Patofisiologi Infertilitas Pria
Patofisiologi dari infertilitas pria melibatkan kelainan berbagai proses yang terlibat dalam menentukan jumlah dan fungsi sperma yang baik. Setiap proses mulai dari aksis hipotalamus-pituitari-gonad (HPG) hingga faktor yang mempengaruhi pergerakan sperma di dalam vagina berpeluang menyebabkan infertilitas pria.[3,4]
Fisiologi Fungsi Fertilitas pada Pria
Aksis hipotalamus-pituitari-gonad (HPG) mempengaruhi fungsi seksual dan gonadal dan bertindak dengan sistem closed loop berdasarkan umpan balik dari testis. Ketika ada sinyal dari sistem saraf pusat, hipotalamus merespon dan melepaskan gonadotropin releasing hormone (GnRH). GnRH kemudian berjalan menuju pituitari anterior dan menstimulasi pelepasan gonadotropin, luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH). GnRH distimulasi oleh melatonin dan diinhibisi oleh testosterone, corticotropin-releasing hormone, opiat, stress, dan penyakit fisik.
LH dan FSH berperan dalam mengatur spermatogenesis. LH memberikan sinyal kepada sel Leydig untuk melakukan steroidogenesis, sedangkan FSH mengatur spermatogenesis oleh sel Sertoli. Selain oleh FSH, sel Sertoli juga dimodulasi oleh testosterone intratestikular dan sel mioid peritubular.
Sel germinal merupakan prekursor dari spermatozoa. Ketika terjadi stimulasi dari FSH, sel germinal berubah menjadi spermatogonia dan kemudian mengalami maturasi menjadi spermatozoa. Proses spermatogenesis sendiri terdiri dari 4 fase: 1) proliferasi mitosis dan diferensiasi spermatogonial, 2) pembelahan meiosis dari spermatosit menjadi spermatid, 3) perubahan spermatid menjadi dewasa (spermogenesis), 4) pelepasan spermatid kepada lumen (spermatogenesis) menuju epididimis. Gangguan pada fase manapun akan berpengaruh terhadap kesuburan.[3,4]
Abnormalitas Fungsi Fertilitas
Kelainan yang mempengaruhi kerja gonadotropin memiliki spektrum yang luas mulai dari hipoandrogenisme parsial hingga hipogonadisme hipogonadotropik yang berkaitan dengan sindrom tertentu seperti sindrom Kallman. Selain itu, faktor ekstrinsik seperti trauma kepala, riwayat radiasi sinar pengion pada area kepala, penyalahgunaan alkohol, penyakit sistemik, dan hemokromatosis juga patut dipertimbangkan sebagai penyebab hipogonadisme pada kasus infertilitas pria.
Pada kasus lain, sindrom genetik yang melibatkan spermatogenesis diketahui dapat berkaitan dengan infertilitas pria. Sindrom genetik ini dapat mempengaruhi jumlah kromosom, kelainan struktural, maupun anomali epigenetik pada gamet. Kelainan jumlah kromosom yang umum dijumpai sebagai penyebab genetik infertilitas pria adalah sindrom Klinefelter. Pada lebih dari 90% kasus sindrom Klinefelter, azoospermia disertai hipogonadisme.
Infertilitas pria juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit yang mempengaruhi kompartemen testis. Gangguan testikuler yang berkontribusi pada infertilitas pria terjadi biasanya melibatkan kelainan pada produksi sperma di epitel tubulus seminiferus, sintesis testosteron oleh sel Leydig, maupun sumbatan mikroduktal pada sistem transportasi sperma ke duktus ejakulatorius.
Infertilitas pria juga dapat disebabkan oleh varikokel. Sebagian besar pria dengan varikokel biasanya memiliki jumlah sperma yang masih baik dalam analisis semen. Meski demikian, varikokel diduga berperan dalam kejadian infertilitas pria akibat dampaknya terhadap peningkatan suhu intratestikuler akibat gangguan pada sistem pertukaran panas antara pleksus pampiniformis dengan sistem arteri sentral dan vena di sekitarnya. Selain itu, infertilitas juga dapat disebabkan oleh berbagai bentuk gangguan ejakulasi akibat kelainan anatomi, fungsional, dan neurologis.[1-4,6]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita