Epidemiologi Scabies
Data epidemiologi menunjukkan scabies atau skabies lebih banyak terjadi di negara berkembang dengan iklim tropis, seperti Indonesia. Prevalensi scabies di seluruh dunia berkisar antara 0,2% hingga 71%, dimana prevalensi lebih tinggi berkaitan dengan kemiskinan, status gizi buruk, tunawisma, dan higienitas yang tidak memadai.[1-3]
Pada negara-negara industri, epidemi scabies terjadi secara primer pada institusi seperti penjara, dan pada fasilitas perawatan jangka panjang termasuk rumah sakit, panti jompo, atau rumah singgah.[3]
Global
Scabies ditemukan secara global di seluruh dunia. Angka prevalensi scabies di negara berkembang lebih tinggi dari negara industri. Scabies lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. Prevalensi scabies cenderung tinggi di negara-negara Afrika, Amerika Setan, Australia, dan Asia Tenggara.[1,2]
Prevalensi scabies yang lebih tinggi berkaitan dengan kemiskinan, status gizi buruk, gelandangan, dan higienitas yang tidak adekuat. Kasus scabies di area tersebut juga berhubungan dengan meningkatnya morbiditas akibat komplikasi dan infeksi sekunder seperti abses dan limfadenopati.[2]
Data WHO menunjukkan bahwa prevalensi scabies pada anak berkisar antara 5-10% pada negara-negara miskin area tropikal. Dalam sebuah studi retrospektif yang melibatkan 30.078 anak di India, scabies merupakan penyakit kulit yang paling umum kedua pada seluruh kelompok usia, dan paling umum ketiga pada infant.[1]
Indonesia
Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan prevalensi scabies sekitar 8,5-9%. Scabies menduduki urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit yang sering terjadi di Indonesia. Dalam sebuah studi kasus kontrol dengan total 62 sampel di Puskesmas Lubuk Buaya Kota Padang, kebersihan personal dan kepadatan hunian merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya scabies.[10]
Mortalitas
Scabies tidak secara langsung menyebabkan mortalitas. Penyakit ini juga jarang menyebabkan komplikasi. Meski demikian, rasa gatal yang parah dapat menyebabkan garukan terus-menerus yang akan meningkatkan risiko infeksi sekunder. Infeksi ini termasuk sepsis yang terkadang mengancam jiwa.[1,2]
Penulisan pertama oleh: dr. Afiffa Mardhotillah