Patofisiologi Dermatitis Atopik
Patofisiologi dermatitis atopik (DA) merupakan gabungan dari serangkaian interaksi rumit antara kerentanan genetik yang menyebabkan sawar epidermis menjadi tidak sempurna, kelainan sistem imun, dan respon imun yang meningkat terhadap alergen dan antigen mikroba.[1,5,8-11]
Pemahaman terkini patogenesis dermatitis atopik diperlukan sebagai dasar strategi terapi DA yang komprehensif. Tiga faktor kunci yang berperan dalam patofisiologi DA adalah disfungsi sawar kulit, abnormalitas sistem imun, dan efek pruritus.[1,5,8-11]
Disfungsi Sawar Kulit
Disfungsi dari sawar epidermis (skin barrier) merupakan faktor patogen utama terjadinya dermatitis atopik. Pada pasien DA, dapat ditemukan mutasi atau defek dari gen FLG (filaggrin gene) yang akan menyandi protein (pro)-filaggrin yang berperan penting pada sawar epidermis.
Defek genetik dari FLG akan mengganggu epidermis sehingga meningkatkan kontak sel imun di dermis dengan antigen dari lingkungan eksternal. Proses ini menyebabkan rasa gatal yang kuat sehingga pasien menggaruk yang akan menyebabkan gangguan dan inflamasi pada pembatas kulit epidermal, kondisi ini dideskripsikan sebagai itchscracth cycle.[1,5,8-11]
Kerusakan pembatas kulit menyebabkan migrasi antigen-presenting cells yang teraktivasi ke dalam kelenjar getah bening, dan migrasi sel T naif menjadi sel T helper 2 (Th2).
Peningkatan sitokin Th2 bersamaan dengan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dan Interferon Gamma (IFN-γ) menyebabkan kerusakan pembatas kulit lebih lanjut dengan cara menginduksi apoptosis keratinosit dan merusak fungsi tight junction. Selain itu, meningkatkan respon Th2 dengan cara meningkatkan ekspresi thymic stromal lymphopoietin (TSLP) dari sel epithelial.[1,5,8-11]
Abnormalitas Sistem Imun dan Efek Pruritus
Selain faktor genetik yang menyebabkan proses di atas, pada DA dapat terjadi defek respon imun bawaan (innate immunity) yang menyebabkan pasien lebih rentan terhadap infeksi virus dan bakteri.
Pada fase awal, respon sel T didominasi oleh Th2, tetapi selanjutnya terjadi pergeseran dominasi menjadi respon Th1 yang akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan kemokin proinflamasi, yaitu interleukin 4 (IL 4), IL 5, dan TNF yang merangsang produksi IgE dan respon inflamasi sistemik. Serangkaian kejadian tersebut akan menimbulkan tanda dan gejala seperti pruritus.
Patofisiologi yang melibatkan IgE ini serupa dengan patofisiologi penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis alergi.[1,5,8-11]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja