Teknik Pembidaian
Secara garis besar, aspek dari teknik pembidaian (splinting) meliputi bantalan yang tepat, penggunaan elastik perban yang sesuai, memposisikan area yang mau dibidai sesuai dengan posisi anatomis, dan menggunakan panjang bidai yang sesuai. Pada keadaan tertentu, akan diperlukan anestesi untuk mengurangi nyeri. Bidai yang digunakan dapat bervariatif sesuai dengan bagian tubuh serta variasi indikasi pemakaian bidai. [3,16]
Jenis Cedera
Berbeda jenis cedera, maka berbeda pula teknik pembidaian yang direkomendasikan. Berikut ini adalah beberapa contoh pemilihan bidai berdasarkan jenis cedera.
Fraktur Femoral
Pada fraktur femoral dapat dilakukan imobilisasi dengan traction splint. Pembalutan bidai dilakukan dari distal (pergelangan kaki) ke proksimal (area paha dan pinggang). Perhatikan untuk tidak melakukan traksi berlebihan karena akan menyebabkan kerusakan kulit pada kaki, pergelangan kaki, dan perineum. Pada keadaan darurat dengan keterbatasan alat dan bahan, bidai sederhana dapat dilakukan dengan “mengikat” tungkai yang cedera dengan tungkai yang sehat. [12,13]
Fraktur Pelvis
Fraktur pelvis yang serius disebut juga dengan open book fracture, yaitu fraktur yang menyebabkan pelvic ring terbuka seperti buku, biasanya pada cedera yang mengenai simfisis pubis. Tanda khas pada open book fracture ini adalah asimetri kedua tungkai, nyeri pada area pelvis, nyeri saat menggerakkan pinggang, dan edema serta nyeri tekan pada simfisis (pada fraktur pelvis anterior). [11]
Pada fraktur pelvis dapat digunakan pelvic binder. Pelvic binder akan “membalut” pelvis untuk stabilisasi fragmen fraktur sementara, sebelum pasien dirujuk atau dievaluasi oleh dokter spesialis. [17]
Cedera Lutut
Pada keadaan cedera lutut, dapat menggunakan knee immobilizers atau bidai sepanjang tungkai untuk membantu imobilisasi temporer. Lutut tidak boleh diimobilisasi dalam keadaan ekstensi maksimal, namun harus dilakukan fleksi 10 derajat untuk mengurangi tekanan pada struktur neurovaskular. [4]
Dislokasi Patella
Pada dislokasi patella, dapat dilakukan imobilisasi juga dengan menggunakan posterior split ataupun flexion-limited brace. Durasi penggunaan bidai posterior ini tidak dapat dipastikan, namun dapat bervariasi antara 3-6 minggu. [18]
Fraktur Pergelangan Kaki (Ankle)
Fraktur pergelangan kaki dapat diimobilisasi dengan bidai yang berbentuk seperti bantalan atau bidai cardboard dengan batalan untuk menghindari tekanan pada tonjolan tulang. Cedera pergelangan kaki dengan luka pada bagian dorsal memerlukan kontrol posisi telapak kaki dengan posisi plantar flexi untuk meregangkan bagian kulit dorsal, serta diposisikan pada posisi netral secara bergantian untuk mencegah pemendekan tendon Achilles. [15]
Cedera Ekstremitas Atas dan Telapak Tangan
Tangan dapat dilakukan bidai temporer sesuai dengan fungsi anatomisnya dengan posisi pergelangan tangan sedikit dorsofleksi dan jari-jari difleksikan 45 derajat pada sendi metacarpophalangeal. Posisi ini biasanya akan dicapai dengan perlahan mengimobilisasi tangan dengan kasa dan short arm splint. [1]
Siku biasanya diimobilisasi pada posisi fleksi, dengan menggunakan bidai yang diberikan bantalan atau imobilisasi dengan menggunakan sling dan swath device. Lengan atas biasanya diimobilisasi dengan membidainya ke tubuh atau menggunakan sling/swath dengan perban thoracobrachial. Cedera bahu dapat ditatalaksana dengan sling-and-swath atau velcro type dressing. [1]
Pada pasien dengan carpal tunnel syndrome (CTS) derajat ringan sampai sedang, disarankan untuk imobilisasi setiap malam dan pada pagi sampai sore hari sesering mungkin dibantu dengan menggunakan soft splint yang terbuat dari bahan poliester. [1,6]
Selain hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan penanganan nyeri dengan memberikan analgesik terutama pada cedera sendi dan fraktur. Sedatif dan relaksasi otot dapat diberikan secara hati-hati pada pasien dengan cedera ekstremitas yang terisolasi. [4]
Persiapan Pasien
Persiapan pasien dalam melakukan pembidaian yang pertama adalah menempatkan pasien pada posisi yang terbaik agar seluruh bagian yang mengalami cedera dapat diakses dengan mudah, lalu melepaskan seluruh perhiasan dan pakaian pada bagian tubuh yang akan dibidai. Kemudian, lakukan pemeriksaan fisik dengan cermat pada bagian yang mau dilakukan pembidaian, termasuk denyut nadi pada distal area yang cedera, fungsi motorik dan sensorik. [13,19]
Perawatan luka pada area kulit maupun jaringan penyambung lainnya perlu dilakukan sebelum memasang bidai. Selain itu, dilakukan reduksi apabila diperlukan. Analgesik maupun anestesi mungkin diperlukan pada prosedur pembidaian, terutama apabila perlu dilakukan reduksi terlebih dahulu. [11]
Pada fraktur terbuka, maka perlu dilakukan kontrol perdarahan terlebih dahulu serta mengembalikan fragmen tulang yang “menonjol” keluar lewat luka. Apabila perdarahan sudah dikontrol, maka baru dilakukan pembidaian. [4,13]
Pada keadaan dislokasi sendi, maka perlu dilakukan reduksi tertutup terlebih dahulu untuk merelokasi sendi. Kemudian pembidaian baru dilakukan untuk mempertahankan ekstremitas pada posisi anatomisnya.
Apabila tidak ada tanda-tanda gangguan vaskular atau keadaan yang mengancam terjadinya kerusakan kulit, serta gangguan hemodinamik, maka perlu dilakukan rontgen sebelum diberikan terapi. [4]
Peralatan
Petugas kesehatan yang akan melakukan pembidaian perlu menggunakan alat pelindung diri (APD). Untuk pembidaian itu sendiri, alat dan bahan tergantung dari jenis bidai yang digunakan. Untuk soft splint, maka bidai yang digunakan dapat berupa plaster atau perban elastik dengan klip plester, dapat juga berupa keluaran pabrik seperti posterior splint. [4]
Untuk bidai keras yang konvensional dapat menggunakan bahan kayu yang diberikan bantalan (padding) sehingga memberikan ruang pada keadaan edema akut. Panjang bidai harus melewati 2 sendi yang berhubungan dengan bagian yang akan dibidai. Di indonesia, bidai yang masih sering digunakan pada terutama kasus fraktur adalah bidai yang terbuat dari kayu yang dibalut dengan kapas dan perban (spalk), dengan panjang kayu melewati dua sendi bagian yang cedera dan jumlah minimal 2 spalk pada ekstremitas atas, 3 spalk untuk ekstremitas bawah.
Untuk wrist splint biasanya tersedia dalam bentuk yang sudah jadi dari pabrik, terbuat dari fiberglass atau plaster dengan ketebalan yang berbeda-beda. [1] Untuk traction splint, terdapat set yang dapat disesuaikan dengan panjang tungkai bawah pasien serta ankle strap-nya. [14,18,20]
Selain itu, ada pula thermoplastic splints. Bidai ini bisa dibentuk sesuai keperluan dan cocok digunakan untuk berbagai jenis keperluan, termasuk sindrom terowongan Karpal dan rheumatoid arthritis. Thermoplastic splints dapat dibagi menjadi 3 jenis. Jenis yang tidak memerlukan panas dapat terbuat dari material seperti fiberglass atau karet silikon. Jenis temperatur rendah (60-77 C) dapat terbuat dari material seperti plastik dan karet, cocok digunakan untuk ekstremitas atas atau area yang tidak membutuhkan tenaga yang besar. Jenis temperatur tinggi (149-177 C) lebih cocok digunakan pada cedera spinal dan ekstremitas bawah yang membutuhkan tenaga lebih besar. [25]
Posisi Pasien
Pada pembidaian, tidak ada posisi yang khusus, namun disesuaikan dengan bagian yang akan dilakukan pembidaian. Pada bagian ekstremitas bawah, posisi yang disarankan adalah supinasi karena mempermudah pemasangan bidai serta traksi apabila diperlukan.
Prosedural
Prosedur dalam melakukan pembidaian diawali dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) untuk melindungi diri dari cairan tubuh pasien, terutama pada pasien dengan fraktur terbuka.[4] Apabila diputuskan untuk menggunakan analgesik, misalnya saat diputuskan untuk melakukan reduksi, maka dapat digunakan obat intravena (IV), seperti morfin. [16] Prosedur selanjutnya tergantung dari jenis bidai yang digunakan.
Soft Splint
Contoh penggunaan soft splint adalah pada pasien dengan carpal tunnel syndrome (CTS). Pada CTS digunakan wrist splint buatan pabrik yang direkatkan pada pergelangan tangan ke telapak tangan, dengan sendi metacarpophalangeal dibiarkan bebas (tidak ikut difiksasi) agar jari-jari tangan dapat tetap bergerak. Bagian yang lebih keras diletakkan di dorsal telapak tangan. [6]
Bidai Keras (Hard Splint)
Tahap pertama dalam melakukan pembidaian adalah menggunakan fabric stockinette dengan panjangnya disesuaikan dengan bagian yang akan dilakukan pembidaian (2 inci dari materi bidai) dan dipotong pada bagian ujung untuk jari-jari. Lakukan pemasangan bantalan pada olecranon (untuk lengan bawah) dan bagian menonjol lainnya untuk mencegah ulkus dekubitus dan membiarkan proses edema tetap berjalan. Tebal bantalan 2-3 lapis, sedangkan pada tonjolan tulang ditambah 2-3 lapis. Pemberian bantalan yang berlebihan harus dihindari pada bagian anterior sendi dan siku karena akan memberikan tekanan dan pembengkakan di area bawah bidai. [14]
Balutan pada bidai dilakukan dari distal ke proksimal dengan tujuan untuk menghindari kompresi berlebihan pada ekstremitas. Setelah dilakukan pembidaian, maka harus diperiksa kembali apakah imobilisasi sudah adekuat, kesesuaian dengan posisi anatomis, kekuatan bidai, dan kenyamanan pasien dengan bidai yang terpasang. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan motorik, sensorik, denyut nadi, dan penilaian capillary refill time pada bagian distal ekstremitas. Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk memeriksa kembali fragmen fraktur dan dislokasi yang terjadi. [14,20]
Prosedur pemasangan bidai yang terbuat dari kayu diawali dengan stabilisasi bagian yang akan dibidai kemudian memposisikan bidai pada bagian yang mengalami cedera setelah bagian tersebut distabilisasi. Bidai pada ekstremitas atas dipasang minimal pada 2 sisi, sedangkan pada ekstremitas bawah minimal 3 sisi. Kemudian, dibalut dengan kassa gulung atau perban dari distal ke proksimal. Setelah itu, dibuat simpul pada akhir balutan.
Seluruh prosedur pembidaian selalu diakhiri dengan pemeriksaan kembali, motorik, sensorik serta pulsasi pada bagian distal. [11]
Traction Splint
Sebelum dilakukan bidai, maka tungkai yang cedera harus distabilisasi terlebih dahulu. Kemudian panjang bidai yang diperlukan diukur sesuai dengan panjang tungkai sebelahnya. Bidai diletakkan di bawah tungkai dengan bantalan ischial diletakkan pada tuberositas ischia, kemudian ikatkan ischial strap pada garis lipat paha serta ankle hitch pada pasien. Lakukan traksi perlahan pada tungkai yang cedera hingga panjang menyerupai tungkai yang sehat. Setelah diyakini traksi sudah optimal, maka velcro straps lainnya dapat diikatkan pada tungkai. Jangan lupa untuk menilai kembali fungsi neurovaskular setelah prosedur ini. [12]
Air atau Vacuum Splint (Bidai Udara)
Bidai udara dikenakan secara longitudinal sepanjang ekstremitas, kemudian diikat dengan pengikatnya (straps). Setelah itu, dilakukan ekstraksi udara lewat katup yang ada pada bidai sehingga selanjutnya bidai akan menyesuaikan bentuk ekstremitas yang mengalami cedera dan menjadi keras. [11]
Anatomic Splint (Bidai Dengan Anggota Tubuh)
Anatomic splint intinya adalah mengeratkan bagian tubuh yang cedera ke bagian tubuh yang normal, sehingga bagian tubuh yang tidak mengalami cedera dapat berfungsi sebagai “bidai” untuk bagian tubuh yang tidak mengalami cedera. Sebagai contoh adalah dengan mengikat tungkai yang fraktur dengan tungkai sebelahnya yang sehat. [11]
Follow Up
Follow up setelah dilakukan pembidaian antara lain adalah memeriksa kembali apakah bidai yang digunakan sudah sesuai, apakah imobilisasi sudah melibatkan seluruh sendi, serta apakah posisi imobilisasi sudah sesuai. Selain itu, perlu diperiksa kembali ada atau tidaknya komplikasi prosedur pembidaian yang muncul. Lakukan pemeriksaan terkait tanda gangguan neurovaskular, seperti nyeri, pucat, dingin pada area perifer, dan parestesia. [3]