Penatalaksanaan Graft Versus Host Disease
Penatalaksanaan utama pada graft versus host disease atau GVHD adalah profilaksis karena belum ada terapi yang dapat menghilangkan dan risiko mortalitas sangat tinggi. Profilaksis dilakukan pada semua pasien yang berisiko, misalnya pasien yang menjalani transplantasi hear ataupun sumsum tulang. Profilaksis primer yang direkomendasikan adalah siklosporin, methotrexate, dan prednison.[5,8]
Apabila GVHD sudah terjadi, tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi beban gejala, mengontrol manifestasi objektif, dan mencegah progresi dari aktivitas penyakit. Penatalaksanaan diupayakan untuk mempertahankan fungsi dengan mencegah kerusakan ireversibel yang menyebabkan disabilitas, serta untuk meningkatkan kualitas hidup dan harapan hidup pasien.[16]
Profilaksis
Profilaksis GVHD yang direkomendasikan adalah penggunaan siklosporin selama 6 bulan dan methotrexate jangka pendek. Penambahan prednison dilaporkan dapat mengurangi kejadian GVHD tetapi tidak berkaitan dengan peningkatan kesintasan.
Selain regimen tersebut, banyak studi mengevaluasi berbagai agen untuk pencegahan GVHD. Antithymocyte globulin (ATG) yang diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang telah dilaporkan efektif mengurangi risiko aGVHD stadium III-IV dan cGVHD ekstensif, namun tidak berkaitan dengan perbaikan kesintasan. Di sisi lain, mycophenolate mofetil juga terkadang digunakan untuk profilaksis GVHD, namun berbagai studi menunjukkan bahwa obat ini tidak lebih efektif dibandingkan methotrexate dan telah dikaitkan dengan peningkatan mortalitas.[5,17]
Graft Versus Host Disease Akut (aGVHD)
Pengelolaan aGVHD tergantung pada keparahan gejala dan organ yang terlibat. aGVHD stadium I dapat diobati dengan steroid topikal, misalnya triamcinolone 0,1%. Tacrolimus topikal dapat menjadi alternatif pada kasus yang resisten terhadap steroid.
aGVHD stadium II atau lebih tinggi memerlukan penambahan steroid sistemik terhadap regimen siklosporin dan methotrexate. Steroid yang direkomendasikan adalah methylprednisolone 2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi. Penggunaan steroid sistemik sebaiknya dihindari jika pasien mengalami keluhan gastrointestinal.
Rerata kasus aGVHD mengalami resolusi dalam 30-42 hari. Tapering jangka pendek dapat dilakukan pada pasien yang merespons terapi awal. Hal ini diharapkan dapat meminimalkan komplikasi terkait steroid.
Pilihan terapi lainnya mencakup sirolimus, ATG, dan mycophenolate mofetil. Tetapi, belum ada bukti ilmiah yang cukup yang menunjukkan bahwa obat-obat tersebut lebih superior dibandingkan terapi standar.[1,5,7,18]
Kegagalan Terhadap Terapi Awal
Kegagalan terapi didefinisikan sebagai:
- aGVHD mengalami progresi setelah 3 hari terapi
- Tidak ada perubahan setelah 7 hari terapi
- Respons parsial setelah 14 hari terapi methylprednisolone.[5]
Pengelolaan Kasus Refrakter Steroid
Ruxolitinib dapat digunakan untuk pengobatan aGVHD yang refrakter steroid pada pasien berusia 12 tahun ke atas. Pada populasi ini, ruxolitinib dilaporkan menghasilkan tingkat respons keseluruhan 59% dan tingkat respons lengkap 31%. Infliximab juga telah dilaporkan menghasilkan tingkat respons yang tinggi, tetapi telah dikaitkan dengan infeksi oportunistik dan peningkatan mortalitas.
Selain itu, etanercept yang dikombinasikan dengan steroid telah dilaporkan menghasilkan tingkat respons 82% dibandingkan steroid saja (66%) pada kasus aGVHD. Pilihan terapi lain adalah PUVA (psoralen dan iradiasi ultraviolet A) untuk lesi kulit pada pasien yang resisten terhadap steroid.[5]
Pengelolaan Kasus Resisten Siklosporin
Tacrolimus dapat digunakan pada pasien yang tidak berespons dengan siklosporin. Telah dilaporkan bahwa sekitar 12% pasien dapat berespon terhadap konversi ke tacrolimus. Tacrolimus juga dapat menjadi alternatif pada pasien yang mengalami neurotoksisitas terkait siklosporin.[5]
Graft Versus Host Disease Kronik (cGVHD)
Pencegahan cGVHD dapat dilakukan dengan pemberian alemtuzumab dalam regimen pengkondisian sebelum HCT. Alternatif lain adalah memberikan siklofosfamid dosis tinggi 3-4 hari setelah HCT.[5]
Terapi standar cGVHD adalah prednison 1 mg/kg per hari yang diberikan selama 9 bulan. Telah direkomendasikan untuk menilai respons terapi setiap 2-4 minggu. Apabila ditemukan respons klinis adekuat, maka dosis dapat diturunkan sebesar 10%. Pemberian prednison yang dikombinasikan dengan azathioprine tidak ditemukan menghasilkan angka mortalitas yang lebih baik dibandingkan penggunaan prednison saja.
Pilihan terapi lain, mencakup tacrolimus, siklosporin, dan thalidomide, telah dicoba ditambahkan dengan tujuan mengurangi dosis dan efek samping steroid. Namun, studi saat ini belum menunjukkan keuntungan yang jelas.[5,8]
Penambahan Siklosporin
Pada pasien yang mengalami trombositopenia, dapat ditambahkan siklosporin ke dalam terapi steroid. Siklosporin yang diberikan dalam dosis 6 mg setiap 12 jam setiap hari berselang telah dikaitkan dengan peningkatan kesintasan. Penambahan siklosporin juga dilaporkan dapat meningkatkan status fungsional dengan menurunkan insidensi skleroderma derajat berat. Meski demikian, risiko infeksi adalah suatu hal yang perlu dipertimbangkan sebelum memulai regimen terapi ini.[5]
Terapi pada Kasus Refrakter Steroid
Pada pasien yang refrakter terhadap steroid, dapat ditambahkan mycophenolate mofetil ke dalam regimen tacrolimus + siklosporin dengan atau tanpa prednison. Penambahan mycophenolate mofetil dilaporkan menghasilkan respons klinis pada hingga 90% pasien. Pilihan terapi lainnya adalah azathioprine, thalidomide, belumosudil, imatinib, dan ruxolitinib.[5]
Terapi Suportif
Terapi suportif diperlukan pada pasien GVHD untuk mengontrol gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Pada pasien yang mengeluhkan ketidaknyamanan rongga oral, mual, ataupun muntah yang mengganggu asupan makanan, dapat diberikan beclomethasone oral. Pada pasien yang mengalami diare, dapat diberikan octreotide.
Pada pasien yang mengalami sindrom sicca okular, dapat diberikan asam retinoat. Pasien dengan sicca oral dapat diberikan pilocarpine.
Pada pasien dengan keluhan neuromuskular, dapat diberikan clonazepam. Selain itu, pemberian steroid dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan risiko osteoporosis dan fraktur. Oleh karenanya, pertimbangkan langkah pencegahan seperti pemberian suplementasi kalsium, terapi sulih hormon estrogen, ataupun kalsitonin.[5,8]
Pembedahan
Transplantasi kulit telah dilakukan pada beberapa kasus ulserasi kulit pada pasien cGVHD. Transplantasi dilakukan dengan transplantasi split-thickness dari donor HLA identikal. Modalitas ini diutamakan saat manajemen penanganan luka konservatif tidak berhasil.[1]
Fototerapi
Fototerapi menghasilkan efek antiproliferatif dan menurunkan produksi sitokin. Pada pasien dengan manifestasi kutaneus luas, fototerapi dapat digunakan sebagai monoterapi atau terapi adjuvan. Sinar ultraviolet B (UVB) telah dilaporkan bermanfaat untuk likenoid atau penyakit kulit aGVHD onset terlambat. UVB umumnya diberikan sebagai terapi narrow-band (311 nm). UVA (320-400 nm) dengan panjang gelombang yang lebih panjang dapat penetrasi lebih dalam dibandingkan UVB, dan dapat digunakan untuk mengobati lesi skleradermatosis dari cGVHD.[1]
Pencegahan Infeksi Akibat Terapi Imunosupresi
Penggunaan imunosupresi yang lama pada pasien dengan GVHD dapat meningkatkan risiko infeksi.
Infeksi Jamur
Infeksi jamur dapat terjadi pada paru, sinus, otak, ataupun kulit. Semua pasien harus menerima setidaknya fluconazole sebagai profilaksis terhadap infeksi jamur. Jamur invasif, terutama aspergillus, sering terjadi pada pasien yang menggunakan steroid berkepanjangan. Profilaksis dengan voriconazole atau posaconazole harus dipertimbangkan.
Infeksi Virus
Infeksi virus juga sering terjadi pada pasien dengan GVHD. Infeksi cytomegalovirus pada pasien GVHD dapat menyebabkan pneumonia interstisial dan gastritis. Pemantauan infeksi CMV sebaiknya dilakukan setidaknya setiap bulan menggunakan teknik yang secara langsung mendeteksi virus seperti PCR. Apabila terjadi infeksi, dapat digunakan gancyclovir.
Infeksi lain yang dapat terjadi adalah infeksi herpes zoster. Profilaksis dengan acyclovir dapat bermanfaat.
Vaksinasi influenza perlu direkomendasikan pada orang-orang di sekitar pasien. Apabila terjadi infeksi influenza, terapi dengan inhibitor neuraminidase dapat dilakukan.[5,7,19,20]