Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan
Prinsip penatalaksanaan penyakit jantung bawaan atau congenital heart disease adalah terapi korektif, yang dapat dilakukan dengan pembedahan. Namun, sebagian kasus minor dapat mengalami koreksi sendiri seiring pertambahan usia. Tata laksana medikamentosa bertujuan untuk mengurangi beban jantung dan menurunkan resistensi paru.
Pada kasus sianotik seperti transposition of great arteries (TGA) atau tetralogy of Fallot (TOF) terapi medikamentosa dibutuhkan agar duktus arteriosus dipertahankan tetap terbuka sebelum dilakukan upaya korektif.[3]
Berobat Jalan
Pasien dengan penyakit jantung bawaan yang memiliki tanda vital stabil, defek minimal, dan tidak memiliki komplikasi bisa berobat jalan. Namun, harus diingat bahwa penatalaksanaan utama penyakit jantung bawaan adalah tetap tata laksana korektif.[3]
Persiapan Rujukan
Pasien dengan penyakit jantung bawaan harus dirujuk ke ahli kardiologi atau ahli bedah jantung untuk tindakan korektif maupun paliatif. Prinsip penanganan penyakit jantung bawaan adalah intervensi sedini mungkin.[3]
Medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa pada penyakit jantung bawaan umumnya bersifat sekunder untuk komplikasi dari penyakit jantungnya sendiri atau akibat kelainan lain yang menyertai. Dalam hal ini, terapi medikamentosa diberikan untuk meringankan gejala dan mempersiapkan operasi.
Lama dan cara pemberian obat tergantung pada penyakit jantung yang dihadapi. Medikamentosa yang dapat diberikan antara lain adalah oksigen, prostaglandin E1, digoksin, isoproterenol, dobutamin, dopamin, dan captopril.
Oksigen
Oksigen (O2) diberikan sesuai keperluan untuk mempertahankan saturasi. Biasanya oksigen diberikan bila terjadi komplikasi seperti hipoksemia atau syok kardiogenik.
Prostaglandin E1
Prostaglandin E1 diberikan untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka. Obat ini diberikan dengan dosis 0,1 μg/kgBB/menit, kemudian bila sudah terjadi perbaikan dapat diturunkan menjadi 0,05 μg/kgBB/menit. Obat ini bekerja dalam 10–30 menit setelah pemberian dan perbaikan klinis akan ditandai dengan kenaikan PaO2 15–20 mmHg dan perbaikan pH.[3,10]
Diuretik
Diuretik digunakan untuk menurunkan kongesti pada keadaan seperti gagal jantung. Obat ini dapat diberikan dengan dosis 1‒2 mg/kgBB/hari dalam 2–3 dosis peroral maupun intravena.[3,10]
Digoksin
Digoksin diberikan bila terdapat tanda gagal jantung dengan dosis 30 μg/kgBB. Dosis pertama diberikan setengah dari dosis digitalisasi, kemudian dosis kedua diberikan 8 jam setelahnya sebanyak seperempat dari dosis digitalisasi. Dosis ketiga diberikan 8 jam setelah itu sebanyak seperempat dosis digitalisasi.
Dosis rumatan dapat diberikan 8–12 jam setelah dosis terakhir sekitar seperempat dosis digitalisasi. Digoksin tidak boleh diberikan pada pasien dengan tanda perfusi sistemik yang buruk atau pasien dengan gangguan ginjal.[3,10]
Isoproterenol
Obat inotropik isoproterenol dapat diberikan bila terjadi bradikardi pada komplikasi gagal jantung dengan dosis 0,05–1 μg/kgBB/menit. Apabila terdapat takikardi, dapat diberikan dobutamin dengan dosis 5–10 μg/kgBB/menit atau dopamin dengan dosis 2–5 μg/kgBB/menit.[3,10]
Vasodilator
Vasodilator yang biasa digunakan adalah captopril untuk menurunkan resistensi vaskular sistemik dan pulmonal. Dosis captopril yang digunakan pada penyakit jantung bawaan adalah 0,1–0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2–3 dosis peroral.[3,10]
Pembedahan
Prinsip tata laksana bedah adalah korektif sedini mungkin. Namun, tidak semua pasien dapat menjalani operasi korektif sesegera mungkin. Pada beberapa kasus, harus dilakukan operasi paliatif sembari menunggu operasi definitif dilakukan. Walau demikian, hal ini berisiko meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Pilihan lain adalah intervensi kardiologi melalui kateterisasi.[3]
Bedah Jantung
Bedah jantung yang dapat dilakukan pada penyakit jantung bawaan adalah banding arteri pulmonalis dan shunt sirkulasi sistemik dan pulmonal. Banding arteri pulmonalis dilakukan untuk memperkecil diameter arteri pulmonalis pada kasus dengan aliran pulmonal berlebihan akibat pirau dari kiri ke kanan.
Sementara itu, shunt sirkulasi sistemik-pulmonal dilakukan untuk mengatasi kurangnya aliran darah ke paru, misalnya pada prosedur Blalock-Taussig klasik yang membebaskan arteri subklavia dan menyambungkannya ke arteri pulmonalis kiri atau kanan.[3]
Kardiologi Intervensi
Kardiologi intervensi bersifat kurang invasif bila dibandingkan dengan operasi terbuka. Beberapa prosedur intervensi yang dapat dilakukan antara lain balloon atrial septostomy, balloon pulmonary valvuloplasty, dan penutupan ASD dengan amplatzer ductal occluder (ADO).[3]
Ballon atrial septostomy adalah prosedur rutin yang dilakukan pada pasien yang memerlukan percampuran darah lebih baik, misalnya pada kasus transposition of great arteries (TGA) dengan septum ventrikel yang utuh. Prosedur ini dilakukan dengan membuat lubang di septum interatrium dan biasanya dilakukan di ruang rawat intensif dengan bimbingan ekokardiografi.[3]
Balloon pulmonary valvuloplasty (BPV) merupakan prosedur standar untuk melebarkan katup pulmonal yang menyempit, dengan keluaran yang cukup baik dan biaya yang lebih murah dibandingkan operasi bedah terbuka.
Selain itu, ada juga balloon mitral valvotomy (BMV) yang umumnya dikerjakan pada kasus stenosis katup mitral akibat demam rematik dan balloon aortic valvuloplasty (BAV) yang belum dilakukan rutin dan kasusnya juga jarang dijumpai.
Penyumbatan duktus arteriosus menggunakan coil Gianturco juga kadang dilakukan tetapi belum dianggap rutin karena harga coil dan peralatan untuk memasukkan coil tersebut cukup mahal. Penutupan duktus arteriosus persisten bisa dilakukan dengan umbrella, coil dan amplatzer ductal occluder (ADO), sedangkan defek septum atrium dapat ditutup dengan amplatzer septal occluder (ASO).[3]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold SP Tampubolon
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini