Etiologi Gangguan Panik
Berbagai hipotesis telah dikemukakan sebagai etiologi gangguan panik. Kebanyakan hipotesis ini menyatakan ketidakseimbangan kimia otak sebagai faktor utama, termasuk abnormalitas gamma aminobutyric acid (GABA), kortisol, dan serotonin.[1]
Faktor Risiko
Faktor lingkungan dan genetik merupakan faktor resiko untuk timbulnya gangguan panik. Pengalaman masa kecil yang buruk (misalnya paparan terhadap kekerasan fisik atau seksual) bisa memicu timbulnya gangguan panik di masa dewasa.[3,4]
Genetik
Gangguan panik juga mempunyai faktor genetik yang kuat. Penelitian menunjukkan adanya risiko sebesar 40% untuk mengalami gangguan panik bila ada keluarga derajat pertama (first degree relative) mengalami gangguan ini.[1,2] Kandidat gen yang diperkirakan bertanggung jawab bersifat multifaktorial, diantaranya adalah gen COMT dan SLC6A4.[6]
Faktor genetik yang mendasari gangguan panik untuk setiap kelompok pasien. Pasien dengan karakteristik tertentu mungkin mempunyai faktor risiko genetik yang berbeda (misalnya gangguan panik familial dan non-familial, gangguan panik dengan onset usia dini dan onset usia tua).[15]
Temperamen atau Kepribadian
Faktor psikologis yang bisa mempengaruhi timbulnya gangguan panik adalah paparan pengalaman situasi eksternal (misalnya keramaian) dan internal (misalnya takikardia) yang berulang dan tidak menyenangkan, kecenderungan/ kebiasaan misinterpretasi negatif gejala-gejala fisik, sensitivitas terhadap stress.[4]
Kepribadian tipe pencemas, sensitivitas terhadap cemas, dan behavioural inhibition juga merupakan faktor risiko gangguan cemas. Kepribadian cemas ditunjukkan oleh adanya resiliensi yang buruk terhadap stress, reaktivitas terhadap stressor, dan manifestasi berbagai gangguan cemas lainnya.
Sensitivitas terhadap cemas ditunjukkan oleh mudahnya seseorang gejala-gejala fisik cemas (misalnya takikardi, palpitasi, takipneu) dan melakukan misinterpretasi gejala tersebut (misalnya takikardi diinterpretasikan sebagai serangan jantung).[15]
Behavioural inhibition adalah karakteristik pada anak yang menunjukkan reaktivitas kuat terhadap hal-hal baru sehingga anak menghindari orang atau lingkungan baru yang tidak familiar. Hal ini berhubungan dengan gangguan pada hipokampus, sesuai dengan hipotesis mengenai patofisiologi gangguan panik.[4,15]
Stres dalam Kehidupan
Meskipun serangan bisa terjadi kapan saja dan tanpa pemicu spesifik, namun biasanya serangan panik muncul pada konteks tertentu. Oleh karena itu biasanya ada faktor lingkungan yang memicu timbulnya serangan, misalnya riwayat mengalami stress atau trauma yang tidak bisa diprediksi sebelumnya dan tidak bisa dikendalikan.
Kurang lebih 80% pasien dengan gangguan panik melaporkan riwayat peristiwa kehidupan negatif sebelumnya.[4] Pasien dengan serangan panik dilaporkan seringkali mengalami berbagai stressor/trauma dalam 12 bulan sebelum serangan, khususnya dalam satu bulan terakhir.[14]
Trauma Masa Kanak-Kanak
Penelitian menunjukkan bahwa riwayat trauma pada masa kanak-kanak, misalnya riwayat kekerasan fisik atau seksual meningkatkan risiko gangguan panik pada masa dewasa. Riwayat merokok atau asma pada masa kanak juga meningkatkan risiko onset gangguan panik pada masa dewasa.[15]
Neurobiology
Faktor risiko biologis untuk timbulnya gangguan panik dibagi menjadi faktor risiko neuroanatomis dan neurotransmitter. Faktor risiko neuroanatomis adalah sensitivitas area-area peka stress di otak terhadap stimulus stressor internal maupun eksternal.
Area sensor stress mencakup amigdala, thalamus, hipokampus. Area respons terhadap stress yang mencakup thalamus, korteks sensorik, korteks frontalis, locus coeruleus, dan periaqueductal gray matter.[15]
Faktor neurotransmitter adalah akibat perubahan pada sistem reseptor GABA-benzodiazepine dan serotonin. Proses ini biasanya berhubungan dengan proses fear conditioning.[15]