Diagnosis Undesensus Testis
Diagnosis undesensus testis (UDT), atau disebut juga kriptorkidismus, termasuk mudah dilakukan dan dapat terdeteksi segera setelah bayi lahir saat pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang umumnya tidak perlu dilakukan bila tidak terdapat indikasi. Diagnosis UDT dapat ditegakkan apabila testis tidak teraba pada palpasi skrotum.[1,3,4]
Anamnesis
Pasien undesensus testis (UDT) umumnya tidak mengalami gejala tertentu. UDT umumnya ditemukan pada saat pemeriksaan fisik saat bayi lahir atau saat kunjungan dokter berikutnya. Orang tua dapat mengeluhkan testis teraba pada saat tertentu, seperti saat mandi, dan tidak teraba kembali.
Riwayat gestasi, riwayat keluarga, dan faktor risiko lain juga penting ditanyakan pada anamnesis. Hal ini penting untuk mendeteksi faktor risiko, seperti kelahiran prematur, penyakit maternal, dan berat bayi lahir < 2500 g.[1,4,16]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik genitalia merupakan kunci diagnosis undesensus testis (UDT). Palpasi testis yang tepat dapat menentukan diagnosis dan klasifikasi UDT. Pemeriksaan fisik terhadap kelainan atau sindrom lain yang dapat menyertai UDT juga harus dilakukan.[3,5,7]
Pemeriksaan Abdomen
Pemeriksaan abdomen umum perlu dilakukan untuk mendeteksi kelainan abdomen, seperti gastroschisis, omfalokel, dan juga kelainan inguinal. Pemeriksaan ginjal juga perlu dilakukan. Agenesis renal dapat terjadi bersamaan dengan undesensus testis (UDT).[3,5,16]
Pemeriksaan Genitalia Umum
Pemeriksaan genitalia secara umum perlu dilakukan untuk mendeteksi kelainan perkembangan seksual atau disorder of sex development (DSD). DSD sering kali menjadi penyerta undesensus testis (UDT). Pemeriksaan terhadap sindrom Prader Willi, Kallmann, ataupun Laurence Moon Biedl juga perlu dilakukan.[3,5,16]
Pemeriksaan Testis
Pemeriksaan testis meliputi inspeksi dan palpasi. Pemeriksaan testis tidak mudah dilakukan karena sangat dipengaruhi oleh posisi dan sikap bayi. Inspeksi testis terutama menentukan letak meatus uretra dan chordee. Apabila terdapat hipospadia perlu dicurigai adanya sindrom disgenesis testis (testicular dysgenesis syndrome atau TDS) dan perlu pemeriksaan lebih lanjut. Hipoplasia testis, rugae skrotum berkurang, serta hemiskrotum tampak penuh juga dapat ditemukan pada inspeksi pasien dengan undesensus testis (UDT).
Untuk melakukan pemeriksaan testis, pasien ditempatkan dalam posisi katak atau frog-leg. Pemeriksaan harus dilakukan dengan dua tangan, pasien harus dalam kondisi hangat dan rileks. Lubrikan atau sabun dapat membantu pemeriksaan.
Pemeriksaan palpasi testis dimulai dengan oklusi kedua cincin inguinal eksternal dengan jari tangan pertama untuk mencegah testis naik akibat reflek kremaster. Letakan tangan kedua dengan posisi jari pada posterior skrotum dan ibu jari pada bagian anterior skrotum. Kemudian, lakukan palpasi dimulai dari sisi hemiskrotum yang tampak normal dari inspeksi, kemudian palpasi hemiskrotum yang tampak hipoplastik atau sedikit rugae. Tentukan apakah testis teraba atau tidak teraba.
Setelah palpasi kedua testis, lakukan pemeriksaan dengan gerakan milking down atau mendorong ke bawah dari krista iliaka anterior ke skrotum sepanjang kanalis inguinalis. Apabila terdapat UDT atau testis ektopik pada inguinal, maka akan teraba menonjol testis masuk ke dalam skrotum pada jari pemeriksa. Sedangkan, testis retraktil dapat terdeteksi oleh tangan kedua. Pada bayi normal, testis dapat mengalami retraksi naik ke pul atas skrotum pada saat terjadi kontraksi otot kremaster.[3,5,16]
Testis yang tidak teraba dapat terletak intra atau retro abdominal, ektopik, ataupun terjadi agenesis atau hipoplastik testis. Perlu diingat bahwa testis agenesis, bukan termasuk UDT. Testis ektopik sering kali teraba pada kantung inguinal superfisial, femoral, perineal, pubis, penis, dan pada skrotum kontralateral.[1,3,7]
Klasifikasi
Klasifikasi UDT harus ditentukan setelah diagnosis ditegakkan karena akan menentukan tata laksana yang diberikan. UDT dapat diklasifikasikan menjadi:
- Jenis undesensus testis: Teraba (palpable) atau tidak teraba (unpalpable) dan unilateral atau bilateral
- Lokasi testis: Letak tinggi (high scrotum), inguinal, intraabdominal, testis ektopik (testis berada di luar jalur penurunan testis normal)
Apabila diagnosis dan klasifikasi UDT telah ditentukan, pemeriksaan ulang untuk konfirmasi diagnosis UDT dan lokasi testis harus dilakukan kembali preoperatif setelah dilakukan anestesi umum. Hal ini dikarenakan dapat terjadi perubahan diagnosis dan klasifikasi, sehingga tata laksana yang dilakukan turut berubah.[1,3-5]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding epispadia antara lain testis retraktil, sindrom disgenesis testis, dan agenesis testis.
Testis Retraktil
Testis retraktil berada supraskrotal dan dapat dimanipulasi turun dengan refleks kremaster, namun testis menetap pada dasar skrotum untuk beberapa saat. Apabila testis segera naik dengan refleks kremaster, maka kondisi merupakan undesensus testis (UDT) dengan letak high-scrotum.[1,3,5,16]
Sindrom Disgenesis Testis
Sindrom disgenesis testis merupakan kumpulan kelainan. Yang termasuk dalam sindrom ini adalah undesensus testis (UDT), hipospadia, penurunan kualitas sperma, dan kanker testis.[3,7,16]
Agenesis Testis
Agenesis testis adalah keadaan dimana tidak terbentuk testis dan seluruh struktur penyokong testis seperti pembuluh darah testis, vas deferens, dan torsi beberapa struktur testis lainnya, seperti tunika vaginalis.[7,8,16]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dilakukan secara rutin pada undesensus testis (UDT). Kasus-kasus UDT umumnya dapat terdeteksi sebanyak 70-80% dengan pemeriksaan fisik yang tepat. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan apabila testis tidak teraba pada pemeriksaan fisik (nonpalpable testis) dan dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding.[1,2,4]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien undesensus testis (UDT) umumnya dibutuhkan preoperatif dan pada pasien dengan UDT tidak teraba. Jenis pemeriksaan laboratorium yang diperiksakan berbeda-beda tergantung dari usia pasien pada saat diagnosis.[1,4,5,16]
Pemeriksaan laboratorium pada neonatus dengan UDT tidak teraba meliputi pemeriksaan kadar hormon, seperti luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone (FSH), testosteron, dan MIS. Pemeriksaan juga harus dapat menyingkirkan kemungkinan disorder of sex development (DSD), khususnya bila UDT terjadi bilateral atau terdapat kelainan genitalia lain.
Pada pasien anak, pemeriksaan meliputi kadar testosteron, LH, FSH, MIS, dan hCG. Pemeriksaan elektrolit dan 17-OH progesteron diperlukan bila terdapat kecurigaan kuat terhadap hiperplasia adrenal kongenital. Meskipun demikian, pemeriksaan ini sering kali kurang spesifik dan tidak efektif biaya, sehingga tidak dilakukan secara rutin.[1,4-6,16]
Pemeriksaan Genetik
Pemeriksaan genetik kariotipe dapat membedakan undesensus testis (UDT) dengan sindrom lain. Pasien dengan UDT umumnya memiliki kariotipe normal XY. Pemeriksaan kariotipe dapat menyingkirkan diagnosis hipogonadisme primer, sindrom regresi testikular, atau DSD. Pasien dengan UDT tidak terpalpasi direkomendasikan untuk pemeriksaan kariotipe, khususnya bila terdapat hipospadia proksimal.[2,5,6,16]
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi juga tidak secara rutin dilakukan pada undesensus testis (UDT). Pemeriksaan seperti USG testis, CT scan, dan MRI dapat membantu deteksi lokasi testis yang tidak teraba akan tetapi sensitivitasnya cukup rendah. Tidak ditemukannya testis pada pemeriksaan-pemeriksaan tersebut belum dapat mengeksklusi kemungkinan adanya testis yang terletak intraabdominal.
USG memiliki sensitivitas 45% dan spesifisitas 78% untuk lokalisasi UDT tidak terpalpasi. USG dapat bermanfaat dalam menentukan ukuran testis inguinal, namun kurang sensitif untuk UDT intraabdomen. USG juga dapat cukup membantu menentukan lokasi testis pada anak obesitas.
CT scan lebih disarankan pada testis yang tidak teraba bilateral dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum. MRI tanpa angiografi juga lebih disarankan pada testis yang tidak teraba bilateral dan dilakukan dengan anestesi umum. MRI lebih tidak invasif, namun lebih mahal.[1,4-7]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja