Diagnosis Sindrom Kompartemen
Diagnosis sindrom kompartemen akut perlu dipikirkan pada pasien yang mengeluhkan hilangnya pulsasi distal, hipoestesia, dan paresis pada ekstremitas yang mengalami trauma. Diagnosis sindrom kompartemen kronik perlu dipikirkan pada atlet dengan nyeri, rasa kebas, atau palsy transien saat melakukan gerakan tentu ketika olahraga.[1,5]
Anamnesis
Sindrom kompartemen akut umumnya berkaitan dengan proses trauma. Sementara itu, sindrom kompartemen kronik merupakan kondisi yang jarang terjadi dan biasanya hanya terjadi pada atlet.[1,5]
Sindrom Kompartemen Akut
Gejala klasik sindrom kompartemen akut dikenal dengan istilah 5P. Yang termasuk ke dalam 5P adalah:
Pain: nyeri adalah salah satu gejala subjektif dari sindrom kompartemen yang muncul pertama kali dan dapat dirasakan sebagai rasa nyeri yang dalam disertai rasa terbakar. Hal ini terjadi akibat adanya peregangan otot secara pasif di dalam kompartemen.
Pallor: pucat adalah gejala sindrom kompartemen terlambat yang ditandai dengan adanya perubahan warna pada kulit.
Pulselessness: hilangnya pulsasi adalah gejala sindrom kompartemen terlambat yang jarang terjadi, kecuali pada cedera yang mengenai pembuluh darah arteri.
- Paralisis merupakan gejala sindrom kompartemen yang terlambat dan baru muncul apabila cedera mengenai pembuluh darah arteri.
- Parestesia adalah gejala sindrom kompartemen terlambat yang ditandai dengan adanya sensasi terbakar di kulit[4,8-10]
Nyeri pada sindrom kompartemen biasanya memiliki tingkat keparahan yang tampak tidak sebanding dengan cedera. Rasa sakit sering digambarkan sebagai terbakar, dalam, dan diperburuk oleh peregangan pasif otot yang terlibat.
Parestesia bisa muncul di awal perjalanan penyakit, tetapi tidak dapat diandalkan untuk menegakkan diagnosis. Penurunan diskriminasi 2 poin telah dilaporkan sebagai manifestasi awal yang lebih bisa mengindikasikan terjadinya sindrom kompartemen.
Selain dari manifestasi klinis, dokter juga perlu menentukan mekanisme cedera. Cedera kecepatan tinggi, terutama yang melibatkan fraktur tulang panjang atau crush injury, merupakan cedera yang rentan mengalami sindrom kompartemen. Cedera penetrasi, seperti luka tembak dan luka tusuk, dapat menyebabkan cedera arteri yang juga meningkatkan kemungkinan terjadinya sindrom kompartemen.
Terapi antikoagulasi dan gangguan perdarahan seperti hemofilia juga secara signifikan meningkatkan kemungkinan sindrom kompartemen. Tanyakan pada pasien mengenai konsumsi antikoagulan karena sindrom kompartemen yang membutuhkan fasciotomi telah dilaporkan terjadi pada pasien yang mengonsumsi antikoagulan dan menjalani pungsi vena.[1]
Sindrom Kompartemen Kronik
Gejala klasik sindrom kompartemen kronik adalah rasa nyeri atau kram yang timbul selama olahraga dan menghilang setelah istirahat. Rasa nyeri biasanya menghilang dalam kurun waktu 15 menit setelah istirahat.
Keluhan lain yang dapat terjadi adalah bengkak, rasa kencang dan terikat, kesemutan, mati rasa, kelemahan anggota gerak yang terkena, dan foot drop bila sindrom kompartemen kronik terjadi pada kaki. Pasien sindrom kompartemen kronik biasanya adalah atlet yang melakukan gerakan repetitif, seperti pelari dan pendayung.[5]
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik pada sindrom kompartemen akut adalah adanya bukti trauma dan deformasi pada ekstremitas yang terkena. Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokter perlu menghindari manipulasi yang berlebihan dari area yang terkena karena dapat memperburuk iritasi pada kompartemen.
Temuan pemeriksaan fisik lain adalah adanya nyeri yang memburuk dengan peregangan pasif, hilangnya pulsasi pada area distal dari lokasi cedera, pucat, paralisis, dan parestesi. Membandingkan anggota tubuh yang terkena dengan anggota tubuh yang sehat dapat membantu dokter mengenali sindrom kompartemen.
Temuan pemeriksaan fisik yang penting adalah otot yang teraba kaku dan keras pada palpasi dalam. Bula juga dapat terlihat, namun bula juga bisa muncul pada kasus fraktur tanpa adanya sindrom kompartemen.
Pemeriksaan diskriminasi 2 titik telah dilaporkan sebagai tanda klinis awal yang baik untuk mengenali sindrom kompartemen. Sementara itu, adanya defisit sensorik mayor, defisit motorik, atau hilangnya denyut perifer mengindikasikan bahwa sindrom kompartemen sudah berlangsung ke tahap yang lebih berat.[1,4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding sindrom kompartemen akut antara lain deep vein thrombosis dan selulitis. Sementara itu, diagnosis banding sindrom kompartemen kronik antara lain fibromyalgia dan medial tibial stress syndrome.
Deep Vein Thrombosis
Deep vein thrombosis (DVT) dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan sindrom kompartemen, yakni nyeri dan bengkak pada ekstremitas. Meski demikian, berbeda dengan DVT, sindrom kompartemen akut kebanyakan terjadi setelah adanya trauma pada ekstremitas, misalnya fraktur tibia.[1,11]
Selulitis
Selulitis juga bisa menyebabkan nyeri, bengkak, dan kemerahan yang mirip dengan sindrom kompartemen. Pada selulitis, penyebab keluhan adalah infeksi pada kulit. Apabila dilakukan pemeriksaan manometri, tidak akan didapatkan peningkatan tekanan intrakompartemen seperti yang ada pada sindrom kompartemen.[13]
Fibromyalgia
Fibromyalgia juga bisa menyebabkan keluhan nyeri dan kaku yang kronik seperti yang terjadi pada sindrom kompartemen kronik. Pada sindrom kompartemen kronik, gejala umumnya akan berkurang dengan istirahat dan menghindari aktivitas yang mencetuskan nyeri. Di sisi lain, nyeri pada fibromyalgia tersebar dan diperburuk dengan penekanan pada titik-titik nyeri.[14]
Medial Tibial Stress Syndrome
Medial tibial stress syndrome atau sering disebut sebagai shin splint merupakan kondisi medis pada atlet yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan akibat tekanan repetitif. Kondisi ini banyak dialami pelari. Berbeda dengan sindrom kompartemen kronik, palpasi pada tulang atau fasia yang mengalami shin splint akan menginduksi nyeri. Tekanan intrakompartemen pada shin splint juga akan ditemukan normal.[15]
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis sindrom kompartemen adalah pengukuran tekanan intrakompartemen dan pencitraan untuk mengidentifikasi fraktur atau trauma yang menyebabkan sindrom kompartemen.[4,9]
Pengukuran Tekanan Intrakompartemen
Pengukuran tekanan intrakompartemen adalah pemeriksaan yang dapat memastikan diagnosis sindrom kompartemen. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menusukkan jarum atau kateter ke dalam otot. Beberapa alat yang dapat digunakan adalah needle manometer, wick catheter, transducer-tip-intracompartmental catheter, dan slit catheter. Diagnosis sindrom kompartemen kronik dapat ditegakkan bila hasil pemeriksaan tekanan intrakompartemen di atas 30 mmHg.[4,9]
Pencitraan
Rontgen merupakan pemeriksaan sederhana yang tersedia luas dan dapat dilakukan untuk menilai adanya fraktur yang dapat menjadi etiologi sindrom kompartemen. MRI dapat dilakukan untuk mengevaluasi struktur otot serta menilai adanya cairan di dalam kompartemen. USG Doppler dapat digunakan untuk mengevaluasi aliran arteri dan untuk menyingkirkan deep vein thrombosis.[1,4,9]
Pemeriksaan Laboratorium
Pada sindrom kompartemen, hasil pemeriksaan laboratorium umumnya kurang bermanfaat dalam mendiagnosis atau menyingkirkan diagnosis sindrom kompartemen. Meski demikian, pada sindrom kompartemen akut yang terkait trauma, pertimbangkan perlunya dilakukan pemeriksaan rhabdomyolysis dengan mengukur kadar creatine phosphokinase (CPK), fungsi ginjal, urinalisis, dan urin myoglobin.
Kadar CPK melebihi 1000-5000 U/mL atau myoglobinuria mengindikasikan adanya sindrom kompartemen.[1]
Near Infrared Spectroscopy (NIRS)
Near Infrared Spectroscopy (NIRS) adalah suatu pemeriksaan untuk mengukur kadar oksigen dalam darah pada jaringan yang terkena. Pada sindrom kompartemen, NIRS menunjukkan adanya penurunan aliran darah di kompartemen otot. Pada sindrom kompartemen kronik, pemeriksaan ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu saat istirahat dan setelah olahraga.[4,9]