeriksaan formal audiologi dilakukan beberapa minggu setelah trauma untuk memastikan bahwa edema dan hemotimpanum telah reda. Penurunan pendengaran konduktif biasanya dapat membaik dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.[1,2]
Namun, apabila terjadi persisten yaitu penurunan pendengaran >30dB setelah dua bulan, hal ini merupakan indikasi untuk rekonstruksi cavum timpani, yaitu operasi rekonstruksi dari rantai osikel pada kavum timpani. Perlu dicatat bahwa apabila penurunan pendengaran konduktif terjadi pada satu-satunya telinga yang dapat mendengar, tindakan operasi dikontraindikasikan. Kondisi tersebut dikontraindikasikan terhadap tindakan operatif karena terdapat risiko penurunan pendengaran yang lebih parah setelah operasi dilakukan.[1,2]
Penurunan pendengaran sensorineural persisten dapat diatasi dengan alat bantu dengar (ABD) atau implant koklea, disesuaikan dengan derajat keparahan.[1]
Fraktur pada Kanalis Auditorius Eksternus
Fraktur pada lokasi ini sebetulnya jarang terjadi. Namun apabila tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan penurunan pendengaran konduktif dan terjadi stenosis kanal. Kanalis auditorius eksternus (KAE) ditemukan terlibat pada 39% kasus fraktur temporal dengan tanda ditemukannya darah pada KAE. Fraktur ini dapat teridentifikasi pada CT scan.[1,2]
Tata laksana berupa membersihkan darah dari KAE dan melakukan packing atau stenting pada KAE. Obat tetes telinga setelah itu juga dapat diberikan. Pasien kemudian dipantau dalam rawat jalan.[1,2]
Vertigo
Pemeriksaan fungsi vestibular secara lengkap dilakukan setelah pasien stabil. Pemeriksaan dilakukan pada setting rawat jalan untuk menentukan etiologi vertigo. Tata laksana disesuaikan dengan diagnosis vertigo pascatrauma:
Ablasi Nervus Vestibular
Kerusakan struktur nervus vestibular dapat dilihat melalui CT scan. Intensitas vertigo biasanya berkurang setelah 7-10 hari dan terus berkurang selama 1-2 bulan. Setelah itu, tersisa perasaan tidak stabil yang berlangsung hingga 3-6 bulan. Tipe vertigo ini biasanya tidak membutuhkan terapi.
Konkusi Batang Otak
Dilakukan tata laksana dengan rehabilitasi vestibular. Tidak ada pilihan operatif untuk kasus ini.[1,16]
Konkusi Labirin
Konservatif dengan supresan vestibular dan rehabilitasi vestibular. Apabila ditemukan derajat berat dan tidak membaik dengan konservatif, dapat dilakukan labirintektomi dan pemotongan nervus vestibular.[1,15]
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Dapat dilakukan manuver Epley dan rehabilitasi vestibular.[1,15]
Fistula Perilimfatik
Istirahat total di tempat tidur selama minimal 5 hari dan menghindari manuver atau aktivitas yang bisa menyerupai Valsava. Apabila derajat berat atau tidak memungkinkan dengan konservatif, dapat dilakukan eksplorasi telinga tengah, timpanotomi, dan penempatan tandur pada lokasi fistula.[1,15]
Ménière Posttrauma
Sama seperti Ménière idiopatik, selama 3 bulan berupa restriksi garam, diuretic, dan/atau injeksi gentamicin intratimpani. Pilihan lain adalah dengan tindakan operatif pembuatan endolymphatic shunt atau labirintektomi apabila konservatif tidak berhasil.[1,15]