Etiologi Hirschsprung Disease
Etiologi Hirschsprung disease atau megakolon kongenital merupakan kombinasi dari kegagalan migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel krista saraf, disertai dengan peranan genetik. Hirschsprung disease merupakan penyakit herediter, sekitar 10–20% kasus memiliki riwayat keluarga dengan penyakit yang sama, dan sisanya terjadi secara sporadis.
Gangguan Migrasi Sel Krista Saraf
Enteric nervous system (ENS) merupakan persarafan pada dinding usus yang berperan mengatur fungsi normal usus. Pembentukan ENS terjadi dari prekursor sel krista vagal yang bermigrasi di usus dari rostral ke kaudal, pada usia gestasi 3–8 minggu. Adanya kegagalan selama migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel krista menyebabkan sel-sel prekursor ENS tidak dapat mengkolonisasi usus bagian distal.
Kegagalan tersebut mengakibatkan tidak adanya sel-sel ganglion, atau aganglionik, pada pleksus saraf, sehingga terjadi aktivitas berlebihan pada usus dengan pelepasan asetilkolin secara persisten. Hal ini mengakibatkan kontraksi terus-menerus pada bagian usus aganglionik, biasanya di kolon bagian distal, dan dilatasi sekunder progresif pada kolon proksimal yang sehat.[4,5,7]
Faktor Genetik
Berbagai faktor trofik, reseptor sel, faktor transkripsi, dan pensinyalan antar molekul diperlukan agar ENS dapat berkolonisasi pada usus janin. Oleh sebab itu, defek genetik merupakan faktor predisposisi terjadinya Hirschsprung disease.
Beberapa gen yang diduga berhubungan dengan Hirschsprung disease, dan telah banyak diteliti, antara lain RET, GDNF, dan GFRα1. Gen RET merupakan proto-onkogen, yang mengkode reseptor tirosin kinase RET. Gen GDNF mengkode protein GDNF, yang merupakan ligand bagi RET.
GDNF dan GFRα1 akan membentuk kompleks, yang mengaktifkan RET. Selanjutnya, RET akan mengalami autofosforilasi, dan mengaktifkan jalur RET yang mengatur peran embrionik dari sel krista saraf enterik, termasuk migrasi, pertahanan, proliferasi, dan diferensiasi.
Pada keadaan normal, GDNF diekspresikan pada mesenkim usus yang sedang berkembang, dan memberi sinyal kepada RET dan GFRα1. Ekspresi GDNF terjadi ke arah kaudal, sehingga sel krista enterik dapat mengkolonisasi usus. Terjadinya mutasi pada salah satu gen tersebut menyebabkan sel krista saraf tidak bisa bermigrasi dan berkembang dengan normal.[4–6]
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya Hirschsprung disease, antara lain riwayat keluarga, risiko terkait genetik, sindrom kongenital, dan riwayat obstetri.
Riwayat Keluarga
Risiko Hirschsprung disease meningkat lebih dari 20% jika salah satu orang tua memiliki riwayat Hirschsprung disease segmen panjang. Selain itu, jika orang tua menurunkan alel yang berhubungan dengan Hirschsprung disease, misalnya RET yang bermutasi, risiko anak terkena Hirschsprung disease juga sangat tinggi, meskipun orang tua tidak pernah menderita kelainan tersebut. Selain itu, risiko diperkirakan meningkat 200 kali pada bayi yang kakak laki-lakinya terkena Hirschsprung disease.[4,8,9]
Faktor Genetik
Sekitar 30% pasien Hirschsprung disease memiliki manifestasi klinis kelainan genetik. Trisomi 21 meningkatkan risiko Hirschsprung disease sebesar 50–100 kali. Sebanyak 8% penderita Hirschsprung disease mengalami Sindrom Down. Jenis kelamin laki-laki juga lebih berisiko 4 kali lipat untuk terkena Hirschsprung disease.
Keadaan heterozigot pada gen RET meningkatkan risiko Hirschsprung disease hingga 3000 kali lipat. Sindrom Waardenburg, yang ditandai dengan kelainan pada gen EDNRB, ditemukan pada 5% pasien Hirschsprung disease. Sindrom Bardet–Biedl, yaitu kelainan pada gen BBS1–BBS11, meningkatkan risiko Hirschsprung disease sebanyak 30 kali lipat.[3,7]
Riwayat Obstetri
Riwayat obstetri tertentu, seperti obesitas maternal saat kehamilan, diketahui meningkatkan risiko Hirschsprung disease sebesar 1,73 kali. Selain itu, kondisi hipotiroid ibu saat hamil dan paritas lebih dari 3 juga dihubungkan dengan peningkatan risiko Hirschsprung disease.[8,9]
Faktor Risiko Lain
Penggunaan obat-obatan tertentu selama kehamilan diduga meningkatkan risiko Hirschsprung disease, tetapi masih bukti klinis yang ada berasa dari studi eksperimental pada hewan dan belum ada data pada manusia. Penggunaan berbagai obat ini diduga menurunkan kolonisasi ENS. Obat-obatan tersebut, antara lain mycophenolate, golongan statin, misalnya simvastatin atau atorvastatin, dan ibuprofen dosis tinggi.
Defisiensi vitamin A dan asam folat juga diduga menjadi faktor risiko terjadinya Hirschsprung disease. Faktor-faktor lain yang dapat memperlambat proliferasi sel-sel fetus saat migrasi prekursor ENS juga diduga meningkatkan risiko Hirschsprung disease, di antaranya merokok, penggunaan kokain, dan konsumsi alkohol selama kehamilan, serta insufisiensi plasenta, atau kondisi medis lain yang mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat.[7]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra