Penatalaksanaan Gangguan Panik
Penatalaksanaan utama untuk gangguan panik mencakup intervensi psikologis seperti cognitive behavioural therapy dan farmakologis dengan obat antidepresan atau benzodiazepine. Tujuan utama penatalaksanaan adalah untuk menurunkan intensitas, frekuensi, dan durasi serangan panik; mengurangi perilaku menghindar, mencegah relapse, dan memperbaiki kualitas hidup.[1,4,9]
Terapi pada gangguan panik sebaiknya dilakukan secara bertahap mulai dari teknik yang paling sederhana dan bisa dilakukan sendiri oleh pasien, bertahap dinaikkan ke terapi yang lebih intensif (self help, relaksasi, psikoterapi, kemudian kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi).[10]
Tindak lanjut klinis dengan pasien setiap enam bulan penting untuk memantau perjalanan penyakit.
Psikoterapi
Psikoterapi adalah teknik intervensi psikologis untuk menangani gangguan mental dengan cara membantu pasien untuk mengubah kognisi yang salah atau perilaku maladaptif yang dialami akibat gangguan mental yang dialami. Psikoterapi dengan cognitive behavioural therapy (CBT) menjadi terapi lini utama dalam manajemen gangguan panik.
Secara umum psikoterapi terdiri dari psikoterapi suportif, psikodinamika, behaviour, kognitif, dan CBT. Jenis psikoterapi lainnya adalah modifikasi dari psikoterapi di atas.
Cognitive Behavioural Therapy (CBT)
Psikoterapi utama yang direkomendasikan untuk penanganan gangguan panik adalah cognitive behavioural therapy (CBT). CBT digunakan untuk mengatasi pikiran-pikiran disfungsional mengenai gejala fisik yang dialami dan sekaligus mengatasi perilaku menghindar yang dialami oleh pasien.[1,4,5]
CBT dilaporkan efektif dalam menurunkan jumlah serangan, tingkat keparahan serangan, dan perilaku menghindar disfungsional.[11] CBT untuk gangguan panik bisa dilanjutkan sampai 12-14 sesi, meskipun pada sebagian besar kasus 6-7 sesi sudah cukup.
Tujuan dari CBT adalah membantu pasien untuk menghadapi gejala-gejala kecemasan tanpa mengalami serangan panik. CBT juga bertujuan mengubah pikiran disfungsional mengenai kecemasan menjadi pikiran bahwa kecemasan adalah respon normal ketika menghadapi ketidakpastian.[4,12]
Meskipun CBT telah banyak dilaporkan sebagai psikoterapi yang efektif untuk gangguan panik, namun kebanyakan pasien tidak mencapai remisi sempurna dan berisiko relaps. Karena itu CBT sebaiknya tetap dikombinasikan dengan farmakoterapi.[9]
Psikoterapi Psikodinamik
Psikoterapi psikodinamika juga bisa dilakukan untuk manajemen gangguan panik dan dilaporkan efektif.
Namun penelitian tentang psikoterapi psikodinamika untuk gangguan panik umumnya mempunyai ukuran sampel yang kecil, non random, tanpa kelompok control, dan umumnya dalam kombinasi dengan terapi lain. Sehingga penggunaan intervensi ini membutuhkan pertimbangan lebih jauh.
Psikoterapi Interpersonal
Psikoterapi interpersonal dan acceptance based approach berusaha menangani masalah-masalah interpersonal yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan panik, namun metode ini inferior bila dibandingkan CBT.
Acceptance based approach mempunyai pendekatan yang mirip dengan CBT dimana pasien diminta mengenali distorsi kognitif dan perilaku maladaptif, tapi pasien hanya diminta bisa menerima keadaan ini. Dalam acceptance based approach, tidak ada restrukturisasi kognitif maupun upaya mengubah perilaku.[19]
Telepsikiatri
Remote CBT dan internet-delivered exposure therapy adalah salah satu jenis CBT yang bisa diberikan kepada pasien melalui media internet atau video conference.
Efektivitas telepsikiatri awalnya diragukan, namun sebagai akibat dari masa pandemi COVID-19, ini lebih banyak berkembang di praktek harian.
Terapi ini dilaporkan mempunyai efektivitas yang setara dengan CBT konvensional, namun lebih mudah diakses.[21]
Terapi Perilaku
Teknik pernafasan deep breathing bisa diberikan pada pasien dengan gangguan panik. Teknik pernafasan bisa digunakan untuk menurunkan hiperventilasi dan menurunkan gejala-gejala kardiovaskular dari gangguan panik. Teknik pernafasan efektif digunakan untuk menekan gejala-gejala ketika serangan timbul.[1]
Terapi relaksasi lain yang bisa digunakan adalah yoga, meditasi, terapi music, dan relaksasi otot. Selain itu membiasakan untuk olahraga teratur juga bisa membantu seseorang lebih rileks ketika cemas.[13,14]
Brief strategic therapy juga bisa digunakan untuk mengatasi gangguan panik.[12]
Brief Strategic Therapy
Conspiracy of silence, dimana pasien hanya boleh membicarakan masalah gangguan paniknya hanya dengan terapis. Menceritakan gangguan, terutama di sosial media, seringkali justru lebih banyak menimbulkan masalah dibandingkan menarik bantuan
Fear of help, dimana pasien-pasien akan diminta untuk menyelesaikan sendiri masalah-masalah kecil yang dihadapi sehari-hari. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan pasien terhadap orang lain agar merasa aman
Board diary, dimana pasien diminta untuk mencatat setiap serangan panik. Catatan harus dimulai ketika pasien mulai mengalami serangan, bukan sesudahnya. Pasien diminta mencatat tanggal, jam, situasi, lokasi, orang-orang yang hadir, pikiran yang muncul, gejala-gejala yang muncul, dan reaksi pasien. Dengan mencatat ketika terjadi serangan, perhatian pasien akan teralihkan dari gejala ke usaha untuk mencatat
Worst fantasy, dimana pasien akan diminta setiap hari selama 30 menit di dalam sebuah ruangan untuk membayangkan hal paling menakutkan yang bisa memicu timbulnya serangan panik. Hasil dari pelatihan ini biasanya justru tidak akan memicu serangan panik, tapi justru membuat pasien lebih rileks
Medikamentosa
Farmakoterapi utama dalam manajemen gangguan panik adalah antidepresan dan benzodiazepine. Antidepresan yang direkomendasikan untuk penanganan gangguan panik adalah golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), misalnya fluoxetine, sertraline, escitalopram, paroxetine, dan serotonin and norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI) seperti venlafaxine.
Antidepresan
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI):
Rekomendasi dosis SSRI inisial untuk gangguan panik dimulai dari dosis rendah, yaitu untuk fluoxetine adalah 5 mg/24 jam; sertraline 25 mg/24 jam, paroxetine 10 mg/24 jam, dan escitalopram 5mg/24 jam. Dosis dititrasi sampai 2-4 kali dosis inisial dalam 2-6 minggu. Efek samping dari SSRI adalah pusing, iritabilitas, masalah saluran cerna, insomnia, dan disfungsi seksual.[20]
Obat golongan SSRI mempunyai onset efek terapetik yang sangat lambat, karenanya direkomendasikan penggunaan SSRI bersama dengan benzodiazepine (misalnya alprazolam, lorazepam) sampai onset efek terapetik dari SSRI (kurang lebih 2 minggu).[1,5]
Farmakoterapi sebaiknya dilanjutkan sampai minimal 1 tahun pasca respon terapi untuk memastikan penurunan gejala dan perlindungan terhadap relaps.[4]
Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI):
Obat golongan SNRI yang bisa digunakan adalah venlafaxine dengan dosis inisial 37,5 mg/24 jam, dinaikkan sampai 75 mg/24 jam dalam 1 minggu, dan menjadi 150 mg dalam 2-3 minggu. Efek samping obat ini adalah mual, mulut kering, konstipasi, anoreksia, berkeringat, mengantuk, dan disfungsi seksual.[20]
Antidepressants Trisiklik:
Antidepresan trisiklik dilaporkan bisa menurunkan frekuensi serangan panik. Obat yang bisa digunakan adalah imipramine dan clomipramine. Dosis inisial adalah 10 mg/24 jam dan dinaikkan sampai 25 mg/24 jam dalam 1 minggu.
Berikutnya dinaikkan 25 mg per minggu sampai dosis 100 mg/24 jam, bila tidak ada respon dalam 2-4 minggu, bisa dinaikkan sampai 200 mg/24 jam. Namun obat ini umumnya mempunyai efek samping yang lebih berat dan tolerabilitas yang lebih jelek dibandingkan golongan SSRI.[20]
Mirtazapine:
Obat ini adalah antidepresan yang bersifat sedative. Mirtazapine bisa digunakan sebagai monoterapi atau adjuvant untuk gangguan panik, namun penelitiannya masih sedikit sehingga belum direkomendasikan.[20]
Benzodiazepines
Obat golongan benzodiazepine bisa menurunkan frekuensi, kecemasan, dan perilaku menghindar akibat gangguan panik. Obat yang bisa digunakan adalah alprazolam, clonazepam, dan diazepam.
Namun pada penggunaan jangka panjang, obat berisiko penyalahgunaan dan adiksi. Sebaiknya benzodiazepine digunakan bersama SSRI atau SNRI.[20]
Self Help pada Serangan Panik
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sendiri oleh pasien dan akan membantu ketika terjadi serangan panik, misalnya:
- Mempelajari mengenai apa itu panik dan kecemasan
- Belajar mengendalikan pernafasan karena tehnik nafas dalam bisa digunakan untuk mengurangi gejala-gejala serangan panik
- Mempraktekkan tehnik-tehnik relaksasi
- Olahraga teratur
- Membangun hubungan sosial yang suportif dengan teman dan keluarga
- Menghindari rokok, alcohol, dan kafein
- Istirahat dan tidur yang cukup[13,14]