Indikasi Defibrilasi
Indikasi utama prosedur defibrilasi atau defibrillation menurut pedoman Advanced Cardiac Life Support adalah pada pasien henti jantung dengan gambaran elektrokardiogram shockable, yaitu fibrilasi ventrikel (VF) atau pulseless ventricular tachycardia (VT).[3]
Pulseless Ventricular Tachycardia
Pulseless ventricular tachycardia adalah kondisi aritmia kardiak yang mengancam nyawa. Pada pulseless ventricular tachycardia, kontaksi ventrikel yang terkoordinasi digantikan oleh kontraksi yang sangat cepat namun tidak efektif, sehingga perfusi organ menjadi terganggu. Pada kondisi ini, tidak akan teraba denyut nadi pada pasien karena kontraksi ventrikel yang terjadi tidak adekuat dalam menyediakan suplai darah sebagai cardiac output.[8]
Terapi utama pasien pulseless VT adalah dengan terapi defibrilasi. Keterlambatan penanganan dengan defibrilasi dua menit saja dapat menurunkan angka harapan hidup dari 39,3% menjadi 22,2%. Apabila dalam 15 menit pasien belum mendapat terapi defibrilasi, maka angka harapan hidup menurun hingga 5% saja. Defibrilasi terutama dianjurkan menggunakan defibrilator bifasik dengan energi 150-200 Joule dengan teknik kejut tunggal.[8,9]
Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel adalah kondisi aritmia yang bersumber dari miokardium ventrikel atau sistem His-Purkinje. Pada fibrilasi ventrikel, aktivitas listrik jantung bersifat ireguler. Kondisi ini ditandai dengan ventricular rate lebih dari 300 dengan kompleks QRS lebar pada EKG.[10]
Defibrilasi adalah satu-satunya terapi definitif fibrilasi ventrikel (VF). angka kesuksesan defibrilasi dalam mengatasi VF mencapai 95% jika dilakukan dengan tepat. Semakin lama VF terjadi maka angka keberhasilan akan semakin menurun. Beberapa studi menyebutkan, pada VF yang sudah terjadi lebih dari 4-5 menit, luaran lebih baik apabila dilakukan resusitasi jantung paru terlebih dahulu sebelum dilakukan defibrilasi.[11-13]
Energi kejut yang direkomendasikan saat pertama kali melakukan defibrilasi pada pasien VF adalah 200 joule apabila menggunakan defibrilator bifasik. Tidak terdapat bukti bahwa penggunaan energi lebih dari 360 joule bermanfaat bagi pasien. Energi kejut yang terlampau tinggi justru dapat membahayakan bagi pasien karena dapat menyebabkan kerusakan miokardium dan berisiko merangsang terjadinya aritmia baru.[11-13]
Wearable dan Implantable Cardioverter Defibrillator (WCD dan ICD)
Implantable cardioverter defibrillator (ICD) merupakan terapi lini pertama pada pasien yang berisiko mengalami henti jantung mendadak yang bersifat rekuren, misalnya pasien pasca infark miokard. Meski demikian, pemilihan pasien yang akan mendapat manfaat dari penggunaan ICD cukup rumit.[14]
Oleh karenanya wearable cardioverter defibrillator (WCD) dapat menjadi alternatif, utamanya pada pasien yang berisiko mengalami henti jantung mendadak, namun belum dapat menjalani pemasangan ICD. Misalnya pada pasien dengan kontraindikasi sementara untuk terapi yang lebih definitif, atau pasien yang tidak memiliki indikasi konvensional dari ICD.[14]
Jadi secara umum, terdapat dua indikasi utama pemakaian ICD, yang pertama adalah sebagai terapi lini pertama untuk mencegah henti jantung berulang pada pasien VT dan VF pasca resusitasi yang masih berisiko tinggi untuk mengalami henti jantung kembali selama perawatan.
Sedangkan indikasi kedua adalah sebagai terapi lini pertama dalam pencegahan terjadinya henti jantung mendadak pada pasien yang sebelumnya telah terdiagnosa dengan VT atau VF yang telah menerima terapi medikamentosa optimal namun masih memiliki risiko tinggi untuk mengalami henti jantung. Contohnya pada pasien dengan sindrom Brugada dan gangguan ventrikel dengan left ventricular ejection fraction ≤30 %.[15]
Penulisan pertama oleh: dr. Graciella N T Wahjoepramono