Diagnosis Graft Versus Host Disease
Diagnosis graft versus host disease atau GVHD perlu dicurigai pada pasien yang menunjukkan reaksi imun setelah riwayat transplantasi organ, seperti hati atau sumsum tulang, ataupun transfusi darah. Secara garis besar, GVHD dapat dibagi menjadi akut jika timbul dalam 100 hari setelah prosedur transplantasi, ataupun kronik jika timbul setelah 100 hari.[6]
Anamnesis
Graft versus host disease dapat dibedakan menjadi graft versus host disease akut (aGVHD) atau kronik (cGVHD). Kedua kondisi ini dapat menunjukkan tanda dan gejala yang berbeda.
Graft Versus Host Disease Akut
Graft versus host disease akut (aGVHD) umumnya muncul dengan manifestasi kutan, seperti ruam dan pruritus, dalam 5-47 hari pascatransplantasi (rata-rata pada hari ke-19). Kasus hiperakut ditandai dengan demam, eritroderma umum, dan deskuamasi dalam 7-14 hari setelah transplantasi.
aGVHD juga dapat menyebabkan gangguan hepar, dengan manifestasi bervariasi mulai dari asimptomatik hingga muncul ikterus. aGVHD juga dapat melibatkan traktus gastrointestinal, sehingga menimbulkan diare, perdarahan, dan nyeri perut. aGVHD juga dilaporkan meningkatkan risiko pneumonia, sistitis hemoragik, trombositopenia, dan anemia. Sindrom hemolitik-uremik pernah dilaporkan pada pasien aGVHD berat yang mendapat siklosporin.[5]
Kulit:
Keterlibatan kulit ditemukan pada 75% pasien dengan aGVHD dan menjadi satu-satunya manifestasi klinis pada 4% kasus. aGVHD bermanifestasi sebagai ruam makulopapular yang dapat disertai pruritus atau nyeri. Manifestasi kulit umumnya mempengaruhi telapak tangan dan kaki, wajah, area retroaurikular, dan bagian atas dari dada. Dari area ini, aGVHD dapat menyebar ke seluruh permukaan badan. Apabila kondisi klinis memburuk, maka lesi berkonvergensi, membentuk ampula, dan juga dapat bersisik dan mengelupas seperti yang ditemukan pada toxic epidermal necrolysis (TEN).[8]
Traktus Gastrointestinal:
Traktus gastrointestinal merupakan organ tersering kedua yang terlibat pada gejala dari aGVHD. Hampir 50% pasien dengan aGVHD memiliki keluhan gastrointestinal dan keterlibatan traktus bagian atas (rongga mulut hingga lambung) atau bawah (intestinal). Penurunan nafsu makan, mual, dan disfagia seringkali dikeluhkan pada saluran cerna bagian atas, sedangkan gejala paling khas pada saluran cerna bagian bawah adalah diare bereksudat berat, hingga mencapai volume 10 liter per hari dengan atau tanpa nyeri abdomen.[8]
Hepar:
Hepar adalah organ yang paling jarang terlibat pada aGVHD (terjadi pada <20% pasien). Gangguan hepar bisa asimptomatik maupun menyebabkan ikterus yang nyata.[8]
Tabel 1. Derajat Klinis Graft Versus Host Disease Akut Berdasarkan Glucksberg
Stadium | Kulit (Ruam) | Liver (Bilirubin) mg/dl | Traktus Gastrointestinal (Diare) |
1 | <25% permukaan tubuh | 2-2,9 | 500-1000 ml/hari atau keterlibatan saluran atas bagian atas |
2 | 25-50% permukaan tubuh | 3-6 | 1000-1500 ml/hari |
3 | >50% permukaan tubuh | 6,1-15 | 1500-2000 ml/hari |
4 | Tersebar dengan lepuhan dan mengelupas | >15 | > 2000 ml/hari atau nyeri abdomen hebat dengan atau tanpa ileus paralitik |
Derajat Klinis | |||
I | Stadium 1-2 | Tidak ada | Tidak ada |
II | Stadium 3, atau | Stadium 1, atau | Stadium 1 |
III | - | Stadium 2-3, atau | Stadium 2-4 |
IV | Stadium 4 | Stadium 4 | - |
Sumber: dr. Mia Amelia, 2022.[5,7]
Graft Versus Host Disease Kronik
Graft versus host disease kronik (cGVHD) dapat terjadi sebagai perpanjangan dari aGVHD. cGVHD juga dapat terjadi de novo pada pasien yang tidak pernah mengalami aGVH ataupun muncul setelah interval resolusi aGVHD. Derajat klinis tercantum pada Tabel 2.
cGVHD memiliki manifestasi yang mirip dengan penyakit autoimun, misalnya sklerosis progresif sistemik, lupus eritematosus sistemik, sindrom Sjögren, eosinophilic fasciitis, dan rheumatoid arthritis. Pada kasus dimana resipien adalah saudara kandung dengan kecocokan HLA, cGVHD dilaporkan terdiagnosis dalam rerata 201 hari setelah transplantasi.[5]
Okular:
cGVHD dapat menimbulkan manifestasi okular yang mencakup rasa terbakar, iritasi, fotofobia, dan nyeri karena kurangnya sekresi air mata.[5]
Gastrointestinal:
Pada regio oral dan gastrointestinal, dapat terjadi rasa mulut kering, pertambahan sensitivitas terhadap makanan asam atau pedas, dan nyeri yang meningkat. Pasien juga dapat mengeluhkan disfagia, odinofagia, dan penurunan berat badan.[5]
Respiratori:
Pasien dapat mengalami gejala obstruksi saluran napas, seperti mengi, dispnea, dan batuk kronis yang tidak responsif terhadap terapi bronkodilator.[5]
Neuromuskular:
Pasien cGVHD dapat mengeluhkan kelemahan, nyeri neuropatik, dan kram otot.[5]
Kulit:
Kelainan kulit terdapat pada 85% pasien., termasuk perubahan fibrotik seperti sklerosis, likenifikasi, lesi papuloskuamosa, atau depigmentasi. Pada kuku terdapat distrofi dan onikolisis.[4,8]
Tabel 2. Derajat Klinis Graft Versus Host Disease Kronik
Derajat | Keterangan |
Ringan | Keterlibatan 1 atau 2 organ pada stadium 1 (kecuali paru-paru) |
Sedang | Keterlibatan 3 organ atau lebih pada stadium 1 Setidaknya 1 organ pada stadium 2 Keterlibatan paru pada stadium 1 |
Berat | Setidaknya keterlibatan 1 organ pada stadium 3 Keterlibatan paru pada stadium 2 |
Sumber: dr. Mia Amelia, 2022.[4]
Pemeriksaan Fisik
Seperti tercantum di atas, graft versus host disease (GVHD) memiliki manifestasi yang melibatkan banyak sistem organ. Manifestasi juga sedikit berbeda pada kasus akut dengan kronik.
Pada kasus akut, lesi kulit berupa exanthema makulopapular, berwarna merah hingga ungu. Lesi biasanya pertama kali muncul di telapak tangan, telapak kaki, pipi, leher, telinga, dan batang tubuh bagian atas, kemudian dapat menyebar ke seluruh tubuh. Pada kasus yang lebih berat, dapat tampak adanya bula dan vesikel. Pada kasus kronis, GVHD dapat menyebabkan lesi kulit lichenoid atau penebalan sklerodermatous. Hal ini terkadang menyebabkan kontraktur dan membatasi mobilitas sendi.
Pemeriksaan mata pada kasus akut dapat menunjukkan adanya konjungtivitis hemoragik, pembentukan pseudomembran, dan lagophthalmos. Pada kasus kronis, manifestasi okular yang sering ditemukan adalah keratokonjungtivitis sicca.
Selain itu, pada kasus akut maupun kronik, dapat ditemukan atrofi mukosa mulut, eritema, dan lesi lichenoid pada mukosa bukal dan labial. Pada kasus akut ataupun kronik juga dapat ditemukan ikterus dan pruritus akibat hiperbilirubinemia. Pada kasus yang jarang, pasien mungkin mengalami hipertensi portal ataupun gagal hati.
Pasien kasus akut yang mengalami diare dapat menunjukkan tanda klinis nyeri perut difus dengan bising usus hiperaktif. Pada kasus yang berat, pasien bisa mengalami ileus paralitik yang ditandai oleh hilangnya bising usus dan distensi abdomen.[5]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari aGVHD dilihat dari organ yang terpengaruh. Sebagai contoh, manifestasi kulit dapat didiagnosis banding dengan infeksi virus atau erupsi kulit.
Erupsi Kulit
Membedakan antara aGVHD kulit dengan erupsi kulit umum lain yang berkembang pada periode pascatransplantasi, seperti reaksi hipersensitivitas obat, sebetulnya cukup sulit dilakukan secara klinis. Ruam yang muncul seringkali sangat mirip. Namun, dalam sebuah studi retrospektif dilaporkan bahwa adanya keterlibatan wajah, telapak tangan, atau telapak kaki cenderung lebih sering ditemukan pada pasien GVHD. Selain itu, adanya manifestasi diare dan hiperbilirubinemia juga lebih mendukung diagnosis ke arah GVHD.[11]
Toksisitas Akibat Kemoterapi
Meskipun jarang terjadi, eritema toksik yang diinduksi oleh kemoterapi dapat menimbulkan manifestasi klinis menyerupai aGVHD kulit. Toksisitas ini, serupa dengan GVHD, juga melibatkan telapak tangan dan telapak kaki. Kedua kondisi ini sulit dibedakan secara klinis, namun, temuan histologis syringometaplasia skuamosa ekrin lebih mengarah ke toksisitas kemoterapi.[12]
Infeksi Virus
Pasien pascatransplantasi mengalami kondisi imunokompromais yang dapat menyebabkan reaktivasi berbagai virus, seperti herpes simpleks dan enterovirus. Manifestasi kulit dari infeksi virus ini dapat menyebabkan eksantema yang mirip dengan GVHD. Adanya tanda infeksi seperti demam, limfadenopati, nyeri tenggorokan, lesu, dan mialgia umumnya lebih mengarah pada lesi kulit akibat virus.[13]
Hepatitis Viral
Meskipun jarang, hepatitis fulminan akibat virus hepatitis B (HBV), virus herpes simpleks (HSV), virus varicella zoster (VZV), dan adenovirus dapat terjadi pada pasien ansplantasi. Selain itu, hepatitis akibat infeksi virus hepatitis C (HCV) dan sitomegalovirus (CMV) lebih sering terjadi, tetapi biasanya bersifat ringan. Hepatitis viral dapat dibedakan dari GVHD melalui pemeriksaan serologi virus dan histopatologi.[14]
Drug Induced Liver Injury (DILI)
Drug induced liver injury (DILI) merupakan penyebab disfungsi hati berat setelah transplantasi sumsum tulang. Obat-obatan yang menyebabkan DILI antara lain obat yang digunakan untuk pengkondisian mieloablasi seperti siklofosfamid, agen kemoterapi seperti cytarabine, obat profilaksis GVHD seperti siklosporin, dan antimikroba seperti ribavirin. Membedakan DILI dengan GVHD hepatik secara klinis cukup sulit, namun GVHD sangat jarang bermanifestasi hanya sebagai gangguan hepar. Selain itu, pada pemeriksaan histopatologi DILI akan ditemukan tanda cedera neuroinflamasi dan kolestatik.[14]
Sindrom Obstruksi Sinusoidal
Sindrom obstruksi sinusoidal (SOS) atau juga dikenal sebagai penyakit veno-oklusif (VOD), adalah komplikasi serius dari HCT yang umumnya disebabkan oleh rejimen pengkondisian, seperti iradiasi dan kemoterapi dosis tinggi. Untuk mendiagnosis dan membedakan SOS dari GVHD, dapat digunakan kriteria diagnostik Seattle yang menilai bilirubin total, penambahan berat badan, serta adanya nyeri kuadran kanan atas atau hepatomegali. Pada biopsi hati transjugularis, SOS akan menunjukkan peningkatan gradien tekanan vena hepatik.[14]
Kriteria Diagnosis Graft Versus Host Disease
National Institute of Health (NIH) Amerika Serikat mengklasifikasikan 2 kategori aGVHD yang tidak memiliki ciri kondisi kronik, yaknii:
- aGVHD klasik: manifestasi klinis dari aGVHD terjadi dalam 100 hari setelah transplantasi
- aGVHD persisten, rekuren, atau onset terlambat: manifestasi klinis aGVHD terjadi lebih dari 100 hari setelah transplantasi
Menurut kriteria yang ditentukan oleh NIH, hal berikut harus dipenuhi untuk diagnosis cGVHD:
- GVHD akut telah disingkirkan
- Setidaknya 1 manifestasi klinis tipikal dari cGVHD diidentifikasi
- Penyebab lain yang dapat menjelaskan manifestasi klinis pasien, seperti reaksi farmakologis, infeksi, dan rekurensi tumor telah disingkirkan.[4]
Pemeriksaan Penunjang
Pemilihan pemeriksaan penunjang untuk GVHD dipandu oleh hasil pemeriksaan klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dan mendeteksi kelainan pada sistem organ.
Pemeriksaan Laboratorium
Tes fungsi hati dapat meningkat jika GVHD menyebabkan gangguan pada hepar. GVHD hepatik dapat asimptomatik disertai dengan peningkatan aspartat aminotransferasealanine (AST), alanine aminotransferase (ALT]), dan alkaline phosphatase. Tetapi dapat pula terjadi hiperbilirubinemia nyata yang menyebabkan ikterus.
Hipoalbuminemia dapat terjadi apabila GVHD menyebabkan kebocoran protein usus. Pada kasus diare masif, pasien dapat mengalami gangguan elektrolit.[5]
Histopatologi
Konfirmasi histologis dengan biopsi kulit, hati, atau gastrointestinal dapat mendukung diagnosis GVHD dan menyingkirkan penyebab lain, seperti erupsi obat dan sindrom obstruksi sinusoidal. Pada aGVHD, perubahan histologis meliputi degenerasi vakuola fokal atau difus dari sel basal, spongiosis, celah subepidermal, infiltrasi perivaskular mononuklear oleh CD4 dan CD8 limfosit T, ataupun kehilangan seluruh dari epidermisin pada kasus yang berat.
Penemuan pada cGVHD meliputi lesi likenoid dengan akantosis dan wedge-shaped hypergranulosis serupa dengan sklerosis liken idiopatik. Hiperkeratosis dan sklerosis dermal juga dapat ditemukan.[1]
Derajat dari GVHD kulit berdasarkan hasil temuan histopatologi adalah:
- Derajat I: Vakuolisasi minimal pada epidermis
- Derajat II: Vakuolisasi dan badan diskeratotik
- Derajat III: Pembentukan celah subepidermal
- Derajat IV: Pemisahan dermis dari epidermis.[15]
Biomarker
Biomarker telah diteliti untuk membantu diagnosis klinis dan histopatologis. Biomarker juga dapat berperan dalam menilai respons terapi. Biomarker yang diteliti dalam uji klinis adalah elafin, reseptor kemokin seperti CXCL10 dan CXCL11, ataupun soluble tumor necrosis factor receptor-1. Meski demikian, studi lebih lanjut masih diperlukan sebelum pemeriksaan ini dapat diterapkan secara klinis.[1]