Teknik Defibrilasi
Teknik defibrilasi yang baik akan menghasilkan kejut listrik yang merangsang sel jantung selama periode refrakter untuk menghasilkan respons pasca syok yang berkepanjangan. Hal ini dapat menghilangkan irama yang ireguler dan diharapkan akan muncul irama baru yang normal. Perlu dicatat bahwa defibrilasi merupakan tindakan gawat darurat yang harus dilakukan dengan sigap dan cekatan.
Saat melakukan defibrilasi, harus dilakukan resusitasi jantung paru secara simultan. Selanjutnya begitu irama shockable dikenali pada pasien henti jantung, segera dilakukan defibrilasi. Prosedur defibrilasi dilakukan bersama siklus resusitasi jantung paru pada pasien sambil dilakukan pemasangan akses intravena dan medikasi sesuai kebutuhan.[1-4]
Saat ini lebih dianjurkan melakukan defibrilasi dengan teknik kejut tunggal dengan dosis energi yang adekuat dari pada defibrilasi yang dilakukan dengan memberikan kejutan berulang dari dosis energi terendah hingga tertinggi. Defibrilasi dengan memberikan gelombang kejut berulang terbukti dapat meningkatkan kerusakan miokardium pada pasien dengan semakin banyaknya pengulangan.[17]
Selain itu, pemberian dosis energi yang adekuat juga sangat penting, karena dosis energi yang terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan cedera miokardium. Sehingga saat ini defibrillator bifasik lebih dianjurkan karena dapat memberikan luaran kejut yang sama efektifnya dengan defibrilator monofasik dengan perbandingan energi yang lebih rendah.[17]
Persiapan Pasien
Saat mempersiapkan prosedur defibrilasi, pasien tetap menjalani resusitasi jantung paru (RJP) secara simultan. Sebelum defibrillator pad diletakkan di area dada, petugas terlebih dahulu melepaskan aksesoris dan pakaian yang melekat di area dada. Begitu persiapan peralatan selesai dilakukan, pasien segera diberikan defibrilasi.[3,18]
Demi keamanan, petugas harus memastikan bahwa masker oksigen atau nasal kanul dijauhkan dari area dada pasien. Hal ini dilakukan sebagai prosedur pencegahan terjadinya kebakaran apabila terjadi kesalahan saat penggunaan defibrillator paddle sehingga timbul percikan bunga api saat defibrilasi berlangsung.[2]
Sebelum memberi kejut (shock), penonton dan tenaga kesehatan harus dipastikan tidak kontak dengan pasien atau alasnya. Pasien dipindahkan dari tanah yang basah atau lembab sebelum diberikan kejut.[1-4]
Peralatan
Peralatan yang dibutuhkan pada prosedur defibrilasi antara lain adalah cardiac monitor dengan alat defibrilasi manual atau alat automated external defibrillator (AED). Khusus pasien pediatri dengan berat badan di bawah 10 kg atau berusia di bawah 1 tahun, paddle defibrillator harus diganti dengan infant pad. Bila tidak terdapat infant pad, defibrillator pad dewasa dapat digunakan tapi dengan menjaga agar kedua bagian tidak bersentuhan.[1,3]
Penggunaan peralatan defibrilasi tipe bifasik lebih disarankan daripada yang monofasik karena dapat mengembalikan denyut jantung dengan dosis listrik yang lebih rendah dari pada tipe monofasik. Saat ini penggunaan self adhesive pad juga lebih disarankan dan telah digunakan secara luas untuk menggantikan defibrillator paddle.[2,18]
Selain peralatan utama defibrilasi, perlu pula dipersiapkan peralatan penunjang, seperti gel konduksi, intubation kit, peralatan oksigenasi, infus set, monitor saturasi oksigen, monitor denyut nadi, serta peralatan resusitasi jantung paru lainnya.[16]
Posisi Pasien
Pasien saat prosedur defibrilasi harus ditempatkan di lokasi yang aman, datar, serta jauh dari paparan air dan bahan mudah terbakar. Pasien yang akan dilakukan prosedur defibrilasi diposisikan berbaring supinasi.[3,18]
Prosedural
Pasien diposisikan supinasi. Prosedur defibrilasi jantung yang berkualitas baik memerlukan beberapa pelaksana yang terlatih dan respon yang cepat dan sesuai. Prosedur defibrilasi dipersiapkan secara simultan bersama prosedur resusitasi jantung paru. Pelaksana pertama harus langsung memulai resusitasi jantung paru (RJP) dengan kompresi dada, dan pelaksana kedua mengambil dan menyalakan defibrillator, meletakkan elektroda atau paddle dan memeriksa ritme jantung.[8]
Pemeriksaan ritme harus cepat dan singkat, dan bila terdapat ritme yang teratur maka dilakukan pemeriksaan nadi. Kalau ada keraguan tentang ada tidaknya nadi, kompresi dada harus segera dilanjutkan. Langkah berikutnya ditentukan oleh alat yang tersedia, yaitu defibrillator otomatis atau manual.[8]
Pemosisian Pad
Pad pertama diletakkan di sepanjang batas atas kanan sternum (area parasternal dekstra di sekitar ruang interkosta kedua). Pad lainnya ditempatkan di apeks jantung, pada garis midaksilaris sinistra pada ruang interkosta ke enam. Posisi alternatif lain adalah posisi anteroposterior, anterior-infraskapular kiri dan anterior infraskapular kanan.[3,19,20]
Pedoman Advanced Cardiac Life Support (ACLS) tahun 2010 memberikan rekomendasi letak perlekatan self adhesive pad pada saat pemasangan pad AED. Alat AED ditempatkan pada posisi sternal-apikal (anterolateral). Pad AED kanan ditempelkan pada dada kanan bagian anterosuperior di bawah klavikula, dan pad kiri ditempelkan pada dada kiri bagian inferior-lateral, sisi lateral dari payudara kiri.[21]
Posisi alternatif yang dapat menggantikan posisi utama tadi adalah dengan penempatan biaksilaris. Pada metode ini, pad AED ditempelkan pada sisi lateral kanan dan kiri dinding dada atau dengan menempelkan pad kiri pada posisi standar di apikal dan pad kanan pada bagian kanan atau kiri dari punggung atas pasien.[21]
Hal lainnya yang harus diperhatikan antara lain adalah jarak implan dengan pad. Setidaknya terdapat jarak 2,5 cm antara lokasi penempelan pad dan peralatan implan di tubuh pasien. Apabila pasien menerima terapi dengan transdermal medication patch pada area penempelan pad, maka patch tersebut harus dilepas dan dibersihkan dulu agar tidak mengganggu transfer energi kejut. Selain patch obat, rambut dada juga dapat mengganggu penempelan pad, sehingga sebaiknya rambut dada dicukur terlebih dahulu sebelum pad dipasang.[21]
Defibrillator Otomatis (Automated External Defibrillator)
Pada defibrillator otomatis, alat akan secara otomatis mendeteksi irama jantung dari pad yang telah ditempelkan di dada pasien. Saat alat mendeteksi irama pulseless ventricular tachycardia dan fibrilasi ventrikel, bila alat merupakan AED semiotomatis maka alat akan memberikan sinyal agar operator menekan tombol shock. Pada AED otomatis, alat akan dengan sendirinya melakukan charge, menyatakan ‘clear’ untuk menjauhkan orang di sekeliling, dan memberi kejut secepatnya.[22]
RJP harus dilanjutkan secepatnya setelah kejut telah dihantarkan tanpa pemeriksaan ritme atau nadi terlebih dahulu, dan dimulai dengan kompresi dada. RJP dilanjutkan selama dua menit sebelum pemeriksaan ritme berikutnya.[8]
Defibrillator Manual
Pada defibrillator manual, bila ritme yang terlihat adalah VT atau VF maka pelaksana pertama melanjutkan RJP dan pelaksana kedua melakukan charge pada alat. Sesudah charge dilakukan, RJP dihentikan untuk memastikan area sekeliling pasien clear dan pelaksana kedua memberi kejut secepatnya. Pelaksana pertama segera memulai kembali RJP selama dua menit, setelah itu baru pemeriksaan ritme jantung.[23]
Dosis Kejut
Terdapat defibrillator bifasik dan monofasik. Pada defibrillator bifasik, dosis awal yang dianjurkan adalah antara 120 joule sampai 200 joule. Pada defibrillator monofasik, dosis yang dianjurkan adalah 360 joule. Setelah daya terisi penuh, lingkungan sekitar pasien diperiksa apakah telah bebas dari kontak dengan pasien. Setelah aman dapat dilakukan shock.[3,4]
Pada pasien anak, dosis defibrilasi yang diberikan adalah 2 joule/kg. Selanjutnya, dosis dapat dinaikkan menjadi 4 joule/kg dengan dosis maksimal adalah 10 joule/kg. Untuk setiap pengulangan defibrilasi, dosis yang diberikan minimal sama atau lebih tinggi dari dosis sebelumnya.[3-5]
Wearable and Implantable Cardioverter Defibrillator (WCD and ICD)
Wearable cardioverter defibrillator (WCD) dan implantable cardioverter defibrillator (ICD) merupakan jenis khusus lain dari defibrilasi. Kedua alat ini dapat memantau ritme jantung secara kontinu dan memberi kejut jika diperlukan. WCD berbentuk rompi dengan alat defibrilasi di dalamnya. Sementara itu, ICD merupakan alat berukuran kecil dengan baterai yang diimplantasikan langsung dalam tubuh pasien.[14]
Penggunaan Obat Pada Defibrilasi
Apabila VF atau pulseless VT bertahan setelah pemberian kejut pertama dan RJP selama 2 menit, pasien dapat diberikan medikasi. Pengobatan yang diberikan adalah vasopresor dengan tujuan meningkatkan aliran darah miokardium saat RJP dan mencapai return of spontaneous circulation (ROSC). Puncak efek pemberian vasopresor intravena (IV) atau intraosseous (IO) adalah sekitar 1-2 menit setelah pemberian.
Obat antiaritmia lini pertama untuk henti jantung adalah amiodarone, yang telah dibuktikan secara klinis dapat meningkatkan ROSC pada pasien dengan refractory VF atau pulseless VT. Amiodarone dapat dipertimbangkan bila ritme gagal diperbaiki oleh defibrilasi, RJP, atau terapi vasopresor.
Jika amiodarone tidak tersedia, pasien juga dapat diberikan lidocaine walaupun lidocaine belum terbukti untuk meningkatkan ROSC. Obat magnesium sulfate hanya boleh diberikan kepada pasien dengan torsades de pointes dengan interval QT yang memanjang.[10]
Vasopresor
Tujuan pemberian vasopresor adalah untuk meningkatkan aliran darah di miokardium untuk dapat mencapai ROSC. Belum ditemukan perbaikan pasien hingga discharge atau perbaikan neurologis dengan penggunaan vasopresor. Obat vasopressor yang dapat digunakan adalah: epinefrin dalam dosis 1 mg IV/IO setiap 3–5 menit. Epinefrin juga dapat diberikan 2–2,5 mg endotrakeal bila akses IV/IO tidak didapat.
Saat ini vasopressin sudah dikeluarkan dari algoritma ACLS karena pemberian epinefrin bersama vasopressin terbukti tidak memberikan manfaat apapun dibanding pemberian epinefrin saja, sehingga vasopressin dikeluarkan agar algoritma bisa menjadi lebih sederhana.[23,24]
Antiaritmia
Belum ada bukti bahwa pemberian obat antiaritmia dapat meningkatkan kesintasan, tetapi amiodarone telah ditemukan dapat meningkatkan kesintasan jangka pendek dibandingkan dengan placebo atau lidocaine. Pilihan obat antiaritmia yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
- Amiodarone: Dosis awal 300 mg IV/IO, kemudian diikuti oleh satu dosis lanjutan 150 mg IV/IO
- Lidocaine: dapat diberikan bila amiodarone tidak tersedia; obat ini belum dibuktikan efektif untuk meningkatkan kesintasan. Dosis awal adalah 1–1,5 mg/kg IV, jika ritme bertahan dapat diberi dosis tambahan 0,5–0,75 mg/kg IV dengan interval 5-10 menit, hingga dosis maksimal 3 mg/kg
- Magnesium Sulfat: 1 – 2 g yang diencerkan di 10 ml dextrose 5% secara bolus IV/IO. Pemberian magnesium sulfat via IV dapat membantu terminasi torsades de pointes, tetapi tidak disarankan untuk VT polimorfik/ireguler dengan interval QT yang normal[23,24]
Follow Up
Follow up yang dilakukan setelah gelombang kejut defibrilasi diberikan adalah segera melanjutkan tindakan resusitasi jantung paru selama 2 menit. Baru kemudian petugas memeriksa denyut nadi dan gambaran gelombang EKG pasien untuk menentukan apakah kondisi VF atau pulseless VT telah tertangani, bila belum, prosedur defibrilasi dilanjutkan kembali.[2,3]
Saat prosedur defibrilasi sedang berlangsung, selain pemberian tindakan resusitasi jantung paru, segera dilakukan pemasangan akses intravena. Setelah akses terpasang, pasien dapat segera diberikan obat-obatan seperti injeksi epinefrin 1 mg tiap 3-5 menit setelah prosedur defibrilasi gagal mengembalikan denyut jantung pasien ke normal. Selain epinefrin, pasien juga dapat diberikan amiodarone 300 mg sebagai antiaritmia.[3,25,26]
Siklus defibrilasi dan medikasi terus dilakukan secara bergantian dengan selang 2 menit dilakukan teknik resusitasi jantung paru yang adekuat hingga tercapai kondisi return of spontaneous circulation (ROSC) atau tim gawat darurat menentukan resusitasi jantung paru harus dihentikan.[23,24]
Perawatan Ruang Intensif dan Konsultasi Spesialis
Pasien dengan henti jantung yang diresusitasi harus dirawat di ruang intensif dengan pengawasan ketat karena memiliki risiko tinggi rekurensi. Perlu dilakukan pemeriksaan lengkap dari sistem saraf pusat, miokardium, dan sistem tubuh lainnya untuk mengetahui kerusakan yang disebabkan oleh hipoksemia, iskemia dan reperfusi yang terjadi saat resusitasi. Pemeriksaan juga harus dilakukan untuk mencari etiologi henti jantung.[6,8]
Sekitar setengah dari pasien dengan henti jantung memiliki tanda-tanda infark miokard akut, yang memerlukan terapi segera. Konsultasi ke bagian kardiologi harus dilakukan untuk semua pasien yang selamat dari henti jantung, dan revaskularisasi perlu dipertimbangkan.
RJP yang dilakukan lebih dari sepuluh menit dianggap kontraindikasi untuk terapi trombolisis. Pasien dengan risiko tinggi rekurensi VF dapat dilakukan pemasangan automated implantable cardioverter defibrillators (AICDs).[8]
Post Cardiac Arrest Care
Perawatan pasien pasca resusitasi adalah hal yang sangat penting karena mayoritas kematian terjadi 24 jam setelah henti jantung. Pemberian perawatan yang sesuai dapat mengurangi mortalitas akibat gangguan hemodinamika yang dapat menyebabkan kegagalan multiorgan dan brain injury. Tujuan awal post cardiac arrest care adalah untuk meningkatkan perfusi sistemik, mengembalikan homeostasis metabolik, dan mendukung fungsi organ agar fungsi neurologis dipertahankan.[6,27]
Prinsip post-cardiac arrest care adalah sebagai berikut:
- Memastikan dan mempertahankan jalur nafas segera setelah ROSC, terutama pada pasien tidak sadar. Bila pasien saat awal dipasangkan supraglottic airway, sebaiknya diganti dengan endotracheal tube
- Oksigen yang digunakan sebaiknya dikurangi menjadi jumlah yang paling rendah untuk mencapai saturasi oksigen arterial ≥94% untuk menghindari toksisitas oksigen
- Tanda vital dan EKG sebaiknya dipantau terus menerus hingga ICU, hingga pasien mencapai kondisi yang stabil. Penyebab tersering henti jantung adalah penyakit kardiovaskular dan iskemia koroner, bila ada kecurigaan infark miokard akut sebaiknya segera ditangani
- Diperlukan perhatian khusus untuk mencari penyebab henti jantung, setelah pasien ROSC. Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan untuk mencari dan memperbaiki kondisi kardiak, elektrolit, toksikologi, pulmonal, dan neurologis[27]
Pengaturan Suhu Tubuh
Pengaturan dan pemantauan suhu tubuh secara ketat adalah hal yang penting dilakukan pada pasien pasca henti jantung. Pasien yang koma setelah resusitasi dapat diberikan terapi hipotermia selama 12-24 jam (penurunan suhu hingga 32-34 C). Di beberapa penelitian klinis, hipotermia dapat meningkatkan fungsi neurologis dan mengurangi mortalitas.[6,27]
Penulisan pertama oleh: dr. Graciella N T Wahjoepramono