Penggunaan pada Kehamilan dan Ibu Menyusui Peginterferon Alfa-2a
Penggunaan peginterferon alfa-2a monoterapi pada kehamilan masuk kategori C oleh FDA, dan kategori B3 oleh TGA. Sementara, penggunaan kombinasi dengan ribavirin masuk kategori X, baik oleh FDA dan TGA. Penggunaan pada ibu menyusui masih memiliki data yang terbatas terkait ekskresi obat di dalam ASI manusia.[1,7,15]
Penggunaan pada Kehamilan
Peginterferon alfa-2a masuk kategori C pada Food and Drug Administration (FDA). Studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping terhadap janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin.
Sementara, oleh Therapeutic Goods Administration (TGA) masuk kategori B3. Obat ini telah dikonsumsi oleh hanya sejumlah kecil wanita hamil dan wanita usia subur, tanpa peningkatan frekuensi malformasi atau efek berbahaya. Namun, studi pada hewan menunjukkan peningkatan kerusakan janin, yang signifikansinya dianggap tidak pasti pada manusia.
Penggunaan bersama ribavirin dikontraindikasikan pada kehamilan karena menunjukan efek teratogenik dan embriosidal. Dalam hal ini, bukan hanya ibu hamil yang tidak boleh mengonsumsi, tetapi juga pasangannya, terutama pada periode awal terapi. Setiap pasien yang akan mengonsumsi obat ini biasanya diminta untuk menunjukan hasil tes kehamilan yang negatif pada awal terapi dan selama 6 bulan awal pengobatan.[1,7,14,15]
Penggunaan pada Ibu Menyusui
Data terkait penggunaan peginterferon alfa-2a pada ibu menyusui masih terbatas. Pada suatu penelitian ditemukan kadar peginterferon alfa-2a pada ASI. Seorang ibu dengan penggunaan 3 kali seminggu dilaporkan memiliki kadar peginterferon alfa-2a 1400 u/L, sedangkan ibu dengan penggunaan obat setiap hari, ditemukan kadar 6000 u/L.
Keputusan pemberian peginterferon alfa-2a harus dengan evaluasi dan pertimbangan ketat. Manfaat harus jauh lebih besar dibandingkan dengan risiko yang dapat terjadi pada ibu dan anak. CDC merekomendasikan untuk menghentikan pemberian ASI pada fase awal terapi, terutama pada ibu menyusui yang juga menderita HIV.[1,7,15]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini