Patofisiologi Kista Pilonidal
Patofisiologi kista pilonidal dicurigai berhubungan dengan folikel rambut yang terperangkap pada kulit maupun jaringan lunak. Folikel rambut berhubungan dengan kelenjar sebasea dan erektor pili, di mana satu kesatuan struktur ini disebut pilosebasea.
Folikel rambut yang terperangkap dapat tersumbat, kemudian struktur pilosebasea ikut distensi, dan mengalami inflamasi dan edema, serta dapat ruptur. Adanya ruptur maupun infeksi sekunder folikel rambut yang tersumbat dapat membentuk abses pilonidal. Sinus pilonidal terbentuk berdasarkan arah folikel dan dipengaruhi oleh adanya gesekan.[1,4,10,11]
Patofisiologi Kista Pilonidal pada Celah Gluteal
Celah gluteal merupakan salah satu area predileksi kista pilonidal. Celah gluteal meregang ketika seseorang duduk atau membungkuk, sehingga dapat mematahkan atau menghancurkan folikel rambut dan membuka pori-pori di area celah gluteal. Rambut yang rontok dari kepala, punggung, atau bokong dapat bersarang dan tersangkut di pori-pori.
Dengan gerakan meregang, kulit ditarik kencang di atas celah gluteal, sehingga menciptakan tekanan negatif pada lapisan subkutan. Tekanan negatif ini menarik rambut lebih jauh ke dalam pori-pori. Adanya gesekan menyebabkan rambut membentuk sinus.[1–3]
Sinus dan kista dapat dibedakan secara mikroskopis, di mana sinus dilapisi dengan epitel skuamosa bertingkat dengan sedikit cornification atau proses diferensiasi keratin. Sementara dinding rongga kista dilapisi dengan jaringan granulasi serta dapat mengandung rambut dan debris epitel. Epitel pada dinding kista tidak sebanyak pada dinding sinus.[3,5]
Bila terjadi infeksi sekunder, sinus dapat berkembang menjadi abses subkutan akut yang menyebar di sepanjang celah gluteal. Abses dapat pecah secara spontan sehingga memerlukan tindakan insisi drainase. Infeksi berulang atau kronis juga dapat berkembang di daerah yang sama karena adanya sisa rambut yang tertahan atau residu yang terinfeksi.[1,4]
Kista Pilonidal Rekurens
Seringkali kista pilonidal rekurensi terjadi pada kasus yang sudah mengalami infeksi sebelumnya. Luas lesi dan progresivitas penyakit juga memengaruhi kejadian rekurensi. Terdapat 3 variabel yang dapat menentukan rekurensi dan persistensi kista pilonidal, yaitu loose hair atau ‘‘invader’’ (H), force (F), dan vulnerability (V).
Ketika sudah terjadi insersi sehelai rambut (H), rambut lainnya akan lebih mudah menginvasi lesi. Force (F) adalah yang memengaruhi insersi rambut, seperti kedalaman lesi, dan gesekan/friksi pada area pilonidal. Sedangkan vulnerability (V) adalah kerentanan jaringan dan kulit, misalnya adanya infeksi sekunder bakteri, hipoksia jaringan yang lebih dalam karena kista pilonidal persisten.[10,11]