Epidemiologi Lymphedema
Data epidemiologi mengindikasikan bahwa lymphedema paling sering terjadi berkaitan dengan filariasis. Sementara itu, lymphedema primer merupakan kondisi yang jarang ditemukan.[1,2,6]
Global
Lymphedema primer merupakan kondisi yang jarang terjadi. Angka kejadian lymphedema primer dilaporkan kurang dari 1 per 100.000 anak secara global. Di sisi lain, lymphedema sekunder juga jarang terjadi pada anak-anak, tetapi bertanggung jawab atas 99% kasus lymphedema pada orang dewasa.[1.2]
Angka kejadian lymphedema sekunder diperkirakan akan semakin meningkat seiring meningkatnya insidensi kanker di dunia. Lymphedema sekunder dapat menyerang 1 dari 1000 pasien dan terdapat sekitar 24–49% pasien kanker yang mengalami lymphedema sekunder pasca prosedur terapi kanker. Kasus lymphedema sekunder terbanyak pada negara berkembang adalah lymphedema terkait keganasan, seperti kanker payudara (breast cancer-associated lymphedema).[2]
Selain kanker, penyebab lain lymphedema adalah filariasis. Pada roadmap Neglected Tropical Diseases (NTD) tahun 2021, WHO menyebutkan bahwa saat ini terdapat 1,3 miliar penduduk dunia yang memiliki risiko terkena filariasis. 60% dari jumlah tersebut terdapat di wilayah Asia Tenggara.[6]
Indonesia
Di Indonesia, penyebab terbanyak lymphedema adalah filariasis. Pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menyebutkan bahwa terdapat 9.354 kasus kronis filariasis secara nasional. Angka ini dikatakan menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Di Indonesia, provinsi dengan kasus tertinggi filariasis terdapat pada wilayah Indonesia bagian timur, yaitu Papua 3.629 kasus, Nusa Tenggara Timur 1.307 kasus, dan Papua Barat 620 kasus.[6]
Mortalitas
Mortalitas lymphedema disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya. Walau demikian, adanya lymphedema bisa menjadi prediktor tingkat mortalitas penyakit yang lebih tinggi. Saat ini, belum ada data mengenai laju mortalitas lymphedema di Indonesia.
Studi oleh Lopez et al pada tahun 2020 menyebutkan bahwa laju mortalitas lymphedema sebesar 0,03%. Meski demikian, laju mortalitas ini dapat meningkat apabila seseorang memiliki beberapa faktor risiko, seperti usia tua dan adanya penyakit komorbid.[7]
Penulisan pertama oleh: dr. Rainey Ahmad Fajri Putranta