Penatalaksanaan Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan kegawatdaruratan yang mengancam nyawa, sehingga penatalaksanaan awalnya adalah stabilisasi hemodinamik dan terapi etiologinya, seperti sindrom koroner akut (SKA). Pasien sebaiknya dirujuk ke Rumah Sakit tersier untuk tindakan spesialistik, seperti kateterisasi untuk reperfusi, perawatan intensif, dan bantuan sirkulasi mekanik.[3]
Persiapan Rujukan
Persiapan rujukan dari fasilitas kesehatan primer untuk syok kardiogenik dilakukan dengan pertama-tama melakukan stabilisasi hemodinamik agar pasien transportable. Bila tidak transportable maka tidak disarankan untuk dilakukan rujuk, terutama apabila perjalanan ke fasilitas kesehatan tersier sangat jauh dan lama.[22]
Rujukan harus dilakukan secepatnya, terutama pada pasien dengan syok kardiogenik akibat infark miokard akut (IMA) sebelum window period berakhir. Tujuannya adalah untuk terapi definitif, seperti tindakan percutaneous coronary intervention (PCI) primer untuk pasien STEMI.[22]
Semua pasien dengan syok kardiogenik perlu dievaluasi menggunakan EKG, rontgen toraks, dan echocardiography komprehensif dengan tujuan mencari penyebab untuk ketidakstabilan hemodinamik ini. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin, elektrolit, kreatinin, fungsi hepar, analisa gas darah, laktat, dan kadar troponin jantung serial.[19]
Strategi Stabilisasi dan Resusitasi
Stabilisasi pada syok kardiogenik dilakukan untuk penatalaksanaan hipotensi dan hipoperfusi akibat gangguan pompa jantung untuk mempertahankan fungsi organ vital.[44]
Hipovolemia dapat terjadi karena penggunaan diuretik atau muntah, maka boleh diberikan cairan isotonik, seperti cairan salin, 250 ml sebelum dilakukan kateterisasi jantung. Akan tetapi, sebelum pemberian, pastikan tidak ada overload cairan, seperti edema paru dan tidak adanya tanda gangguan pernapasan pada pasien.[5,44]
Apabila ditemukan adanya tanda overload cairan dan edema paru kardiogenik tanpa hipotensi, maka pasien dapat diberikan diuretik, seperti furosemide; morfin; suplementasi oksigen; dan vasodilator, seperti nitrogliserin dan nitroprusside. Jangan memberikan beta blocker, seperti bisoprolol, pada pasien pre shock atau syok kardiogenik karena merupakan agen yang sifatnya inotropik negatif.[5,44,45]
Target oksigen bervariasi tergantung klinis pasien, namun pada kondisi akut, target saturasi oksigen >90% sudah cukup. Indikasi intubasi dan bantuan invasif lainnya, seperti trakeostomi, untuk mempertahankan patensi jalan napas antara lain:
- Gagal napas
- Apnea
Penurunan kesadaran dengan GCS kurang dari sama dengan 8
- Cedera jalan napas atau impending respiratory failure
- Obstruksi jalan napas total maupun parsial yang tidak respon dengan bantuan napas non invasif
- Trauma laring
- Pasien dengan risiko tinggi aspirasi[5,46]
Renal replacement therapy berkelanjutan juga perlu dipertimbangkan pada penyakit ginjal kronis stage 2 atau jika terdapat gangguan pada cairan, elektrolit, keseimbangan asam basa berat yang memerlukan dialisis.[5]
Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada syok kardiogenik intinya adalah mempertahankan fungsi jantung dan vaskularisasinya, misalnya dengan pemberian fibrinolitik, mempertahankan euvolemia, vasopresor atau vasodilator, dan inotropik. Beta blocker, seperti bisoprolol, tidak diberikan pada syok kardiogenik karena inotropik negatif.[5,44]
Inotropik dan vasopresor diindikasikan untuk keadaan gangguan hemodinamik yang disertai penurunan CO, walaupun hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Meskipun manfaatnya meningkatkan kontraktilitas miokardium, efek samping dari terapi inotropik, seperti aritmia dan peningkatan konsumsi oksigen miokardium, dapat berhubungan dengan peningkatan mortalitas.[4,5]
Inotropik
Agen inotropik, seperti dobutamin, dopamin, dan milrinone, meningkatkan kontraktilitas jantung, sehingga diperlukan untuk pasien dengan curah jantung rendah, hipotensi, dan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Akan tetapi, inotropik harus digunakan dengan hati-hati dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi bertahap bila secara klinis diperlukan.[4]
Inotropik ini digunakan untuk syok kardiogenik pada tekanan darah kurang dari 80 mmHg. Inotropik diindikasikan pada pasien dengan tanda hipoperfusi jaringan walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan. Inotropik meningkatkan kontraktilitas jantung dengan meningkatkan influks kalsium (Ca2+) ke dalam miosit. Hal inilah yang menyebabkan inotropik memiliki efek samping aritmia.[4,47,48]
Vasopressor
Agen vasopressor yang disarankan digunakan pada syok kardiogenik antara lain norepinefrin dan epinefrin. Vasopressor meningkatkan influks kalsium intrasel pada miosit pembuluh darah, sehingga menyebabkan vasokonstriksi. Vasokonstriksi meningkatkan resistensi vaskular dan mean arterial pressure (MAP).[48]
Norepinefrin (NE) lebih banyak digunakan untuk vasopressor pada kasus syok kardiogenik karena efek beta adrenergiknya lemah, sehingga tidak terlalu mempengaruhi heart rate. Selain itu, NE juga selektif beta 1 adrenergik, sehingga meningkatkan CI tanpa meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Penggunaan norepinefrin juga disarankan dari dosis kecil 0.01 sampai 0.3μg/kg/menit lalu dititrasi bertahap tergantung klinis sampai 1μg/kg/menit.[4,5,48]
Epinefrin juga dapat digunakan sebagai pilihan kedua, karena memiliki efek vasopresor dan inotropik karena bekerja pada reseptor α dan β adrenergik, namun lebih kuat pada β adrenergik. Akan tetapi, efeknya bervariasi, dimana pada dosis rendah dapat meningkatkan CO karena efek inotropik dan kronotropik. Selain itu, epinefrin juga memiliki reseptor di α1 untuk vasokonstriksi dan β2 untuk vasodilatasi, sehingga dapat meningkatkan atau menurunkan MAP dan SVR. Penggunaannya dimulai dari dosis kecil, yaitu 0.01 sampai 0.3ug/kg/menit kemudian titrasi bertahap sesuai klinis.[48]
Di bawah ini adalah panduan dosis penggunaan inotropik dan vasopressor pada klinis sehari-hari.
Tabel 2. Penggunaan Inotropik dan Vasopressor
Obat | Dosis |
Dobutamine | 2-20 mcg/kg/menit |
Dopamine | 3-5 mcg/kg/menit (inotropik) >5 mcg/kg/menit (inotropik, vasopresor) |
Milrinone | 0,375-0,75 mcg/kg/menit |
Enoximone | 5-20 mcg/kg/menit |
Levosimendan | 0,1 mcg/kg/menit |
Norepinefrin | 0,2-1,0 mcg/kg/menit |
Epinefrin | 0,05-0,5 mcg/kg/menit |
Sumber: dr. Mia Amelia Mutiara Salikim. Alomedika, 2022.[4]
Antitrombotik
Antitrombotik diberikan pada syok kardiogenik, terutama yang disebabkan oleh infark miokard akut (IMA). Antikoagulan yang disarankan PERKI adalah antiplatelet, seperti aspirin dengan dosis 160-320 mg dan penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate), seperti ticagrelor dengan dosis awal 180 mg atau clopidogrel dengan dosis awal 300 mg.[39]
Aspirin yang disarankan adalah aspirin tidak bersalut, karena absorpsi sublingual yang lebih cepat. Pada pasien yang direncanakan reperfusi dengan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan oleh PERKI adalah clopidogrel.[39]
Antitrombotik juga disarankan pada semua pasien syok kardiogenik tanpa komplikasi perdarahan serius. Pasien ini disarankan untuk mendapat terapi dual antiplatelet setelah PCI.[19]
Pembedahan
Pembedahan pada syok kardiogenik dilakukan terutama pada keadaan infark miokard akut dengan tujuan reperfusi. Teknik kateterisasi dan revaskularisasi dilakukan pada fasilitas tersier, karena merupakan tindakan spesialistik.
Revaskularisasi
Revaskularisasi dengan reperfusi koroner direkomendasikan dilakukan secepat mungkin dari onset. Fibrinolitik diberikan sambil menunggu revaskularisasi dengan jarak “door-to-needle” diusahakan dalam 30 menit untuk terapi fibrinolitik dan waktu “door-to-balloon” dalam 90 menit untuk primary PCI.[2,5,41-43]
Panduan AHA dan ESC merekomendasikan revaskularisasi segera, baik dengan kateterisasi jantung atau percutaneous coronary intervention (PCI) maupun coronary artery bypass graft (CABG). Akan tetapi, mengingat keterbatasan mengakses pelayanan kesehatan tersier, teknik revaskularisasi yang banyak dilakukan di Indonesia adalah terapi fibrinolitik.[2,5]
Selain itu, panduan terbaru mengatakan, adanya left bundle branch block (LBBB) bukan lagi merupakan indikasi kateterisasi segera.[2,5]
Intra-Aortic Balloon Pump (IABP)
Intra-aortic balloon pump (IABP) bertujuan untuk membantu kerja jantung dengan cara mengurangi afterload secara tidak langsung dan memperbaiki tekanan diastolik pada aorta, sehingga meningkatkan aliran darah diastolik dan memperbaiki perfusi organ perifer dan pembuluh darah koroner. Kemudian, hal ini akan menyebabkan peningkatan CI dan mengurangi kebutuhan oksigen miokardium.[5,12,49]
Bantuan Sirkulasi Mekanik
Alat bantu sirkulasi mekanik (Mechanical Circulatory Support/MCS) dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerja, bagian yang menarik darah dari tubuh, bagian darah kembali, dan apakah dapat memberikan pertukaran oksigen dan karbondioksida.[5,12]
Alat-alat yang diperlukan pada MCS antara lain aortic counterpulsation pumps, transvalvular percutaneous LV assist devices (pLVADs), dekompresi atrium kiri perkutan, dan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Terlepas dari efek pada tekanan darah dan curah jantung, perbedaan bentuk MCS menghasilkan efek yang berbeda pada jantung dan paru.[5,12]
Penggunaan MCS dapat memperbaiki CO, PCWP, yang memperbaiki left ventricle end-diastolic pressure (LVEDP) dan kebutuhan oksigen miokardium (MVO2).[5,12]
Terapi Suportif
Terapi suportif pada syok kardiogenik meliputi tirah baring, suplementasi oksigen dengan target saturasi >90%, terapi cairan bila diperlukan untuk mempertahankan euvolemia, dan support end-organ. Continuous renal replacement therapy (CRRT) merupakan salah satu bentuk terapi untuk men-support end organ yang diindikasikan pada gagal ginjal akut yang disebabkan karena gagal jantung, overload cairan, hiperkatabolisme, dan gagal hati baik akut maupun kronik.[19,50]
Intervensi CRRT dapat dilakukan untuk pasien yang secara hemodinamik tidak stabil. Pada syok kardiogenik, dapat terjadi gagal ginjal akut, dimana pasien membutuhkan dialisis. Akan tetapi, karena secara hemodinamik tidak stabil, maka pasien harus distabilisasi dulu baru dilakukan dialisis. Adanya CRRT membantu terapi gagal ginjal akut dengan pasien yang tidak stabil.[50]
Selain mengeluarkan hasil metabolik, CRRT juga dapat “mencuci” darah dari sitokin proinflamasi. Maka dari itu, CRRT juga dapat digunakan pada pasien yang sepsis dengan multiorgan failure.[50]
Continuous Renal Replacement Therapy (CRRT)
Continuous renal replacement therapy (CRRT) dapat dipertimbangkan pada gagal ginjal akut derajat 2 (peningkatan serum kreatinin ≥2x dari batas dasar pasien dan urine output <0,5 ml/kg/jam selama ≥12 jam atau saat terdapat kondisi ketidakseimbangan asam basa, elektrolit, atau cairan yang mengancam nyawa.[19]
Penulisan pertama oleh: dr. Yenna Tasia