Komplikasi Transplantasi Ginjal
Komplikasi transplantasi ginjal dibedakan menjadi komplikasi terkait tindakan operasi, seperti perdarahan maupun gangguan aliran urin dari ginjal donor, dan komplikasi jangka panjang terkait terapi imunosupresan. Selain itu, terdapat risiko komplikasi munculnya penyakit ginjal rekuren pada pasien.
Komplikasi Terkait Operasi Transplantasi Ginjal
Komplikasi yang dapat terjadi selama proses operasi transplantasi ginjal adalah:
- Perdarahan, infeksi, gangguan penyembuhan pada bekas luka operasi
- Gangguan sirkulasi darah pada ginjal yang ditransplantasikan, dapat berupa trombosis vaskuler maupun stenosis
- Gangguan aliran urin pada ginjal donor atau obstruksi ureteral, dapat berasal dari gumpalan darah, edema, maupun kesalahan teknik saat melakukan ureteroneocystostomy
- Gangguan fungsi ginjal yang baru sehingga membutuhkan hemodialisis pada minggu pertama pasca transplantasi, biasanya terjadi pada deceased donor[1,3,4,13]
Tindakan nefrektomi secara umum dilakukan apabila trombektomi tidak berhasil dilakukan. Stenosis arteri juga dapat muncul pada 2–10% kasus, di mana hipertensi menjadi salah satu risikonya. Penanganan dari stenosis arteri adalah dengan pemasangan stent atau dengan angioplasti.
Trombosis vena dan arteri dapat terjadi pada 0,5–4% kasus, dan pada beberapa kasus dapat ditangani dengan pemberian trombolitik. Identifikasi trombosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan color doppler. Bila terjadi trombosis, penilaian viabilitas graft harus dilakukan. Bila masih viable, trombektomi dapat dilakukan. Sedangkan untuk graft yang tidak viable, perlu dipertimbangkan allograft nephrectomy.
Pemasangan kateter Foley dapat dilakukan pada kondisi obstruksi saluran kemih, jika tidak berhasil maka tindakan bedah perlu kembali dilakukan dan disertai pemasangan stent.[1–4,13]
Komplikasi Terkait Terapi Imunosupresan
Transplantasi ginjal membutuhkan terapi imunosupresan sebagai antisipasi reaksi penolakan terhadap jaringan baru. Terapi ini perlu dikonsumsi seumur hidup, apabila dihentikan dapat mengakibatkan kegagalan transplantasi. Terapi imunosupresan yang dapat menyebabkan komplikasi adalah obat antiinflamasi, antiproliferasi, sitokin inhibitor, dan antilimfosit.[1–4,10]
Obat Antiinflamasi
Obat antiinflamasi steroid seperti prednison dapat digunakan, baik secara oral maupun intravena. Efek samping obat steroid bervariasi, tergantung dari jumlah dosis yang diberikan. Kondisi yang bisa terjadi karena efek steroid di antaranya:
- Perubahan bentuk tubuh, seperti bengkak pada wajah hingga peningkatan berat badan
- Iritasi dari saluran cerna
- Peningkatan risiko reaksi alergi dan penurunan rasio penyembuhan
- Peningkatan kadar gula dalam darah atau diabetes melitus dipicu steroid
- Perubahan mood yang tak bisa dijelaskan, seperti depresi, mudah marah, atau semangat berlebihan
- Kelemahan otot secara umum atau nyeri sendi
- Pembentukan katarak[1–4]
Obat Antiproliferasi
Terdapat beberapa obat antiproliferasi yang digunakan dalam proses transplantasi ginjal, yaitu:
- Penggunaan azathioprine secara oral maupun intravena. Efek yang mungkin dapat muncul pada penggunaan obat ini yaitu penipisan rambut, gangguan fungsi hati dan penurunan total hitung leukosit
- Penggunaan mofetil mikofenolat yang dikonsumsi secara oral dapat menyebabkan nyeri perut hingga diare, penurunan jumlah total hitung leukosit dan eritrosit
- Penggunaan natrium mikofenolat secara oral, memiliki efek yang sama dengan penggunaan mofetil mikofenolat
- Penggunaan sirolimus yang dikonsumsi secara oral, dapat menyebabkan penurunan hitung trombosit, eritrosit, hingga leukosit, serta dislipidemia[1–4]
Inhibitor Sitokin
Obat inhibitor sitokin yang sering digunakan pada pasien transplantasi ginjal adalah siklosporin dan takrolimus peroral. Efek samping terapi yang muncul pada penggunaan siklosporin seperti gangguan fungsi ginjal, tremor, hepatitis karena obat, peningkatan pertumbuhan rambut, tekanan darah tinggi, gusi berdarah, hingga hiperglikemia.
Sedangkan efek samping pada penggunaan takrolimus di antaranya gangguan ginjal, hipertensi, hiperkalemia, hiperglikemia, tremor, nyeri kepala, hingga insomnia.[1–4]
Obat Antilimfosit
Berikut ini adalah obat antilimfosit yang biasa digunakan pada pasien transplantasi ginjal dengan risiko efek sampingnya:
- Antitimosit globulin secara intravena, dapat menyebabkan penurunan jumlah hitung leukosit dan trombosit, berkeringat, gatal, ruam, hingga demam
- Muromonab-CD3 secara intravena, dapat menyebabkan demam, diare, sakit kepala, hingga sesak napas
- Reseptor antibodi antiinterleukin-2 secara intravena, dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan reaksi alergi
- Alemtuzumab, dapat menyebabkan demam, sesak napas, hingga penurunan jumlah hitung leukosit[1–4]
Komplikasi Terkait Penyakit Ginjal Rekuren
Kondisi kesehatan pasien transplantasi ginjal, terutama yang disebabkan oleh penyakit ginjal kronis, perlu dipantau secara rutin. Faktor etiologi penyakit ginjal kronis harus dikendalikan, mengingat risiko kerusakan kembali pada ginjal yang sudah ditransplantasikan.[1–4,9,13]
Terdapat penelitian yang menyebutkan survival rate pasien transplantasi hidup setelah 4 tahun mencapai 91%, sedangkan pasien yang mendapat transplantasi ginjal dari orang mati otak mencapai 87%. Tidak terdapat perbedaan antara transplantasi ABO-compatible dengan ABO-incompatible, juga antara donor-specific anti-HLA antibodies (DSA) positif dengan negatif.[9,13]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli