Epidemiologi Syok Kardiogenik
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa syok kardiogenik terjadi pada 6-7% pasien dengan infark miokard akut. Insidensi syok kardiogenik meningkat secara signifikan, dengan etiologi terbanyak disebabkan infark miokard akut (IMA). Angka kejadian IMA yang berakhir menjadi syok kardiogenik terbagi menjadi 5-8% kasus STEMI dan 2-3% kasus NSTEMI.[12,52,57]
Global
Insidensi syok kardiogenik menurun karena meningkatnya penggunaan percutaneous coronary intervention (PCI) dan terapi fibrinolitik untuk miokard infark akut (IMA). Namun, sekitar 5-8% kasus STEMI dan 2-3% kasus NSTEMI menyebabkan syok kardiogenik.[5,9]
Penyebab syok kardiogenik selain IMA adalah kelainan primer miokardium, kelainan katup jantung, atau kelainan perikardium. Prevalensi berbagai penyebab syok kardiogenik ini adalah progresi gagal jantung kronik sebesar 11-30%, penyebab mekanik dan kelainan katup jantung sebesar 6%, kardiomiopati Takotsubo sebesar 2%, dan miokarditis akut dengan persentase 2%.[5,9]
Indonesia
Belum ada data prevalensi kasus syok kardiogenik di Indonesia.
Mortalitas
Syok kardiogenik yang disebabkan karena infark miokard akut memiliki angka mortalitas tertinggi, walaupun saat ini sudah ada teknik revaskularisasi yang menurunkan angka mortalitas sebanyak 40-50%. Angka mortalitas yang tetap tinggi ini disebabkan karena meningkatnya jumlah populasi geriatri dan prevalensi kelompok dengan penyakit komorbid.[13,53,54]
Studi epidemiologi oleh Lang, et al. di Jerman syok kardiogenik menyumbangkan angka kematian tertinggi sebanyak 344.500 kasus kematian atau 37% pada tahun 2017. Syok kardiogenik menyebabkan kematian pada 5,3% pada penyakit jantung, dan 1,9% dari seluruh penyebab kematian.[12]
Syok kardiogenik juga dapat terjadi pada pasien dengan dengan sindrom koroner akut yang disertai kultur sepsis positif. Pasien ini memiliki risiko mortalitas dua kali lipat. Angka kejadian systemic inflammatory response syndrome (SIRS) pada STEMI mencapai 25%. Takikardia, takipnea, dan leukositosis merupakan faktor risiko independen dari mortalitas yang disebabkan oleh hal ini.[2]
Penulisan pertama oleh: dr. Yenna Tasia