Diagnosis Infertilitas Pria
Diagnosis infertilitas pria perlu dicurigai pada pasangan suami-istri yang mengeluhkan ketidakmampuan mengalami kehamilan setelah melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi selama 12 bulan atau lebih. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti analisis semen dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis pasien. Tujuan dari evaluasi pasien adalah untuk memastikan bahwa infertilitas disebabkan oleh faktor pria, mengidentifikasi infertilitas yang bisa ditangani dengan obat, dan kemungkinan kebutuhan assisted reproductive techniques (ART).
Anamnesis
Informasi yang harus digali saat anamnesis pria dengan masalah infertilitas mencakup riwayat kesuburan, riwayat penyakit saat anak-anak, termasuk penyakit sistemik, riwayat pembedahan, dan kemoterapi, serta gaya hidup. Riwayat kesuburan pria mencakup catatan awal tentang riwayat kehamilan pada pasangan seksual saat ini maupun sebelumnya, kesulitan yang dihadapi saat berusaha memperoleh keturunan, dan pemeriksaan serta pengobatan yang pernah dijalani terkait masalah infertilitas.
Selain itu, data tentang frekuensi dan pengaturan waktu berhubungan seksual juga perlu digali. Lakukan evaluasi faktor risiko, pola perilaku, riwayat keluarga, riwayat infeksi, riwayat trauma, dan paparan terhadap gonadotoksin yang diketahui.[3,11]
Membedakan Penyebab Primer dan Sekunder
Penggalian riwayat infertilitas perlu dilakukan secara menyeluruh untuk menentukan apakah infertilitas diakibatkan oleh penyebab primer atau sekunder. Infertilitas primer tidak memiliki riwayat kesuburan sama sekali. Sementara itu, pada infertilitas sekunder, pasien ditemukan awalnya subur dan kemudian menjadi infertil.[1,11]
Kondisi pada Masa Kanak-Kanak
Riwayat masa dahulu yang mempengaruhi infertilitas adalah kondisi masa kanak, misalnya kriptorkismus, orchitis pasca pubertas akibat mumps, torsio testis, atau trauma. Kriptorkismus berperan besar dalam infertilitas dengan cara menurunkan spermatogenesis. Sementara itu, tekanan pada testis akibat torsio menyebabkan cedera dan menurunkan sirkulasi dari testis, yang dalam waktu lama menyebabkan kerusakan pada testis.[4,12]
Faktor Risiko
Pada semua kondisi fisik, varikokel adalah penyebab paling banyak infertilitas pada pria. Selain itu, obesitas juga akan mempengaruhi kualitas sperma. Pada pria dengan obesitas, terdapat gangguan endokrin yang menyebabkan konversi testosterone menjadi esterogen. Konversi ini menyebabkan penurunan pada konsentrasi sperma. Obesitas juga meningkatkan risiko komorbiditas lain seperti hipertensi, dislipidemia, dan resistensi insulin yang ditemukan ikut berpengaruh terhadap kesuburan.[2,3]
Beberapa infeksi pada genital, seperti prostatitis, epididimitis, uretritis, dan orchitis dapat berperan dalam infertilitas. Infeksi dapat asimptomatik pada 20% dari pasien dengan infertilitas primer. Pada pasien-pasien ini, terjadi penurunan dari konsentrasi sperma.[1,2]
Faktor Gaya Hidup dan Lingkungan
Gaya hidup dan lingkungan dapat mempengaruhi kesuburan pada pria. Pada anamnesis, perlu ditanyakan paparan pada zat berbahaya di tempat kerja. Zat tersebut meliputi solven, insektisida, adhesif, silikon, dan radiasi. Paparan terhadap zat ini bisa menyebabkan infertilitas. Semakin lama terpapar maka kesuburan akan semakin menurun.[4]
Selain itu, telah dilaporkan juga adanya hubungan antara merokok dan penurunan kualitas sperma pada pria. Korelasi negatif juga didapatkan pada pria peminum alkohol dan pengguna zat rekreasional seperti ganja dan steroid anabolik.[2,4]
Klinisi juga perlu mengevaluasi aktivitas seksual dari pasien dan pasangannya. Pada pria, mungkin didapatkan penurunan keinginan berhubungan seksual dan tidak ada rasa puas ketika berhubungan. Penggunaan lubrikan saat berhubungan seksual bersifat spermatotoksik dan mempengaruhi kesuburan pada pria.[1,2]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk mengevaluasi infertilitas pada pria. Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah mengevaluasi anatomi dari penis, karakteristik testis dan epididimis, virilisasi, apakah ada kelainan pada genitalia dan rektum.[2,11]
Pemeriksaan Fisik Umum
Pemeriksaan fisik diawali dengan pemeriksaan umum, tinggi badan dan berat badan pasien. Klinisi kemudian mencatat karakteristik seksual sekunder, misalnya pada distribusi rambut di kepala, leher, aksilla, pubis, dan adanya ginekomastia. Massa otot dan lemak tubuh diukur. Bekas operasi masa lalu dicatat, terutama pada daerah abdomen dan inguinal.[2]
Pemeriksaan Genital
Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan genital. Pemeriksa mengevaluasi phallus, kurvatura penis, adanya plak, epispasdia atau hipospadia. Ukuran testis diperiksa, termasuk konsistensi, adanya massa, dan lokasi testis. Pemeriksaan ukuran testis bisa menggunakan Prader orchidometer atau kaliper. Pada pria sehat, volume testis minimal adalah 20 mL dan ukuran sisi terpanjang testis minimal adalah 4 cm. Pasien dengan infertilitas berisiko mengalami neoplasma pada testis, sehingga klinisi perlu memastikan ada tidaknya massa pada testis.[2]
Pada palpasi epididimis, dicatat apakah ada indurasi, pembesaran, atau kista. Klinisi perlu melakukan palpasi pada epididimis. Sensasi penuh pada palpasi mengindikasikan adanya obstruksi distal. Epididimis yang hipoplastik dengan tidak terabanya vas deferens unilateral atau bilateral mengindikasikan agenesis vasal.[2]
Varikokel bisa dideteksi dengan cara palpasi kedua skrotum dalam posisi berbaring atau berdiri. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam suhu hangat agar mencegah kulit skrotum mengkerut. Pada kedua posisi, klinisi memeriksa dengan atau tanpa manuver Valsava. Posisi berbaring dilakukan untuk menilai dekompresi vena yang mengalami dilatasi. Apabila tidak ditemukan pengurangan dilatasi vena dalam posisi berbaring, maka penyebab kompresi kemungkinan adalah tumor atau kelainan anatomi.[2,11]
Pemeriksaan Rektal
Pemeriksaan rektal tidak dilakukan secara rutin pada semua pasien, pemeriksaan ini perlu dilakukan pada pasien dengan volume ejakulasi yang rendah. Palpasi prostat dilakukan untuk menilai ukuran dan konsistensi. Adanya kista atau penonjolan dari vesikula seminalis mungkin mengindikasikan obstruksi pada duktus.[2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding terhadap infertilitas pria berfokus pada segala interpretasi yang mungkin dari hasil analisis semen awal.
Parameter Semen Normal
Apabila ditemukan parameter sperma normal dan kemungkinan faktor wanita sudah disingkirkan, maka hal ini dikenal dengan istilah infertilitas idiopatik. Tindakan yang dapat dipertimbangkan adalah in vitro fertilization (IVF) dengan intracytoplasmic sperm injection (ICSI).[1,13]
Asthenozoospermia
Pada asthenozoospermia, pemeriksaan analisis semen menunjukkan motilitas sperma yang rendah. Asthenozoospermia umumnya diakibatkan oleh gangguan pada epididimis atau defek struktural pada flagel sperma. Apabila terdapat asthenozoospermia berat terisolasi dengan peningkatan aglutinasi, maka disarankan melakukan pemeriksaan antibodi antisperma.[1,13]
Teratozoospermia
Pada kondisi ini ditemukan banyak sel germinal imatur pada semen. Hal ini mengindikasikan ada masalah pada spermatogenesis.[1]
Oligozoospermia
Pasien dengan oligoozoospermia menunjukkan hitung sperma yang rendah, kurang dari 10 juta/ml. Kondisi ini umumnya diakibatkan oleh kelainan genetik atau metabolik. Apabila didapatkan parameter seperti ini dengan FSH dan LH tinggi, maka pasien mungkin mengalami sindrom Klinefelter yang dapat dikonfirmasi dari pemeriksaan kariotipik.
Pasien dengan hitung sperma sangat rendah (<5 juta/mL) mungkin mengalami defek kromosom Y dan mikrodelesi. Pemeriksaan kortisol, prolaktin, dan fungsi tiroid dapat dilakukan apabila pada pasien didapatkan kadar testosteron rendah dengan kadar FSH/LH normal atau rendah.[1,13]
Oligozoospermia Berat atau Azoospermia
Kondisi azoospermia adalah tidak ada sperma sama sekali pada analisis semen. Kondisi ini umumnya disebabkan oleh kelainan genetik. Pemeriksaan fisik dan penunjang menyeluruh perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan azoospermia obstruksi.[1,13]
Volume Semen Rendah
Penurunan volume semen atau aspermia biasanya berkaitan dengan ejakulasi retrograd maupun obstruksi dari duktus ejakulatorius. Penyebab dasarnya adalah gangguan saraf akibat cedera spinal, diabetes mellitus, multiple sclerosis, reseksi transuretra dari prostat, atau penggunaan penghambat reseptor alfa. Pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah urinalisis setelah ejakulasi untuk menemukan sperma.[1,13]
Pemeriksaan Penunjang
Setelah melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik, klinisi perlu melakukan pemeriksaan penunjang pada pria yang diduga mengalami infertilitas. Analisis sperma adalah pemeriksaan yang penting dilakukan untuk mengevaluasi sperma, namun tidak definitif terhadap kesuburan dari pria.
Analisis Semen
Sampai saat ini, analisis semen menjadi pemeriksaan penunjang awal yang dilakukan pada kasus infertilitas pria. Sebelum melakukan analisis semen, pasien disarankan untuk melakukan abstinensia selama 2-3 hari, apabila periode abstinensia lebih pendek maka akan mempengaruhi jumlah sperma, sedangkan waktu yang lebih panjang dapat mempengaruhi motilitas.[1,13]
Pemeriksaan ini tidak menentukan diagnosis infertilitas dan tidak bisa digunakan secara tunggal dalam menentukan kesuburan pasien. Analisis semen harus dilakukan pada laboratorium yang terakreditasi secara andrologi.[2]
Pada pasien dengan hasil normal, tidak memerlukan uji ulangan. Sebaliknya apabila pasien memiliki hasil abnormal, disarankan mengulang analisis semen. Interval waktu tes ulang antara 1-3 bulan dilakukan pada pasien dengan gangguan ringan atau sedang. Pada pasien dengan oligospermia berat atau azoospermia, disarankan melakukan tes ulang dalam waktu 2-4 minggu.[11]
Tabel 1. Nilai Rujukan terhadap Parameter Analisis Sperma berdasarkan Kriteria WHO
Parameter | Nilai rujukan |
Volume | ≥ 1,5 mL |
pH | ≥7,2 |
Konsentrasi sperma | ≥15 juta/ mL |
Hitung sperma total | ≥39 juta |
Motilitas total | ≥40% |
Motilitas progresif | ≥32% |
Vitalitas | ≥58% |
Morfologi normal | ≥4% |
Leukosit | <1x106/mL |
Sumber: dr. Adrian Prasetio, Alomedika, 2022.[11]
Antibodi Antisperma
Antibodi antisperma dapat terdeteksi di cairan semen ketika sawar darah-testis terbuka akibat infeksi, vasektomi, atau trauma testis. Antibodi ini menurunkan kemampuan sperma dalam bergerak dan menembus mukus dari serviks. Pemeriksaan antibodi antisperma dilakukan ketika terjadi penurunan motilitas yang tidak dapat dijelaskan, aglutinasi, ada infeksi prostat, atau riwayat operasi sebelumnya.[13]
Pemeriksaan Genetik
Sekitar 15% pria dengan infertilitas mengalami defek pada genetik. Umumnya pasien-pasien ini menunjukkan peningkatan aneuploidi, abnormalitas genetik, dan kerusakan pada DNA yang kemudian menyebabkan gangguan dalam spermatogenesis. Pemeriksaan kariotipe bisa mendeteksi defek pada kromosom atau struktural. Pemeriksaan ini direkomendasikan pada pria dengan azoospermia, oligospermia berat, dan jumlah sperma dibawah 10x106/mL. Pria yang diduga mengalami kelainan kariotipik autosomal dan ingin mendapatkan terapi kesuburan direkomendasikan untuk menjalani konseling genetik.[2,11,13]
Pencitraan
Pencitraan mungkin dibutuhkan pada pasien pria dengan infertilitas, terutama pada kasus dimana orkhidometer Prader tidak mampu secara reliabel mendeteksi volume testis.
Ultrasonografi skrotum dilakukan pada pasien dengan indikasi kelainan anatomi dalam pemeriksaan fisik. Pemeriksaan ini bersifat tidak invasif, aman, dan berbiaya rendah. Pada pemeriksaan ini, klinisi dapat melihat ukuran serta volume testis, aliran darah, ekhogenitas dari testis, anatomi genital, dan kelainan seperti varikokel.
Ultrasonografi transrektal (TRUS) mungkin diperlukan pada pasien dengan volume seminalis rendah, oligozoospermia berat atau azoospermia dan dicurigai adanya obstruksi terutama pada proksimal genitalia. Beberapa kondisi yang dapat ditemukan dalam pencitraan adalah dilatasi dari vesikula seminalis, kista prostat, dan dilatasi duktus ejakulatorius.[2,13]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita