Pendahuluan Kista Pilonidal
Kista pilonidal adalah kondisi yang menyebabkan infeksi kulit yang berhubungan dengan terbentuknya abses dan sinus yang umumnya mengandung rambut dekat bagian atas bokong pada celah gluteal. Kista pilonidal dapat sulit ditata laksana dengan risiko rekurensi yang cukup tinggi.
Celah gluteal adalah alur pada midline kedua gluteus yang memanjang dari bawah sakrum ke perineum, superior dari anus. Area predileksi lainnya adalah tangan, sela-sela jari, dan periungual; di mana pasien dengan predileksi ini seringkali memiliki riwayat paparan pekerjaan sebagai tukang cukur, penata rambut, atau groomer hewan.[1,4]
Kista pilonidal diperkirakan terjadi karena reaksi kulit dan jaringan lunak terhadap ingrown hair yang dianggap benda asing sehingga menimbulkan reaksi inflamasi dan granuloma. Faktor risiko kista pilonidal meliputi jenis kelamin laki-laki, riwayat kista pilonidal dalam keluarga, gaya hidup sedentari, obesitas, trauma atau iritasi pada area celah gluteal, hirsute habitus, dan kebersihan yang buruk.[1,2,5,6]
Kata “pilonidal” berasal dari bahasa Latin pilus yang berarti "rambut," dan nidus yang berarti "sarang." Kista pilonidal memberikan spektrum presentasi klinis, mulai dari kista dan sinus yang mengandung rambut dengan/tanpa gejala, hingga infeksi seperti abses simtomatik di daerah sacrococcygeal. Keadaan ini memiliki kecenderungan untuk mengalami rekurensi.[1–4]
Kista pilonidal, terutama jika terinfeksi, dapat menyerupai kondisi lain seperti abses perianal, fistula anorektal, folikulitis, dan hidradenitis suppurativa. Diagnosis kista pilonidal ditegakkan secara klinis dari adanya sinus yang bermuara di permukaan kulit, dan sering ditemukan pada area sacrococcygeal.
Bila terbentuk massa tanpa tanda inflamasi, dapat dicurigai kista pilonidal. Sedangkan abses pilonidal dapat dicurigai pada keadaan di mana sudah terjadi infeksi dan terbentuk abses.[1,2]
Kista pilonidal yang tidak disertai keluhan klinis bermakna tidak memerlukan tata laksana khusus. Akan tetapi, pasien perlu diedukasi untuk menjaga kebersihan dan mengangkat rambut atau epilasi pada area lesi setiap 1–2 minggu. Pasien juga harus diedukasi terkait faktor risiko yang dapat dimodifikasi, seperti penurunan berat badan, dan modifikasi gaya hidup untuk mencegah rekurensi.
Tata laksana nonoperatif seperti penggunaan fenol dapat dipertimbangkan. Pemberian antibiotik profilaksis rutin tidak direkomendasikan pada mereka tanpa imunodefisiensi, tanda selulitis, dan bukti infeksi bakterial. Tata laksana operatif terutama pada kista pilonidal akut dengan abses maupun kronis meliputi insisi dan drainase maupun dengan eksisi bedah [1,2,4–6]