Pendahuluan Graft Versus Host Disease
Graft versus host disease atau GVHD merupakan komplikasi yang timbul setelah transplantasi alogenik, misalnya transplantasi sumsum tulang ataupun donor darah. GVHD adalah penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar dari allogeneic hematopoietic stem cell transplantation atau alloHCT. GVHD terjadi akibat reaksi berlebihan dan tidak diinginkan dari inflamasi normal, dimana sel donor mengenali sel resipien sebagai "benda asing," sehingga memulai reaksi graft-versus-host. Insiden GVHD sekitar 40-60% pada pasien penerima alloHCT.[1,2]
Secara garis besar, GVHD dapat dibedakan menjadi dua, yakni akut dan kronis. Akut GVHD (aGVHD) terjadi pada 30-70% resipien transplantasi, sedangkan kronik GVHD (cGVHD) terjadi pada 20-50% resipien bergantung pada tipe transplantasi, karakteristik pasien, dan regimen profilaksis GVHD. aGVHD timbul dalam 100 hari pertama setelah transplantasi, sedangkan cGVHD timbul setelah 100 hari.[2]
Graft Versus Host Disease Akut (aGVHD)
aGVHD terjadi terutama pada kulit, saluran gastrointestinal, dan hati. Kasus aGVHD dapat terjadi pada penerima alloHCT meskipun sudah menerima terapi profilaksis. Pasien biasanya datang dengan ruam makulopapular, mual, muntah, diare, kram perut, serta hiperbilirubinemia dengan ikterus.[3]
aGVHD didiagnosis secara klinis setelah analisis laboratorium, pencitraan, atau pemeriksaan endoskopi untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding yang lain. Konfirmasi histologis dengan biopsi dari kulit atau saluran gastrointestinal dapat mendukung diagnosis aGVHD dan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain, termasuk erupsi obat dan infeksi.[1,3]
Graft Versus Host Disease Kronis (cGVHD)
cGVHD mungkin merupakan perpanjangan dari aGVHD, namun dapat pula terjadi secara de novo pada pasien yang tidak pernah memiliki bukti klinis aGVHD ataupun muncul setelah aGVHD akut dinyatakan sembuh selama beberapa waktu. cGVHD adalah sindrom dari berbagai gejala klinis yang menyerupai penyakit autoimun atau imunologi lainnya, seperti skleroderma, sindrom Sjӧrgen, ataupun sirosis biliaris primer. Manifestasi klinis dapat terlihat pada tahun pertama setelah transplantasi, namun dapat terjadi beberapa tahun setelah alloHCT.[4]
Prinsip Pengelolaan Graft Versus Host Disease
Pencegahan adalah pengelolaan terbaik untuk graft versus host disease (GVHD). Profilaksis primer yang direkomendasikan adalah siklosporin selama 6 bulan dan pemberian methotrexate jangka pendek pada T-cell–replete allogeneic HCT. Regimen profilaksis diberikan setelah tindakan yang mungkin menimbulkan GVHD, seperti transplantasi sumsum tulang, transplantasi hati, ataupun transfusi darah.
Apabila GVHD telah terjadi, prinsip tata laksana umum meliputi terapi topikal untuk penyakit ringan dan terapi sistemik bagi yang lebih berat. Pada aGVHD, dapat diberikan kortikosteroid seperti triamcinolone topikal pada pasien dengan manifestasi dermatologi ringan. Apabila manifestasi lebih berat, dapat ditambahkan regimen methylprednisolone pada regimen profilaksis primer yang sudah dikonsumsi.
Pada cGVHD, diberikan prednison 1 mg/kg/hari. Pilihan terapi lain adalah tacrolimus, siklosporin, dan thalidomide. Jika terapi tidak menghasilkan perbaikan klinis adekuat, dapat ditambahkan mycophenolate mofetil ataupun azathioprine. Clofazimine dapat digunakan pada pasien cGVHD yang memiliki lesi kulit atau oral. Terapi PUVA dapat diberikan pada pasien dengan lesi kulit yang refrakter.[1-5]