Pendahuluan Gagal Napas
Gagal napas atau respiratory failure didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mempertahankan pengiriman oksigen (oxygen delivery) yang adekuat ke jaringan ataupun pembuangan karbon dioksida (CO₂) secara normal dari jaringan. Berdasarkan perspektif fisiologis, gagal napas dapat disebabkan oleh disfungsi paru difus, depresi medula oblongata, disfungsi jantung, atau kekurangan hemoglobin.[1-3]
Secara klinis, gagal napas terlihat sebagai hipoksemia arteri yang menyebabkan hipoksia jaringan atau hiperkapnia arteri. Gagal napas dapat terjadi apabila PO₂ arterial (PaO) <60 mmHg, atau PCO₂ arterial (PaCO₂) >45 mmHg, kecuali jika peningkatan PCO₂ merupakan kompensasi dari alkalosis metabolik.[3,4]
Diagnosis gagal napas dapat dilakukan secara bertahap dimulai dengan evaluasi riwayat klinis dan faktor risiko melalui anamnesis, pemeriksaan fisik untuk mencari tanda klinis dari penyakit yang mendasari (underlying disease), pemeriksaan laboratorium, dan pencitraan. Pasien gagal napas umumnya memiliki gambaran klinis dyspnea, terutama jika underlying disease adalah penyakit paru.[1-5]
Pemeriksaan laboratorium yang menjadi baku emas untuk diagnosis gagal napas adalah pemeriksaan gas darah arteri. Pemeriksaan pencitraan seperti rontgen toraks juga dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis dan menunjukkan penyebab gagal napas.[1-3]
Penatalaksanaan gagal napas disesuaikan dengan klinis fungsional pasien dan tipe gagal napas. Pasien gagal napas yang mengalami hiperkapnia diberikan tata laksana supportif untuk meningkatkan ventilasi alveolar dengan membuka jalan napas (airway). Sementara itu, untuk pasien gagal napas yang mengalami hipoksemia, pemberian suplementasi oksigen merupakan tata laksana utama.[1,3]
Prognosis gagal napas bergantung pada penyakit yang mendasari, usia, adanya komplikasi dan penatalaksanaannya. Pasien gagal napas dengan usia <60 tahun tanpa komplikasi memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien gagal napas usia lanjut dengan komplikasi.[2-4]
Klasifikasi Gagal Napas
Gagal napas dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme patofisiologi dan kronisitas. Tabel di bawah ini mendeskripsikan klasifikasi dari gagal napas.[5,6]
Tabel 1. Klasifikasi Gagal Napas
Klasifikasi Gagal Napas Berdasarkan Mekanisme Patofisiologi | |
Gagal napas tipe I: Gagal napas hipoksemia | Pada gagal napas tipe I pasien mengalami hipoksemia dengan nilai PO₂ arterial yang rendah, tetapi PaCO₂ normal atau rendah |
Gagal napas tipe I dapat menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru seperti pneumonia, emboli paru, asma, dan sindrom distress pernapasan akut | |
Gagal napas tipe II: Gagal napas hiperkapnia | Pasien mengalami hiperkapnia dengan kadar PCO₂ arterial (PaCO₂) yang abnormal tinggi dan PaO₂ arterial menurun |
Pasien dengan gagal napas tipe II dapat mengalami hiperkapnia dan hipoksemia secara bersamaan | |
Pasien dengan asma derajat berat, fibrosis paru stadium akhir, dan sindrom distress pernapasan akut derajat berat dapat mengalami gagal napas tipe II | |
Klasifikasi Gagal Napas Berdasarkan Kronisitasnya | |
Gagal napas akut / Acute Respiratory Failure | Ketidakmampuan sistem respirasi untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi, ventilasi, atau metabolik pasien secara akut |
Gagal napas kronis / Chronic Respiratory Failure | Suatu kondisi yang terjadi ketika paru tidak dapat mendistribusikan cukup oksigen ke dalam darah atau mengeluarkan cukup karbon dioksida dari tubuh dalam periode yang berkepanjangan |
Acute-on-chronic respiratory failure | Terjadi ketika terdapat gangguan yang relatif kecil dan multipel pada sistem respirasi ataupun non-respirasi, yang menyebabkan perburukan akut pada pasien dengan insufisiensi pernapasan kronis |
Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2023.[1,3,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Edwin Wijaya