Penatalaksanaan Kista Pilonidal
Penatalaksanaan kista pilonidal meliputi melakukan epilasi area lesi pilonidal, aplikasi fenol, serta tindakan insisi drainase maupun eksisi. Pada kista pilonidal asimtomatik, tidak diperlukan tata laksana definitif, tetapi tetap diberikan edukasi untuk menjaga kebersihan dan menghilangkan rambut pada area lesi.
Sedangkan pada kista pilonidal akut dengan abses, direkomendasikan untuk dilakukan insisi drainase abses. Pada kista pilonidal kronis yang memerlukan tindakan operasi, eksisi dapat dipertimbangkan, dengan pemasangan drain sesuai pertimbangan klinis.[1,2,6]
Tata Laksana Non-Operatif
Tata laksana non-operatif untuk kista pilonidal meliputi menghilangkan rambut, aplikasi fenol, dan fibrin glue. Pemberian antibiotik profilaksis sebelum operasi untuk kista pilonidal tidak direkomendasikan secara rutin karena studi mengenai keuntungan pemberiannya belum jelas.[6]
Menghilangkan Rambut
Menghilangkan rambut atau epilasi, dengan laser maupun dicukur direkomendasikan pada kista pilonidal. Epilasi direkomendasikan baik sebagai terapi utama maupun adjuvan pada kista pilonidal, terutama sebagai tindakan preventif untuk mencegah rekurensi. Hal ini karena adanya peran ingrown hair dalam patofisiologi kista pilonidal.
Tindakan menghilangkan rambut ini dapat diulang setiap 1–2 minggu sambil menjaga kebersihan diri terutama area dengan lesi pilonidal. Belum ada rekomendasi yang jelas mengenai frekuensi optimal untuk tindakan menghilangkan rambut dalam tata laksana kista pilonidal.[2,6]
Aplikasi Fenol
Fenol merupakan agen sclerosing yang digunakan dalam tata laksana kista pilonidal akut maupun kronis tanpa abses. Fenol digunakan dalam terapi nonoperatif atau adjuvan tata laksana operatif kista pilonidal.[1,2,6,7]
Penggunaan fenol pada umumnya diawali dengan epilasi dan kuretase kista. Kemudian, ke dalam kista dan traktus sinus diberikan sekitar 1–3 mL fenol terkristalisasi. Pasien mungkin memerlukan sekitar 1–4 kali pemberian dengan fenol untuk mencapai hasil yang diharapkan.[6]
Penggunaan fenol berhubungan dengan waktu penyembuhan luka yang lebih cepat, waktu untuk kembali beraktivitas yang lebih cepat, serta keluhan nyeri dan penggunaan analgesik yang lebih ringan. Walaupun jarang, komplikasi yang dilaporkan pada penggunaan fenol meliputi infeksi, luka bakar kulit, hematoma, dan wound dehiscence.[1,2,6,7,17,18]
Lem Fibrin
Lem fibrin dapat dipertimbangkan pada kista pilonidal kronis atau rekurens tanpa abses. Pemberian lem fibrin diharapkan dapat mengeliminasi jaringan granulasi dan debris sehingga sinus dapat menutup. Pemberian lem fibrin juga dapat dipertimbangkan setelah tindakan eksisi kista maupun sinus, serta kuretase lubang pilonidal.[2,6]
Penggunaan lem fibrin dalam tata laksana kista pilonidal ini masih termasuk dalam rekomendasi lemah dengan kualitas bukti yang moderate. Berdasarkan meta-analisis Cochrane, belum didapatkan bukti yang jelas mengenai keuntungan yang pasti pemberian lem fibrin dalam tata laksana kista pilonidal.[2,6,8]
Antibiotik
Penggunaan antibiotik pada kista pilonidal akut maupun kronis tanpa tanda infeksi tidak direkomendasikan. Hal ini karena belum ada bukti yang kuat mengenai keuntungan pemberian antibiotik, dilihat dari waktu penyembuhan maupun rekurensi.
Penggunaan antibiotik dibatasi pada kista pilonidal dengan selulitis. Pasien imunosupresi yang berisiko tinggi untuk mengalami endokarditis, methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), atau penyakit sistemik penyerta dapat dipertimbangkan untuk mendapat antibiotik profilaksis sebagai tambahan tata laksana bedah.[1,2,6]
Bakteri aerob sering teridentifikasi pada kista pilonidal kronis, sedangkan bakteri anaerob, seperti Bacteroides, sering ditemukan pada abses. Maka dari itu, bila diputuskan mendapat antibiotik, dapat dipertimbangkan cephalosporin generasi pertama, seperti cefazolin, ditambah metronidazol.[1]
Tata Laksana Operatif
Penatalaksanaan operatif kista pilonidal terdiri dari insisi dan drainase serta eksisi bedah. Eksisi bedah dapat diikuti dengan penutupan luka primer, maupun tertunda (secondary intention). Penutupan luka primer dengan flap dipertimbangkan pada kista pilonidal kronis yang tidak membaik dengan tata laksana lainnya.[6]
Insisi dan Drainase
Insisi dan drainase merupakan tata laksana utama kista pilonidal akut dengan abses. Tindakan dilakukan dengan insisi linier pada bagian tertinggi fluktuasi tanpa memperhatikan midline, dilakukan unroofing, drainase dan kuretase untuk mengangkat debris dan rambut dalam rongga abses.[1,2,6,7]
Studi kohort dilakukan pada 583 pasien anggota militer dengan kista pilonidal. Hasil studi menemukan bahwa perawatan insisi dan drainase yang dilakukan beberapa minggu sebelum operasi definitif memberikan hasil yang lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan operasi primer tanpa Insisi dan drainase. Persentase rekurensi dalam 20 tahun pada pasien yang dilakukan insisi drainase mencapai 24%, sedangkan pada mereka yang tidak menjalani insisi drainase mencapai 35%.[23]
Eksisi Bedah
Eksisi bedah merupakan tata laksana baku pada kista dan sinus pilonidal kronis. Tindakan eksisi umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu eksisi dengan penutupan luka primer seperti teknik flap atau graft, atau penutupan luka tertunda atau secondary intention, termasuk marsupialisasi.
Prinsip penutupan primer dengan flap yang lebih dekat adalah untuk eksisi seluruh fisura yang terkena dan mengganti kontur kulit pada area ini untuk mengurangi risiko rekurensi.[2,6]
Penutupan Luka Primer:
Penutupan luka primer dapat dilakukan dengan teknik midline atau off-midline dengan/tanpa skin flap. Teknik off-midline memiliki waktu penyembuhan yang lebih cepat, tingkat morbiditas luka yang lebih rendah, dan tingkat kekambuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan teknik midline.[1,2,6,19]
Pada teknik midline, luka operasi dibuat pada midline pilonidal, sedangkan pada off-midline dilakukan insisi lateral dan flap. Pertimbangan dilakukannya flap adalah tindakan operasi yang memerlukan reseksi ekstensif, sehingga defek jaringan yang terbentuk lebih luas.
Teknik flap yang banyak digunakan meliputi Karydakis flap, Bascom cleft lift, dan Limberg flap. Teknik flap lainnya adalah Rhomboid, V-Y flap dan Z‐plasty. Prosedur berbasis flap terutama dipertimbangkan pada kista pilonidal kronis yang kompleks dan berulang ketika teknik lain tidak berhasil.[1,2,6,20]
Penutupan Luka Tertunda:
Pada penutupan luka tertunda (secondary intention) dilakukan dengan meninggalkan luka operasi tetap terbuka untuk membiarkan proses penyembuhan terjadi natural dari dasar luka. Termasuk dalam secondary intention adalah marsupialisasi, di mana luka dijahit terbuka membentuk kantung.
Dibandingkan penutupan luka primer, penutupan luka tertunda lebih jarang dipilih. Dari sudut pandang pasien dan caregiver, lebih tidak nyaman, karena penyembuhan yang lebih lama dan memerlukan perawatan luka yang lebih sering.[1,6,20,21]