Komplikasi Defibrilasi
Sebagian besar komplikasi dari prosedur defibrilasi bersifat jinak atau self-limiting, seperti perubahan elektrokardiogram, luka bakar, atau iritasi di area kulit dengan defibrillator pad. Pada kasus yang jarang, dapat terjadi kerusakan sel jantung akibat terkena energi listrik pasca defibrilasi. Hal ini terutama terjadi pada prosedur defibrilasi dengan dosis arus listrik yang besar, seperti defibrilasi monofasik.
Komplikasi pada prosedur defibrilasi yang perlu diwaspadai dokter karena mengancam nyawa adalah henti jantung jika defibrilasi diberikan pada pasien selain pada pulseless ventricular tachycardia dan fibrilasi ventrikel. Pada pasien yang tidak mengalami henti jantung namun dalam kondisi takikardia tidak stabil, harus dipilih metode kardioversi tersinkronisasi.[3]
Post Cardiac Arrest Syndrome
Walaupun pasien telah mengalami ROSC, risiko komplikasi masih dapat terjadi, hal ini biasa dikenal dengan istilah post-cardiac arrest syndrome. Post-cardiac arrest syndrome berhubungan dengan cedera otak, disfungsi miokardium, respon tubuh saat reperfusi dan iskemi, serta etiologi henti jantung itu sendiri apabila bersifat persisten.[6,8]
Saat ROSC, miokardium yang mengalami iskemia akan kembali menerima reperfusi darah dan oksigen, yang selanjutnya justru mengaktivasi respon imunologis dan kaskade koagulasi sehingga meningkatkan risiko kegagalan organ dan infeksi.[8]
Pasien dapat mengalami cedera kepala anoksik yang berakibat pada kecacatan seumur hidup apabila otak tidak mendapatkan suplai oksigen lebih dari 3 menit. Pasien juga berisiko mengalami acute respiratory distress syndrome, gagal ginjal akut, syok refrakter, dan disseminated intravascular coagulation. Komplikasi tersebut meningkatkan risiko mortalitas pasien.[6,8]
Perubahan pada EKG
Beberapa studi menyebutkan bahwa pasca kardioversi dapat terjadi perubahan pada gelombang EKG. Contohnya pembentukan ST segmen elevasi dan ST segmen depresi yang umumnya bersifat transien. Kardioversi juga dapat menyebabkan timbulnya aritmia baru seperti aritmia atrial dan bradiaritmia.[28-31]
Tromboembolisme
Tromboembolisme dapat terjadi saat kontraksi atrial tersinkronisasi kembali normal. komplikasi ini terjadi akibat lepasnya trombus atrium kiri saat proses kardioversi atau trombus terbentuk pasca kardioversi akibat terjadinya disfungsi mekanik transien atrium kiri post konversi.[32]
Luka Bakar pada Kulit
Luka bakar pasca defibrilasi dan kardioversi cukup umum terjadi, sekitar 20-25% pasien pasca defibrilasi mengalami luka bakar pada area pemasangan pad. Luka bakar lebih jarang terjadi pada penggunaan defibrilator bifasik dan pemberian gel pada pad.[33,34]
Wearable and Implantable Cardioverter Defibrillator (WCD and ICD)
Komplikasi yang dapat terjadi pada pemakaian wearable cardiac defibrillator (WCD) dan ICD adalah terjadinya gelombang kejut yang tidak pada tempatnya. Hal ini umumnya terjadi akibat alat yang salah mendeteksi pola gelombang T maupun adanya artefak akibat gangguan bising.[35]
Penulisan pertama oleh: dr. Graciella N T Wahjoepramono