Penggunaan pada Kehamilan dan Ibu Menyusui Methylprednisolone
Penggunaan methylprednisolone pada kehamilan berpotensi menyebabkan efek buruk pada fetus. Pada ibu menyusui, methylprednisolone dikeluarkan melalui ASI.
Penggunaan pada Kehamilan
Menurut FDA, methylprednisolone masuk dalam kategori C. Artinya, studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping terhadap janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin.
TGA juga memasukkan methylprednisolone dalam kategori C. Kategori ini diperuntukkan bagi obat-obatan yang karena efek farmakologisnya telah menyebabkan atau diduga menyebabkan efek berbahaya pada janin manusia atau neonatus tanpa menyebabkan malformasi. Efek ini mungkin reversibel.
Methylprednisolone dilaporkan memiliki kemampuan melewati plasenta hampir sama dengan prednisolone. Konsentrasi yang mencapai janin hanya 1/8 hingga 1/10 dari yang diserap ibu yang mengonsumsinya. Plasenta sendiri mengonversikan prednisolone menjadi metabolit inaktif, sehingga mengurangi asupan prednisolone janin.[33,34]
Sebuah studi membandingkan penggunaan kortikosteroid, antibodi monoklonal, dan placebo pada penderita ITP yang sedang hamil. Dari sini ditemukan bahwa respon terhadap obat uji menurun dibandingkan pada penderita ITP yang tidak sedang hamil. Tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam kejadian perdarahan antepartum dan postpartum, abrupsio plasenta, perdarahan intrakranial pada neonatus, dan persalinan lebih awal baik pada kelompok perlakuan steroid maupun pada kelompok antibodi monoklonal.[35]
Penggunaan pada Ibu Menyusui
Methylprednisolone dikeluarkan ke ASI dalam jumlah yang rendah. Dilaporkan bahwa pada pemberian methylprednisolone intravena 1 gram, kandungan pada ASI sesaat setelah pemberian adalah 3 mg/L, dan pada 4 jam setelah pemberian adalah 1,2 mg/L. Tidak ada efek samping berbahaya terdeteksi pada infant
Pemberian kortikosteroid lewat injeksi intralesi menyebabkan produksi ASI menurun. Produksi ASI dilaporkan kembali meningkat setelah 36 jam, dan kembali normal dalam 24 jam.[39]
Penulisan pertama: dr. Tanessa Audrey Wihardji