Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi ditegakkan jika terdapat peningkatan tekanan darah dari ambang normalnya. Hipertensi umumnya didefinisikan sebagai tekanan sistolik (SBP) di atas 130 mmHg atau tekanan darah diastolik (DBP) di atas 80 mmHg pada pasien dewasa. Pengukuran tekanan darah oleh petugas kesehatan sebaiknya dilakukan berulang pada 2-3 kunjungan dengan interval 1-4 minggu. Selain itu, apabila memungkinkan dapat dilakukan pengukutan out of office, seperti pengukuran dengan teknik ambulatori, yang dapat membantu mengeksklusi white coat hypertension.
Anamnesis
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala apapun. Pada kasus hipertensi esensial, hipertensi bersifat idiopatik atau tidak terdapat penyebab dasar yang bisa diidentifikasi. Pada kasus hipertensi sekunder, dokter perlu mengidentifikasi keluhan-keluhan untuk mengetahui penyebab hipertensi, misalnya penyakit ginjal kronik atau hipertiroid.
Gejala
Sebagian besar pasien tidak bergejala. Jika bergela, gejala yang sering dikeluhkan pasien adalah nyeri kepala. Gejala yang dialami terkait komplikasi hipertensi antara lain fatigue, sesak napas saat beraktivitas, kaki bengkak, kelemahan tubuh satu sisi, dan penglihatan buram. Komplikasi dari hipertensi dapat berupa kejadian kardio-serebrovaskular, seperti gagal jantung kongestif dan stroke.
Riwayat Kejadian Kardiovaskular
Tanyakan kepada pasien apakah sebelumnya sudah didiagnosis hipertensi. Selain itu tanyakan riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya yakni sindrom koroner akut, gagal jantung, penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer, sleep apnea, stroke, transient ischemic attack (TIA), ataupun dementia.
Faktor Risiko
Faktor risiko juga perlu ditanyakan untuk menilai risiko komplikasi penyakit kardiovaskular serta perencanaan terapi. Hal yang perlu ditanyakan yakni komorbiditas terkait risiko penyakit kardiovaskular seperti diabetes, dislipidemia, serta gaya hidup seperti inaktivitas fisik, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.
Riwayat Konsumsi Obat
Hal ini perlu ditanyakan untuk penyesuaian jenis dan dosis antihipertensi pada pasien yang sudah sering berobat untuk masalah hipertensi. Selain itu, dokter juga perlu mengevaluasi penggunaa obat yang memiliki efek memicu kenaikan tekanan darah, misalnya pil kontrasepsi, pseufoephedrine, serta narkoba seperti kokain dan ekstasi.[1-3,6-10]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik utama yang dilakukan adalah pemeriksaan tekanan darah. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan fisik yang mengevaluasi target organ untuk mengetahui adanya penyebab sekunder atau kemungkinan komplikasi
Pengukuran Tekanan Darah
Pemeriksaan tekanan darah sendiri sebaiknya tidak dilakukan hanya satu kali, melainkan 2-3 kali pemeriksaan dalam jarak pemeriksaan 1–4 minggu di fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, pemeriksaan tekanan darah mandiri di rumah atau home blood pressure measurement (HBPM) maupun pengukuran tekanan darah selama 24 jam atau 24-hour ambulatory blood pressure (ABPM) perlu dilakukan, terutama bila nilai tekanan darah dicurigai berubah saat bertemu dengan tenaga kesehatan (white coat hypertension). Spigmomanometer yang digunakan juga merupakan jenis aneroid atau digital yang telah dikalibrasi tiap 6–12 bulan. Pasien dapat diminta istirahat 10-30 menit untuk mencegah bias hasil pemeriksaan. Adapun kategori tekanan darah dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.[1-3,6-10]
Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Kategori | Sistolik (mmHg) | Diastolik (mmHg) | |
Normal | <130 | dan | <85 |
Normal-tinggi | 130 - 139 | dan/atau | 85 – 89 |
Hipertensi derajat 1 | 140 - 159 | dan/atau | 90 – 99 |
Hipertensi derajat 2 | ≥160 | dan/atau | ≥100 |
Sumber: dr. Michael, Alomedika, 2022.[2]
Tabel 3. Kriteria Hipertensi pada Metode Pengukuran yang Berbeda
Metode pengukuran | Sistolik/diastolik (mmHg) |
Pada fasilitas pelayanan kesehatan | ≥140 dan/atau ≥90 |
Pengukuran tekanan darah ambulatori | |
● Rerata 24 jam | ≥130 dan/atau ≥80 |
● Rerata saat terjaga/pagi-siang hari | ≥135 dan/atau ≥85 |
● Rerata saat tidur/malam hari | ≥120 dan/atau ≥70 |
Pengukuran tekanan darah mandiri di rumah | ≥135 dan/atau ≥85 |
Sumber: dr. Michael, Alomedika, 2022.[2]
Perhatian Khusus dalam Pengukuran Tekanan Darah:
Saat dilakukan pengukuran tekanan darah, posisi pasien sebaiknya duduk dengan posisi lengan setinggi jantung, punggung bersandar serta tungkai tidak menyilang. Posisi yang tidak sesuai terbukti memberikan hasil pengukuran yang lebih tinggi. Pasien sebaiknya tidak berbicara saat dilakukan pengukuran. Pengukuran juga dilakukan minimal setelah 5 menit pasien duduk. Setelah posisi tepat, lakukan pengukuran tekanan darah.
Pompa manset tensimeter hingga pulsasi arteri radialis menghilang. Lanjutkan pompa tensimeter hingga 30 mmHg di atas sistolik (di atas batas nilai saat pulsasi menghilang). Letakan stetoskop pada area arteri brakialis dengan penekanan ringan. Kempeskan manset tensi perlahan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per denyut nadi. SBP ditandai dengan Korotkoff fase I (bunyi pulsasi yang terdengar pertama kali). Bunyi pulsasi akan perlahan menghilang. Bunyi terakhir yang terdengar atau dikenal dengan Korotkoff fase V merupakan DBP.[1-3,6-10]
Pemeriksaan Fisik Lainnya
Pemeriksaan antropometri sebaiknya dilakukan pada semua pasien. Perhitungan indeks massa tubuh (IMT) diperlukan untuk pemantauan berat badan. Obesitas terbukti merupakan faktor risiko hipertensi. Selain tinggi dan berat badan, ukur juga lingkar pinggang pasien.
Selain antropometri, perlu dilakukan evaluasi terkait komplikasi hipertensi :
- Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan jika secara klinis terdapat gejala stroke
- Pemeriksaan mata: Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan pada fundus okuli. Selain itu cek ada tidaknya xanthoma sebagai tanda gangguan metabolisme lipid
- Tanda kongesti: Pada pasien gagal jantung dapat ditemukan tanda kongesti seperti peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah halus, hepatomegali dan pitting edema. Pembesaran ventrikel kiri dapat dicurigai jika apeks teraba bergeser ke lateral saat palpasi
- Pulsasi: Penyakit arteri perifer dapat ditandai dengan melemah bahkan hilangnya pulsasi perifer[1-3,6-10]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan hipetensi sekunder adalah hiperaldosteronisme, koarktasio aorta, stenosis arteri renal, dan penyakit gunjal kronis.
Hiperaldosteronisme
Hiperaldosteronisme adalah penyakit di mana kelenjar adrenal (s) membuat terlalu banyak aldosteron yang menyebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi) dan kadar kalium darah rendah.
Koarktasio Aorta
Koarktasio aorta dapat menimbulkan tekanan darah tinggi. Koarktasio aorta adalah penyempitan aorta yang menyebabkan jantung harus memompa lebih keras untuk membuat darah dapat melewati aorta. Koarktasio aorta umumnya timbul sebagai cacat jantung bawaan. Kondisi ini mungkin tidak terdeteksi sampai dewasa.
Stenosis Arteri Renal
Stenosis arteri renal adalah penyempitan salah satu atau kedua arteri ginjal. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab utama hipertensi.
Penyakit Ginjal Kronis
Hipertensi merupakan penyebab dan akibat dari penyakit ginjal kronis (PGK) dan mempengaruhi sebagian besar pasien PGK. Pemeriksaan laboratorium urine dan fungsi ginjal dapat mendeteksi adanya PGK.[1]
Jenis Hipertensi
Terdapat berbagai jenis diagnosis hipertensi menurut etiologi, hasil tekanan darah, maupun kondisi yang mempengaruhi, antara lain:
- Hipertensi esensial: Hipertensi dengan etiologi idiopatik
- Hipertensi sekunder: Hipertensi yang diketahui penyebabnya, misalnya akibat konsumsi obat tertentu, gangguan fungsi ginjal, atau hipertiroid
- Hipertensi resisten: Hipertensi yang tidak dapat diobati hingga mencapai target tekanan darah <140/90 mmHg meskipun telah mendapatkan 3 antihipertensi berbeda golongan serta menjalani rekomendasi perubahan gaya hidup
Krisis hipertensi: Hipertensi dengan tekanan darah sistolik ≥180 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg, dapat disertai dengan hypertension-mediated organ damage (hipertensi emergensi) maupun tanpa hypertension-mediated organ damage (hipertensi urgensi)
- Hipertensi jas putih (white coat hypertension): Hipertensi dengan tekanan darah tinggi saat diperiksa di fasilitas pelayanan kesehatan, namun hasil pengukuran dengan metode HBPM atau ABPM menunjukkan hasil tekanan darah normal
- Hipertensi terselubung (masked hypertension): Hipertensi dengan tekanan darah normal saat diperiksa di fasilitas pelayanan kesehatan, namun hasil pengukuran dengan metode HBPM atau ABPM menunjukkan hasil hipertensi[1-3,6-10]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan pada pasien dengan hipertensi sebagai penapisan terhadap end-organ damage.
Pemeriksaan Penunjang Dasar
Pemeriksaan penunjang dasar rutin yang perlu segera dilakukan, antara lain:
- Pemeriksaan laboratorium: Fungsi ginjal dengan elektrolit dan perhitungan laju filtrasi glomerulus (estimated glomerular filtration rate), profil lipid, dan gula darah puasa
- Pemeriksaan dipstick urine
Elektrokardiografi 12-lead[1-3,6-10]
Pemeriksaan Penunjang pada Kecurigaan Hypertension-Mediated Organ Damage
Bila terdapat kecurigaan kuat terjadinya hypertension-mediated organ damage, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan. Pemeriksaan pencitraan yang mungkin diperlukan antara lain echocardiography, carotid ultrasound, pencitraan renovaskuler dengan ultrasound maupun angiografi dengan computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI), funduskopi, dan CT scan atau MRI kepala.
Pemilihan pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi. Echocardiography dapat bermanfaat pada pasien yang dicurigai mengalami iskemia atau gagal jantung. CT scan dan MRI kepala bermanfaat pada kecurigaan TIA atau stroke. Doppler perifer dapat digunakan untuk melihat struktur pembuluh darah, misalnya pada deep vein thrombosis dan penyakit arteri perifer. USG ginjal digunakan untuk melihat adanya kelainan pada ginjal, misalnya batu ginjal atau kista ginjal.[1-3,6-10]
Diagnosis, pemeriksaan penunjang dan diagnosis banding penyakit hipertensi dalam kehamilan dibahas dalam artikel terpisah.
Penulisan pertama oleh: dr. Debtia Rahmah