Diagnosis Syok Kardiogenik
Karakteristik gejala yang dapat membantu diagnosis pada syok kardiogenik adalah hipotensi refrakter dengan fluid challenge dan tanda hipoperfusi, seperti akral dingin dan oliguria. Hal ini terjadi karena penurunan fungsi dan struktur jantung yang tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik. Keadaan fungsional jantung yang terganggu dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan echocardiography, lalu ditegakkan dengan kateterisasi jantung.
Anamnesis
Pada kasus syok kardiogenik, terdapat gejala dan tanda klasik sindrom koroner akut (SKA), seperti nyeri dada, nyeri yang menjalar ke bahu dan lengan kiri, keringat dingin, mual dan muntah yang sifatnya akut. Selain itu, dapat ditemukan adanya gangguan status mental, aritmia, nadi lemah, dyspnea dengan atau tanpa diinduksi aktivitas fisik, dan ortopnea.[2]
Keluhan di atas merupakan keluhan tipikal angina. Pada keadaan tertentu, pasien dapat memiliki keluhan yang atipikal, yaitu gangguan pencernaan, sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau keluhan rasa lemah mendadak yang sulit dijelaskan. Keluhan ini biasanya dijumpai pada usia 25 sampai 40 tahun atau lebih dari 75 tahun, wanita, pasien diabetes mellitus, penyakit ginjal kronis, atau pasien dementia.[39]
Keadaan ini sering ditemukan pada infark ventrikel kiri lebih dari 40%, dan dapat terjadi pada kondisi infark miokard akut superimposed dengan infark miokard lama atau dengan infark miokard baru yang luas.[2]
Syok kardiogenik merupakan kegawatdaruratan yang membutuhkan penilaian klinis menyeluruh tentang penyebab dan tujuan terapi sesuai etiologi, sehingga riwayat penyakit pasien juga harus ditanyakan. Riwayat penyakit terdahulu dapat meliputi penyakit kronis, penyakit jantung sebelumnya, riwayat serangan jantung, dan operasi sebelumnya, seperti operasi PCI. Selain itu, riwayat alergi dan penggunaan obat-obatan sebelumnya juga harus ditanyakan.[30]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pasien syok kardiogenik tentunya mengalami hipotensi, takikardi, dan takipnea. Hipotensi pada syok kardiogenik sifatnya refrakter dengan pemberian cairan, tekanan darah sistolik kurang dari 80 sampai 90 mmHg atau mean arterial pressure kurang dari 30 mmHg dari baseline). Pada pasien dengan infark ventrikel kiri, edema perifer dan distensi vena jugular juga dapat ditemukan.[2,31]
Cold, Wet, Dry and Cold
Pada pasien dengan syok kardiogenik, manifestasi klinisnya dapat dinilai dengan melihat tanda kongesti paru dan hipoperfusi perifer. Istilah “wet” didapatkan bila ada kongesti, bila tidak ada, maka “dry”. Adanya hipoperfusi perifer menyebabkan akral menjadi dingin, inilah yang disebut dengan “cold”, dan bila tidak ada hipoperfusi perifer, maka dapat disebut “warm”.[32]
Klinis pasien dibedakan menjadi “cold and wet”, “wet and warm”, dan “dry and cold”.
Cold and Wet:
Pasien dengan syok kardiogenik tipe “cold and wet”, yang digambarkan dengan perabaan extremitas dingin dan tanda tanda edema paru, seperti ronki basah terutama di basal paru. Keadaan ini terjadi karena penurunan cardiac index (CI), peningkatan resistensi vaskular sistemik, dan peningkatan tekanan baji kapiler paru (pulmonary capillary wedge pressure/PCWP). Hal ini terjadi pada 60-70% pasien dengan syok kardiogenik yang disebabkan karena infark miokard.[30]
Dry and Cold:
Pasien juga dapat datang dengan kondisi euvolemia atau “dry and cold”, yang mengindikasikan adanya infark miokard sebelumnya atau gagal jantung kronis dan penyakit ginjal kronis. Pada “dry and cold” terjadi karena penurunan cardiac index (CI), peningkatan resistensi vaskular sistemik, namun PCWP menurun. Pada pasien dengan gagal jantung kronik yang datang kembali dengan gejala dekompensasi jantung subakut.[2]
Pada keadaan ini, karena pasien memiliki riwayat gagal jantung kronik, maka biasanya sudah terdapat tanda dan gejala akibat retensi cairan dan overload, seperti peningkatan berat badan, dispnea akibat aktivitas, ortopnea, dan edema ekstremitas.[2]
Wet and Warm:
Gambaran klinis syok kardiogenik tipe “wet and warm” dapat terjadi pada systemic inflammatory response syndrome (SIRS) pada sepsis yang disertai sindrom koroner akut. Pada pasien dengan sepsis, dapat ditemukan adanya demam.[2,32]
Pada tipe “wet and warm” terjadi penurunan Cardiac Index (CI), resistensi vaskular sistemik rendah hingga normal (sehingga menjadi warm), dan peningkatan Pulmonary Capillary Wedge Pressure (PCWP). Diagnosis SIRS perlu dicurigai jika terdapat peningkatan sel darah putih dan resistensi vaskular sistemik rendah.[2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding syok kardiogenik adalah bentuk syok lain seperti hipovolemik, distributif, dan obstruktif. Akan tetapi, bentuk syok ini juga dapat timbul bersamaan dengan syok kardiogenik. Syok kardiogenik dapat dibedakan dengan bentuk syok lainnya dengan menemukan kelainan fungsi dan struktur miokardium dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan echocardiography.[2]
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik terjadi karena kehilangan cairan tubuh (misalnya akibat pendarahan) yang menyebabkan kehilangan volume intravaskular atau redistribusi cairan tubuh. Hal ini menyebabkan penurunan preload jantung sehingga cardiac output (CO) turun dan menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai organ termasuk end organ.[14,33]
Pada syok hipovolemik, terdapat tanda-tanda gangguan hemodinamik, seperti hipotensi dan takikardi. Keadaan ini juga dapat ditemukan pada syok kardiogenik. Akan tetapi, yang membedakan dengan syok kardiogenik adalah ditemukannya riwayat seperti pendarahan, diare, muntah, atau keadaan lainnya yang menyebabkan kehilangan cairan intravaskular. Keadaan ini juga respon dengan fluid challenge test.[33]
Selain itu, dari echocardiography ditemukan kontraktilitas jantung normal atau hypercontractility, penurunan CO, ruang ventrikel dapat mengecil (dapat sampai kissing ventricle) karena penurunan volume yang mendesak ventrikel (stressed volume). Selain itu, karena penurunan volume cairan tubuh, diameter vena cava superior dan inferior dapat mengecil.[33]
Syok Distributif
Syok distributif adalah sebuah kondisi hipovolemia relatif akibat gangguan tonus pembuluh darah yang menyebabkan vasodilatasi sistemik. Syok distributif dibagi menjadi 3 subtipe, yaitu syok sepsis, anafilaksis, dan syok neurogenik.[14]
Pasien dapat datang dengan gangguan kesadaran, laju nafas ≥ 22 kali/menit, tekanan darah sistolik ≤90 mmHg, dan jika terdapat kecurigaan infeksi, syok sepsis patut dicurigai. Karakteristik syok neurogenik adalah penurunan tekanan darah sistolik dan denyut jantung kurang dari 60/menit dengan gangguan kesadaran. Syok neurogenik juga dapat terjadi pada pasien dengan cedera spinal serta kehilangan refleks spinal.[14]
Pada pemeriksaan echocardiography, terdapat karakteristik peningkatan CO. Karakteristik ini tidak dimiliki oleh syok kardiogenik pada pemeriksaan echocardiography. Pada syok distributif juga dapat ditemukan penurunan systemic vascular resistance (SVR) karena gangguan fungsi endotel yang menyebabkan pasien menjadi vasoplegia. Temuan inilah yang paling membedakan antara syok distributif dan syok kardiogenik.[33]
Syok Obstruktif
Syok obstruktif terjadi karena kompresi jantung yang menyebabkan penyempitan ruang jantung atau peningkatan afterload. Penyempitan ruang jantung disebabkan karena tekanan ke jantung dari sekitar jantung seperti pada cardiac tamponade dan pneumothorax. Sedangkan, peningkatan afterload terjadi karena obstruksi pembuluh darah, seperti emboli paru.[14]
Pada keadaan cardiac tamponade ditemukan tanda efusi perikardium dari klinis, yaitu hipotensi, takikardia, pulsus paradoxus, JVP meningkat, dan pericardial rub bila terdapat perikarditis. Gangguan hemodinamik disebabkan karena kolaps atrium kanan saat sistolik disertai kolaps ventrikel kanan saat diastolik dan dilatasi vena cava superior dan inferior. Pada pemeriksaan echocardiography ditemukan penurunan left ventricular outflow velocity time integral (LVOT VTI) dengan penurunan CO, disertai efusi perikardium.[14,33,34]
Pada pneumothorax, biasanya didapatkan hipotensi, takikardi dan desaturasi mendadak, lalu pada auskultasi didapatkan perbedaan bunyi napas di lapang paru kiri dan kanan. Biasanya terdapat riwayat trauma tembus, atau pada pneumothorax spontan bisa terjadi pada barotrauma pada pasien on venti, pecahnya bula karena infeksi paru seperti tuberkulosis, ataupun pada pasien laki-laki yang tinggi dan kurus. Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan pleural line tanpa lung marking, serta tidak didapatkan lung sliding pada USG paru.[35,36]
Sedangkan untuk emboli paru, pasien juga dapat datang dengan hipotensi dan desaturasi, namun biasanya pasien akan tampak sangat sesak dan memiliki faktor risiko sebelumnya, seperti tromboemboli pada DVT dan varises serta kehamilan. Diagnosis didukung dengan skor Wells dan Geneva, serta gambaran EKG sinus takikardia dengan McGinn-White Sign atau “S1Q3T3”. Gambaran echocardiography dapat ditemukan emboli pada arteri pulmonalis.[14,37]
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan penunjang awal pada pasien syok kardiogenik, kemudian ditegakkan dengan echocardiography. Kateterisasi jantung merupakan diagnosis definitif sekaligus tatalaksana intervensi pada syok kardiogenik akibat infark miokard akut. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk penilaian fungsi organ terutama end organ dan evaluasi etiologi syok kardiogenik.[2,5]
Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) pada syok kardiogenik maksimal sudah harus dilakukan dalam 10 menit dari kedatangan. Pemeriksaan EKG dapat mengidentifikasi tiga kelompok Sindrom Koroner Akut (SKA), yaitu elevasi segmen ST (ST-elevation myocardial infarction/STEMI), depresi segmen ST, dan non-deviasi segmen ST.[2,15]
Elevasi Segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction/STEMI):
Kriteria EKG pada STEMI adalah elevasi segmen ST pada J point baru pada dua lead berdampingan lebih dari 0,1 mV pada semua lead kecuali lead V2 atau V3. Sedangkan pada lead V2-V3, elevasi segmen ST lebih dari 0,2 mV pada laki-laki di atas usia 40 tahun dan 0,25 mV pada laki-laki di bawah usia 40 tahun, atau lebih dari 0,15 mV pada perempuan.[2,15]
Gambaran gelombang Q patologis pada EKG didefinisikan berdasarkan modified Minnesota criteria, yaitu durasi gelombang Q ≥40 ms dan amplitudo ≥25% dari gelombang R di lead yang sama pada setidaknya 2 lead bersebelahan. [16]
Ditemukannya gelombang Q patologis pada EKG sebelum reperfusi atau gelombang Q awal sering ditemukan pada STEMI dan menggambarkan infark transmural atau melibatkan seluruh ketebalan dinding jantung dari perikardium sampai endokardium atau cedera miokardium ekstensif. Selain itu, gambaran ini menunjukkan rendahnya fraksi ejeksi (ejection fraction/EF) dan infark miokard yang luas.[2,16]
Gelombang Q patologis dapat ditemukan pasca reperfusi, namun beberapa mengalami resolusi gelombang Q. Adanya gelombang Q patologis setelah reperfusi menandakan adanya kerusakan miokardium dan infark yang luas, sehingga kardiomiosit yang nekrosis juga lebih luas. Maka dari itu, keadaan ini merupakan faktor prognostik yang buruk pada pasien STEMI.[16,17,38]
Depresi Segmen ST dan Non-Deviasi Segmen ST:
Pada kasus Depresi Segmen ST dan Non-Deviasi Segmen ST atau Non-ST-Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), pemeriksaan EKG dapat menunjukkan depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Gambaran EKG ini didukung dengan peningkatan biomarker jantung yang akan dijelaskan pada pemeriksaan laboratorium.[39]
Ringkasan perbedaan temuan EKG pada pasien STEMI dan NSTEMI dapat diringkas dengan tabel 1 berikut. Temuan ini tidak selalu ditemukan bersamaan, sehingga klinisi harus dapat mengidentifikasi temuan patologis yang mengarah pada SKA pada EKG.
Tabel 1. Perbedaan Temuan EKG pada STEMI dan NSTEMI
Elevasi Segmen ST (STEMI) | Non-ST-Elevation Myocardial Infarction |
Elevasi segmen ST pada J point baru pada dua lead berdampingan
dan/ atau Gambaran gelombang Q patologis | Depresi segmen ST
atau
Inversi gelombang T/gelombang T yang datar/gelombang T pseudonormalization
atau
Tidak ditemukan perubahan pada EKG |
Sumber: dr. Felicia Sutarli. Alomedika, 2022[16,17,38,39]
Rekomendasi Tambahan Sadapan:
Apabila pada EKG 12 lead ditemukan adanya gambaran iskemik pada bagian inferior, pemeriksaan EKG dapat dilanjutkan dengan tambahan sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9. Pemeriksaan EKG untuk sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal yang tidak menunjukkan kelainan.[39]
Pada pemeriksaan EKG dengan sadapan V3R dan V4R nilai ambang elevasi segmen ST adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambangnya adalah ≥0,1 mV. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV.[39]
Gambaran EKG tanpa Kelainan:
Apabila pada pemeriksaan EKG saat awal pasien datang tidak menunjukkan kelainan, namun pasien mengeluh gejala yang berkaitan dengan SKA, maka pemeriksaan EKG dapat diulang 10-20 menit kemudian. Apabila setelah dilakukan EKG ulang tetap tidak menunjukkan kelainan dan pasien masih mengeluh gejala SKA, maka pasien dapat diobservasi selama 12 sampai 24 jam. Selama observasi, pasien dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap dialami gejala SKA berulang.[39]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada syok kardiogenik meliputi biomarker jantung, oksigenasi, status elektrolit, dan panel metabolik. Pemeriksaan biomarker jantung, seperti troponin dan N‐terminal pro‐B‐type natriuretic peptide (NT‐proBNP), dilakukan untuk mencari penyebab syok kardiogenik yang berasal dari kardiak. Pemeriksaan darah lengkap dan panel metabolik perlu dilakukan setiap 12 sampai 24 jam untuk mengevaluasi oksigenasi, status elektrolit, dan kerusakan end-organ.[2]
Biomarker Jantung:
Pemeriksaan biomarker jantung yang disarankan oleh PERKI untuk identifikasi infark miokard akut adalah Troponin I/T atau kreatinin kinase-MB (CK-MB). Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya nekrosis pada sel jantung. Troponin I/T memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi daripada CK-MB, sedangkan troponin I lebih spesifik daripada troponin T.[39]
Walaupun sensitif dan spesifik, troponin I/T juga dapat meningkat pada takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis atau perikarditis. Selain itu, dapat pula ditemukan pada keadaan nonkardiak, seperti sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologis akut, emboli paru, hipertensi pulmonal, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.[39]
Kadar CK-MB dan troponin I/T dapat normal dalam 4-6 jam setelah onset SKA. Pada keadaan ini, disarankan dilakukan pemeriksaan ulang dalam 8-12 jam setelah onset gejala. Jika onset SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama.[39]
Kadar CK-MB juga dapat meningkat pada kerusakan otot skeletal, maka dari itu spesifisitasnya lebih rendah dari troponin. Selain itu, CK-MB memiliki waktu paruh yang singkat, yaitu 48 jam, sehingga sebaiknya dilakukan untuk mendiagnosis infark berulang dan infark periprosedural.[39]
Pada kasus syok kardiogenik, seperti pada STEMI, tidak direkomendasikan untuk menunggu peningkatan dari biomarker jantung sebelum kateterisasi segera. Pemeriksaan ini tidak tersedia di semua tempat di Indonesia, sehingga sebaiknya biomarker jantung hanya dilakukan untuk membantu mengidentifikasi etiologi syok kardiogenik.[2,39]
N-terminal pro-B-type natriuretic peptide (NT-proBNP) akan meningkat saat terjadi stretching atau stress pada dinding miokardium pada keadaan gagal jantung. Pada syok kardiogenik akibat SKA, peningkatan kadar NT-pro BNP berhubungan peningkatan mortalitas.[2,39]
Oksigenisasi:
Pemantauan saturasi oksigen kontinu dengan pulse oximetry perlu dilakukan untuk memantau oksigenasi dan perfusi perifer. Target oksigen bervariasi bergantung pada komorbiditas pasien, namun pada kondisi akut, diharapkan target saturasi oksigen >90%.[2]
Selain itu, pemeriksaan analisa gas darah juga perlu dilakukan. Pemeriksaan ini selain melihat oksigenasi, dapat pula melihat adanya asidosis metabolik, yang ditandai dengan penurunan bikarbonat dan peningkatan kadar laktat dalam serum, untuk pemeriksaan laktat tidak termasuk dalam pemeriksaan analisa gas darah. Kadar laktat yang mendukung asidosis metabolik adalah >2.0 mmol/L.[31]
Status Elektrolit:
Perubahan neuroendokrin pada pasien STEMI akut menyebabkan pelepasan katekolamin dan hormon lainnya, meningkatkan permeabilitas membran sel, dan mempercepat sekresi natrium, kalium, dan klorida. Keadaan iskemia dan hipoksia dapat menghambat aktivitas pompa ion pada membran sel, sehingga terjadi penurunan dari kadar sodium, potassium, dan klorida dalam darah.[18]
Selain itu, gangguan elektrolit juga dapat menyebabkan syok kardiogenik, sehingga pemeriksaan elektrolit juga dilakukan untuk mengidentifikasi hal ini. Apabila ditemukan adanya gangguan elektrolit yang menyebabkan syok kardiogenik, maka koreksi elektrolit diperlukan.[9]
Kerusakan End-organ:
Gagal ginjal akut terjadi pada 13-28% pasien dengan syok kardiogenik, dan sebanyak 20% memerlukan renal replacement therapy kontinu. Renal replacement therapy kontinu perlu dipertimbangkan pada:
- Gagal ginjal stadium 2 yang ditandai dengan peningkatan serum kreatinin dan urine output kurang dari 0.5 mL/kg per jam selama ≥12 jam
- Gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa yang mengancam nyawa[2]
Adanya acute cardiogenic liver injury dan congestive hepatopathy pada syok kardiogenik ditandai dengan peningkatan aspartate aminotransferase (AST/SGPT), alanine aminotransferase (ALT/SGOT), bilirubin, dan kadar lactate dehydrogenase (LDH) pada serum.
Keadaan ini menunjukkan gangguan fungsi hepar dan seringkali disertai dengan peningkatan prothrombin time (PT) dengan puncak pada 24 hingga 72 jam. Kemudian biasanya kembali menurun setelah recovery ke angka baseline dalam 5 sampai 10 hari dan rasio ALT terhadap LDH kurang dari 1,5.[19]
Pencitraan
Pencitraan pada syok kardiogenik meliputi echocardiography dan foto thoraks, dimana echocardiography dapat menegakkan diagnosis syok kardiogenik secara non invasif.
Echocardiography:
Pada syok kardiogenik, karena terdapat pump failure, maka seringkali temuan ekokardiografi menggambarkan gangguan kontraktilitas yang berat, disfungsi katup, atau shunt. Hal ini digambarkan dengan penurunan cardiac output dan peningkatan filling pressure yang menyebabkan dilatasi ruang ventrikel.[20,33]
Dilatasi ruang ventrikel ini dapat tidak ditemukan apabila penurunan fungsi ventrikel terjadi secara mendadak dan menyebabkan syok kardiogenik, misalnya pada infark miokard akut atau aritmia berat. Selain itu, dapat pula ditemukan pula hipodinamik dan hipokinetik pada ventrikel kiri, disertai gerakan yang inadekuat pada anterior leaflet dari katup mitral saat sistol dan diastol.[20,33]
Echocardiography dapat menilai cardiac index (CI) yang merupakan kriteria penting dalam menentukan syok kardiogenik. Nilai CI <2,2, L/menit/m2 dan peningkatan PCWP >18 mmHg merupakan kriteria syok kardiogenik menurut PERKI. Nilai PCWP saat melakukan kateterisasi ke atrium dan ventrikel kanan, kemudian ke arteri pulmonalis dan cabangnya. Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik intravena dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg.[39]
Ekokardiografi dapat membantu untuk membedakan etiologi syok kardiogenik. Fungsi sistolik ventrikel kanan dan kiri yang normal, ukuran ruang jantung normal, tidak adanya kelainan katup yang signifikan, dan tidak ditemukannya efusi perikardial dapat mengeliminasi penyebab syok akibat jantung [21]
Rontgen Toraks:
Rontgen toraks atau foto polos dada memberikan informasi pada ukuran jantung dan edema paru serta dapat menilai adanya penyebab lain seperti diseksi aorta, efusi perikardium, pneumotoraks, perforasi esofagus, atau emboli paru. Selain itu, juga dapat mengonfirmasi posisi pipa endotrakeal apabila dilakukan intubasi pada pasien dan posisi alat penunjang, seperti temporary pacing wires dan alat bantu sirkulasi mekanik.[19]
Penulisan pertama oleh: dr. Yenna Tasia